Mohon tunggu...
Yudha Adi Putra
Yudha Adi Putra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Tidak Pernah Mati

Penulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cita-Cita

22 Januari 2023   22:30 Diperbarui: 22 Januari 2023   22:32 221
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Cita-Cita

Cerpen Yudha Adi Putra

                Lampu belajar baru saja dinyalakan. Teh manis dan kacamata sudah berjajar di sudut meja belajar. Dara siap bercerita di laptopnya. Meski begitu, layar tetap putih. Belum ada satu kata tertulis. Keheningan terasa. Satu hal yang Dara ingat, ia sudah meminta makan pada Ibunya.

                "Dek, ini nasi dan lauk sudah siap. Ibu mau pergi ke rumah Pak Dukuh. Buruan, sebelum kedatangan cicak !" teriak Ibunya dari dapur. Aroma ikan asin selesai digoreng terasa. Asap obat nyamuk kalah. Kepulannya tak tahan dengan bau asin hasil gorengan Ibu.

                "Bentar, Bu ! Masih belum tahu mau menulis apa," jawab Dara.

                "Makanya, makan dulu. Habis itu baru dilanjutkan. Sejak siang, kamu belum makan!" pinta Ibunya. Benar saja, lebih tepatnya sejak pagi. Belum ada nasi masuk ke mulut Dara. Hanya minum sereal sebelum akhirnya mengerjakan banyak hal. Berjuang dengan rasa lapar sudah biasa bagi keluarga Dara. Maklum saja, Bapaknya Dara hanya seorang buruh bangunan.

                "Baik, Bu !" jawab Dara lesu. Ia melangkah malas menuju dapur. Pena dan kertas masih dibawa. Setelah melihat sekeliling, tatapan gadis itu tertuju pada ikan asin di meja makan.

                "Ikan lagi ?"

                Ibu hanya tersenyum.

***

                Sudah malam, kunang-kunang berdatangan di halaman rumah. Dara tetap mengurung diri di dalam kamar.

                "Mbak. Ada banyak kunang-kunang di luar. Ayo kita tangkap !" pinta Beni, adik laki-laki Dara yang masih kelas tiga di SD dekat gereja.

                "Kok malah bermain. Tugasmu sudah dikerjakan belum ? Ada tugas tidak ?" tanya Dara. Ia tak menatap adiknya yang sudah membawa senter. Siap menangkap kunang-kunang.

                "Belum. Aku bosan sekali," jawab Beni.

                Mulai berdiri, Dara menghampiri Beni. Ia tinggalkan sebentar laptop menyala. Belum ada tulisan yang ditulisnya. Kesal dan bingung. Mau menulis, adiknya malah mengajak bermain.

                "Tugasnya kita kerjakan dulu saja. Baru setelah itu, kita bermain. Bagaimana?"

                "Nanti keburu malam. Aku besok libur," jawab Beni tak peduli dengan ucapan kakak perempuan itu.

                Mereka melangkah bersama menuju halaman rumah. Kunang-kunang bertebarang. Maklum saja, rumah mereka ada di pinggir sawah. Jangankan kunang-kunang, ular saja bisa masuk dalam rumah kalau hujan tiba.

                "Bapak kemana, Bu ? Kok belum pulang ?" tanya Dara. Ia mengamati teras rumah yang juga menjadi parkiran motor. Hanya ada dua motor, miliknya dan motor yang digunakan Ibunya berjualan di pasar.

                "Lembur katanya. Ada proyek di Magelang. Ada giliran ronda memang, jadi nanti tolong antarkan makanan ya !" pinta Ibunya Dara.

                Seolah kesal karena malah diminta pertolongan, Dara tak menjawab. Ia fokus melihat kunang-kunang bertebarang. Ada yang hinggap di dahan bunga anggrek miliknya. Tidak jarang mendekati tempat mereka duduk. Beni berlarian, ada jaring ikan di tangannya. Siap menangkap kunang-kunang yang berlarian.

                "Buat apa kalau ditangkap nanti itu, Ben ?" Dara bertanya. Ia senang, adiknya sudah sembuh setelah seminggu terkena demam berdarah. Sebuah kejadian yang menguras tabungannya.

                "Nanti, aku mau taruh dalam botol. Kalau tidak, ya aku lepaskan lagi. Kenapa, Mbak ?"

                "Tak apa."

                Malam semakin larut. Dara mulai berandai-andai. Pertama, soal apa yang dikerjakan olehnya sekarang. Andai saja, ia mau melanjutkan kuliah. Pasti hidup keluarganya lebih menderita karena hutang. Dara putus kuliah, bukan hanya karena tak ada uang. Tapi lebih dari itu, dalam dirinya ada kehidupan. Kedua, andai saja. Dara tak mengenal laki-laki bernama Ridwan itu. Paling tidak, ia bisa bebas menjadi perempuan tanpa gunjingan. Kini, semua hanya menjadi andaian saja. Ia hamil di luar nikah, Ridwan yang berjanji mau bertanggung jawab malah bunuh diri. Dara berhasil menyelamatkan hidupnya dengan menulis. Mungkin, ia juga berhasil menyelamatkan cita-citanya. Menjadi penulis. Tapi, tidak tahu akan apa yang terjadi esok hari.

                "Waktu berusaha menangkap itu menyenangkan sekali. Kunang-kunang bercahaya. Tapi, kalau sudah tertangkap. Ia hanya lesu dalam botol," kata Beni memecah lamunan Dara.

                "Ternyata sama juga dengan cita-cita," gumam Dara.

                                                                                ***

                                                                                                                                                Gancahan, 22 Januari 2023

               

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun