Doa Pagi Perempuan Penjual Nasi Bungkus
Cerpen Yudha Adi Putra
        Membawa buku doa, seorang perempuan keluar dari gereja. Doa pagi belum sepenuhnya usai. Ia memilih keluar pertama. Berjalan menyusuri jalan depan gereja. Menyapa pesepeda yang tersenyum kepadanya.
        "Apa tidak jualan, Bu?" tanya seorang pesepeda. Belum sarapan, ia lapar. Nasi bungkus Yu Parmi diharapkan bisa menambah tenaga. Jam tujuh, ada janji di samping gereja. Rabu pagi, menjadi momen dimana pesepeda menikmati hobi.
        "Jualan. Tadi saya berdoa sebentar, ini langsung ke warung!" jawab Yu Parmi dengan tergesa. Seolah, ia juga tidak mau kehilangan beberapa langganannya. Menjual nasi, menjadi cara untuk Yu Parmi menghidupi diri. Semua anaknya sudah berkeluarga. Tapi, kiriman jarang. Mungkin, hanya cukup untuk hidup berdua. Datang pas hari raya, itu sudah lebih dari cukup baginya.
        Ketika sampai di depan warung, nampak beberapa pembeli sudah menanti. Ada ibu-ibu yang malas masak. Maklum saja, uang bulanan dari suami sudah banyak. Kalau masak, nanti malah hemat. Lebih baik, buat ke salon saja. Begitu pikir mereka. Tapi, selain karena masakan Yu Parmi enak. Beli makan di tempatnya bisa sambil ngobrol. Saat bertemu ibu-ibu dari berbagai kompleks. Mereka sering menceritakan keberhasilan anaknya.
        "Yu, dari mana to ? Kok belum buka, anak saya nanti bisa marah-marah. Ia pengin mangut lele masakan Yu Parmi. Buat to, Yu ?" tanya Ibu dengan daster kuning. Nampak dompet tebal dipeluknya. Helm lusuh warna hitam juga tetap dikenakan. Tapi, lusuhnya meraka yang beruang tidak sebanding dengan milik Yu Parmi. Helm dengan kaca pecah yang tetap digunakan.
        "Sebentar, tadi saya ada doa pagi. Berdoa dulu sebelum memulai hari. Ini saja tumben. Doa paginya belum selesai, jadi saya membolos doa pagi," ujar Yu Parmi. Celemek coklatnya mulai dikenakan. Siap melayani pembeli yang sudah antre. Kalau tidak segera dilayani, tak jarang mereka mengambil makanan sendiri. Lalu, setelahnya mendekati Yu Parmi.
        "Bu, saya bawa dulu ya. Besok, kalau suami gajian. Saya bayar!" ujar ibu dengan daster biru. Wajahnya tak punya malu, berhutang di tempat Yu Parmi. Kalimat kalau suami gajian seolah menjadi senjata supaya bisa utang. Yu Parmi tidak pernah menyalahkan mereka yang utang. Kadang, ia merasa senang. Hidupnya di masa tua masih bisa membantu. Yang dibantu bukan main, istri polisi sampai istri pendeta yang tak jarang datang hanya demi makanan gratis.
***
        Pergantian tahun terjadi, Yu Parmi masih rajin doa pagi. Entah apa yang didoakan, tak seorang pun dapat tahu. Bahkan, pendeta di gerejanya tak juga mengerti. Ketika ditanya, apa ada persoalan. Ia hanya tersenyum. Lalu pergi, seolah nanti takut dagangannya sudah ramai dikunjungi pembeli.
        "Paskah sudah mau tiba, besok ada Rabu abu ya?" ujar seorang pemuda. Yu Parmi mendengarnya. Ia jadi teringat akan anaknya.
        "Besok masih Selasa!" jawab seorang perempuan di samping pemuda itu. Bisa jadi, itu istrinya. Mereka pasangan muda ? Tapi, entahlah. Bukan itu yang penting buat Yu Parmi.
        "Kebaktian rencana di adakan di gereja ? Nanti kita dekorasi ya. Malam Selasa, jam tujuh. Ada yang siap bawa makanan ?" usul seorang pemuda lain. Yu Parmi mendekat. Ia memperhatikan mereka yang berbicara.
        "Nak, ibu mau memasak pecel lele besok Selasa malam. Apakah kalian mau ?" perkataan Yu Parmi seolah memecah keheningan pagi. Mereka, sebenarnya paling malas kalau giliran membawa makanan. Selain karena uang bisa untuk keperluan lain, membawa makanan itu merepotkan.
        "Apa benar, Bu ? Wah, kalau begitu. Besok pecel lelenya saya ambil ya Bu !" jawab pemuda itu. Ia senang. Semangat untuk mendekorasi perayaan Rabu abu mulai tumbuh. Bisa dibayangkan, akan ada pecel lele setelah angkat-angkat meja.
        "Tapi, Bu. Rumah ibu dimana ya ? Saya belum tahu. Hanya saja, saya sering melihat Ibu saat doa pagi. Kebetulan, saya mengiringi pujian," lanjut pemuda tadi.
        "Saya tinggal di belakang gereja. Ada rumah menghadap ke selatan. Nanti, bilang saja. Mau mencari Yu Parmi," dengan bersemangat, Yu Parmi menunjuk pada arah belakang gereja. Ia kemudian pergi, tak ingin warungnya kembali ramai pembeli. Tapi, dirinya belum siap di sana.
***
        Manto, anak pertama Yu Parmi bisa dibilang anak yang lugu dan mau menerima keadaan. Tapi, ia mudah marah kalau satu permintaannya tidak dituruti. Makan sehari tiga kali. Makanya, ketika sudah berkeluarga, istrinya kewalahan. Sampai, tak jarang mendengar keluhan istrinya. Kalau anaknya itu, kalau makan minta ganti terus. Sehari, ada tiga menu berbeda.
        "Saya kadang tidak tahan Bu. Seolah, pekerjaan saya hanya memasak untuknya saja," keluh menantu Yu Parmi.
        Yu Parmi hanya memeluk anak menantunya itu. Sebagai mertua, ia tidak ingin pilih kasih dengan membela anaknya. Baginya kini, semua adalah anaknya. Di tengah banyaknya kebanggaan karena anak pertamanya jadi orang berhasil. Yu Parmi dan menantunya menyimpan kesedihan mereka.
        "Bu, aku haus !" kata seorang anak laki-laki haus.
        Yu Parmi melihat perkataan anak itu tiap kali ia berdoa. Hingga, kalau ada orang yang haus atau lapar. Yu Parmi merasa, kalau ia perlu menolong. Takut, anaknya diperlakukan demikian juga.
        Hingga setelah selesai berdoa, Yu Parmi mendengar sayup perkataan seorang lelaki di kayu salib.
"Bu, ini anakmu !"
***
                                        Godean, 21 Januari 2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H