Roti dan Air Putih
Cerpen Yudha Adi Putra
        Yudhis tak mengira, ada telpon masuk ketika ia asyik memandikan burungnya. Sudah seminggu tidak ada telpon masuk. Tentu, ia terkejut. Siapa lagi yang mau punya urusan dengannya ?
        "Ada panggilan tidak terjawab. Nomornya belum pernah aku simpan. Siapa ya" gumam Yudhis dalam hati.
        Perasaannya tidak enak. Banyak dugaan menghampirinya. Apa kurir paket bertanya alamat ? Tapi, kenapa tidak menuliskan pesan. Penagih hutang ? Tapi, kenapa hanya telpon saja. Orang mau menipu ? Sepertinya salah sasaran, apa yang diharapkan dari pengangguran di semester delapan. Mahasiswa kuliah tidak, beban keluarga iya. Begitulah perasaan bimbang Yudhis. Ia juga ketakutan, jangan-jangan teror dari orang asing yang mengaku orangtuanya.
        "Aduh, rasanya lelah sekali. Berjalan kaki di jam dua belas bukan ide yang baik. Kalau tidak begitu, aku tak bisa menemui cucuku. Ia tak mau mengunjungiku," ujar nenek Yudhis, Mbah Sutiyem di depan rumah. Rumah Yudhis dan neneknya masih satu desa, hanya berjarak sekitar sepuluh rumah. Tapi, meski demikian tetap terasa jauh untuk penderita parkinson yang bisa kumat kalau telat minum obat.
        "Wah, simbah datang lagi. Aku baru asyik dengan hobi. Nanti pasti ada masalah ini. Menangis karena apa lagi ? Kemarin, terlambat menjemput simbah. Lalu, marah dan bilang kalau aku anak kurang ajar," keluh Yudhis meninggalkan pertanyaan di Hpnya. Ia juga belum tahu, siapa yang telpon dan kini sudah ada masalah lain. Kedatangan neneknya.
        Suasana rumah tanpa makanan menjadi hal yang dibenci Yudhis. Sudah siang, waktunya dia makan. Tapi, tidak ada makanan.
        "Aku beli mie instan saja!" ucap Yudhis mulai melangkah ke luar rumah. Belum sepenuhnya sampai halaman, ia terkejut. Ada Nathan sedang bercakap-cakap dengan neneknya.
        "Tahu dari mana dia kalau rumahku di sini ?" tanya Yudhis dalam hati.
        "Lha, itu Yudhis. Kok tamunya enggak disambut. Pak Pendeta sudah susah-susah mau ke sini, lho !" ujar Mbah Sutiyem. Yudhis hanya tersenyum kecut. Dalam hati, ia menyesali hari itu kenapa bisa terjadi.
        "Eh, Yudhis. Selamat siang, mau main. Tadi ada rencana kunjungan di daerah Godean, tapi tidak ada yang menemani. Jadi aku ke sini dulu," sapa Nathan.
        Yudha tersenyum. Dalam hati, ia penuh pergumulan.
"Jadi, sebenarnya ke tempatku hanya sebagai pelarian saja ? Kalau ada yang lebih menjanjikan, pasti tidak ke sini. Lagian, pendeta mana yang mau berkunjung ke tempat miskin seperti milikku, kecuali dalam rangka mencari muka untuk pencitraan."Â
        "Oiya, tadi. Aku menelponmu. Mungkin, kamu sedang sibuk. Aku tanya tetangga sekitar akhirnya," lanjut Nathan.
        Sebagai seorang pendeta, hampir banyak orang menyukai Nathan. Bukan karena kehalusannya saja, tapi kerajinannya berkunjung. Secara fisik, Nathan juga tampan. Cukup menjanjikan untuk menjadi publik figur yang disebut pendeta. Hanya saja, perasaan tidak enak tetap di rasakan oleh Yudhis. Mungkin, karena Mbah Sutiyem datang dan permintaannya aneh-aneh.
        Mereka lalu mengobrol tentang banyak hal. Dari hobi yang dilakukan oleh Yudhis, tanaman berpotensi ditanam, burung yang lepas, jadwal paduan suara wilayah, hingga makanan khas di desa Yudhis. Untuk masalah ini, Yudhis berusaha menyembunyikan perasaan laparnya. Selain tidak punya uang, ia takut kalau Tony sahabatnya tidak kunjung datang. Kalau Tony datang, paling tidak akan ada kawan untuk bercerita buat Nathan.
        "Lho, ada Mas Tony juga. Rame-rame siang begini. Ini, Ibu ada roti sama air putih. Nanti di makan ya," ucap Bu Arti membawa beberapa roti dan dua botol air mineral. Selepas pulang dari ladang, ia menghutang di warung Mbah Parjo supaya bisa memberi makan tamu yang datang. Nanti, tidak enak kalau tidak ada makanan. Bisa jadi omongan, apalagi pendeta datang berkunjung.
        Sampai hampir sore, roti dan air mineral tak tersentuh. Tidak ada yang mau makan. Yudhis seolah memberi isyarat pada Tony.
        "Orang ini hanya mau dilayani. Biasanya pilih-pilih. Datang mungkin dalam rangka mencari muka," ujar Yudhis pada Tony, tepat ketika Nathan berpamitan untuk pulang.
        Berganti hari, Tony mengirimkan sebuah gambar melalui Whatsapp. Gambar makanan enak dan jus buah, sepertinya jus alpukat kesukaan Yudhis.
        "Kalau roti dan air putih tidak difoto ya ?" tanya Tony.
        Dalam gambar itu, nampak Nathan dengan foto makanan enak dan minuman segar. Wajar saja, ia sedang berkunjung di rumah Subandi, salah satu orang berpengaruh di desa. Tentu juga orang kaya.
        "Tidak apa, pendeta mana tahu. Roti dari hasil hutang dan jus alpukat dari hasil korupsi nikmat mana untuk dirasakan," balas Yudhis dengan senyuman kekecewaan.
Sembuh Kidul, 20 Januari 2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H