"Tolong besarkan Andin dengan cinta ya ! Aku titip banyak impian padanya !" dalam pelukkan, istri Darto menangis. Kata yang diucapkan terbata-bata.
        "Aku sebenarnya tidak tega. Tapi, tidak ada pilihan lain. Kita harus berpisah!" lanjut perempuan itu dengan mendorong sebuah koper dan membawa tas besar.
        Lelaki duduk di kursi roda itu tak berbicara. Pipinya mulai basah dengan air mata. Ia hanya melambaikan tangannya. Berharap segera berjumpa, meski baru saja berpelukkan. Andai saja, menjadi prajurit tidak perlu berperang, pasti mereka tidak harus berpisah.
***
Saat di rumah, Andin seperti biasa melakukan banyak pekerjaan rumah. Bapaknya tidak banyak bisa bergerak. Tapi, beberapa orang terus datang ke rumah. Mereka mempercakapkan hal yang tak bisa Andin mengerti. Itu yang membuat ia tidak senang berada di rumah. Rumah menjadi tempat untuk sandiwara kehidupan.
"Kita harus balas dendam !" bentak seorang lelaki.
"Tapi, bagaimana dengan hukuman ? Bagaimana kalau kita malah dipecat ?" tanya seorang perempuan merapikan baretnya.
"Ini bukan soal pekerjaan saja ! Ini soal persahabatan. Dulu, kita berjuang bersama. Hampir mati bersama. Bahkan, sampai Darto menjadi cacat !" kenang seorang lelaki sambil mulai minum kopi.
"Paman, gorengannya sudah siap," suara Andin memecah ketegangan mereka.
"Lihat ! Andin harus berjuang sendiri. Aku sering mendengar ia dibully oleh teman-temannya karena menjadi tukang sapu !" seru seorang perempuan yang sedang hamil.
"Anak-anak tidak pernah mengerti soal penyamaran !" bentak laki-laki dengan baret yang dilepas.