Mohon tunggu...
Yudha Adi Putra
Yudha Adi Putra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Tidak Pernah Mati

Penulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pisah

10 Januari 2023   11:55 Diperbarui: 10 Januari 2023   12:13 215
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pisah

Cerpen Yudha Adi Putra

Aroma oli bekas tercium ketika mendekati Muryanto. Suara berisik knalpot menghiasi pagi. Sahut-sahutan dengan kicauan burung. Rumah berdempetan dengan jarak dua sampai tiga langkah membuat tetangga tersenyum kecut kalau ada pertanyaan dimana rumah Muryanto.

                "Orang tak bisa merawat dirinya sendiri, tapi kenapa ada saja yang mencari ya. Aku heran, sehari bisa tiga sampai empat orang bertanya ke rumahku," keluh Pak Andri ketika kumpulan RT.

                "Jatahnya masing-masing. Rumah berpagar tinggi di sebelah desa bagaimana nasibnya ? Jangankan dikunjungi. Orang mau lewat saja malas. Kalau bukan kurir paket, menurutku tidak akan ada orang datang ke sana," Pak Darmin mencoba membela Muryanto. Mereka sering membicarakan Muryanto dan tamu-tamu dengan berbagai urusan ke Muryanto.

                "Kadang memang seperti mata air inspirasi. Sudah terlalu bosan dengan orang seperti kebanyakkan. Jadi, pada datang ke Muryanto," ungkap Pak Harjo.

                "Orang nyentrik seperti Muryanto sudah langka. Kebanyakan ingin hidup mapan, punya pekerjaan, menikah, mendidik anak dan tahapan-tahapan hidup lain. Maryanto menikmati dengan cara lain. Aku belum pernah melihat dia mengeluh meski hidup sendiri," lanjut lelaki itu.

                "Memang mengeluhnya bukan sama Pak Harjo. Muryanto kalau mengeluh malah mengajak berbicara burung. Bisa juga, dia berkeliling desa memakai motor tua warna merah," jawab Pak Andri. Percakapan tentang Muryanto malam hari ketika kumpulan RT berhasil membuat mereka tertawa senang. Ada saja pembicaraan tentang Muryanto.

***

                Ketika penduduk desa mengadakan kerja bakti membersihkan kuburan. Muryanto juga hadir. Wajahnya nampak keriput karena jarang tidur di malam hari.

                "Sama siapa Mur?" tanya Pak RT.

                "Ini kawan saya Pak. Dia bekerja di kota. Katanya, mau penelitian soal kerja bakti. Apakah boleh bergabung, Pak ?" ujar Muryanto.

                "Orang kota aneh ya, Pak. Masa kerja bakti malah diteliti. Kerja bakti ya ikut bekerja. Bawa cangkul atau kalau punya alat canggih kaya milik Pak Darso malah lebih baik," lanjut Muryanto. Dua orang yang datang bersamanya itu kemudian memperkenalkan diri pada Pak RT.

                "Mungkin hidup kita terlalu menarik ya, Mur. Mereka senang dengan desa. Ada bayangan kalau hidup di desa menyenangkan. Asri dan saling bergotong-royong," sindir Pak RT.

                Kedua orang tadi hanya tersenyum. Mereka membawa kamera untuk mengambil gambar. Sesekali, Muryanto berpose seperti pemimpin kerja bakti. Ada saja tingkahnya.

                "Kami hidup di desa saling membantu. Tidak mungkin kelaparan, meski miskin. Karena bagi kami, kebahagiaan bukan soal deretan angka dalam buku tabungan," ujar Muryanto.

                Penduduk desa lain hanya tergeleng-geleng. Bisa saja Muryanto berbicara. Ia tidak pernah tahu apa pembicaraan kalau kumpulan RT. Memangnya apa yang bisa membuat Muryanto seperti itu ? Burungnya atau motor tua dengan oli samping ?

                Hanya Muryanto yang bisa tahu. Muryanto sudah lama hidup sendiri. Tapi, kesepian seolah enggan menganggunya. Ada saja pekerjaan untuk dilakukan. Rezekinya bukan soal uang saja. Kalau butuh uang, nanti pasti ada. Kurang lebih, seperti itu kehidupan Muryanto. Setidaknya dari pengetahuan tetangga sekitar rumahnya.

***

                "Hidup terus berjalan, Mur. Kau tidak bisa terus-terusan begini. Ada banyak hal menarik untuk dilakukan," ucap Mbah Tani pada Muryanto.

                Muryanto hanya terdiam. Ia merasakan kesedihan mendalam. Tahu keadaan bahwa kedua orangtuanya meninggal. Usia Muryanto masih muda. Baru saja merencanakan banyak impian, tapi semua menjadi sia-sia.

                "Mbah, aku mau hidup di sini saja. Tidak usah kembali ke kota," pinta Muryanto.

                "Tapi, di sini bukan tempatmu. Aku hanya petani tua dengan sepetak sawah. Kau sendiri anak seorang guru besar. Kau harus kuliah, bukankah rencanamu tinggal di desa hanya untuk berlibur saja ?" tanya Mbah Tani.

                "Aku mulai betah berada di sini, Mbak. Ada tukang cukur yang mengajariku untuk bersyukur. Ada petani lain dengan pelajaran berpisah itu mudah. Aku belajar ikhlas hidup di sini, Mbah," kata Maryanto.

                Mbah Tani terdiam. Tak mengerti harus mengatakan apa lagi. Ada ketakutan yang disembunyikan. Waktu terus berjalan, hingga Mbah Tani meninggal. Orang di desa kemudian mengira bahwa Muryanto adalah cucu Mbah Tani. Ada satu kebiasaan Mbah Tani dan itu diteruskan oleh Muryanto. Kebiasaan memelihara burung.

***

                Pernah ada tetangga melapor ke Pak RT soal berisiknya Muryanto ketika pagi hari. Sekolah sedang diadakan secara daring, tapi Muryanto malah menyalakan motor tua. Motor itu mengeluarkan asap dan suara knalpot. Anak dari tetangga Muryanto merasa terganggu.

                "Maafkan saya. Nanti, kalau mau. Tugas sekolahnya saya ajari saja. Mengerjakan di waktu sore tentu akan menyenangkan. Belajar tapi jangan sampai lupa untuk mencintai diri sendiri. Kalau sekolah merasa terpaksa, belajarnya tidak menyenangkan. Semakin sulit paham," permohonan maaf Muryanto. Ia merasa bersalah karena menganggu tetangga. Tawa beberapa tamu juga terdengar. Maklum saja, Muryanto punya banyak kenalan dan mereka senang dengan desa. Senang untuk menjadi pengunjung, bukan untuk tinggal bersama.

                "Memangnya, kamu dulu sekolah ? Bukankah kerjaanmu cuma ngurusin burung ? Belum lagi, tangan kotormu itu hanya bau dengan oli. Tahu apa kamu soal pelajaran anak sekolah ?" bentak tetangganya dengan nada tinggi.

                Muryanto hanya tersenyum. Ia heran, kenapa sekolah memberi jaminan begitu kuat bagi orang desa. Seolah, kalau sudah sekolah nanti semua akan lebih baik. Kata temannya, kurikulum sekolah banyak yang menjauhkan murid dari persoalan kehidupan. Maka dari itu, tak jarang kalau ada banyak orang berlindung dengan kebanggaan kalau dirinya sudah sekolah.

                "Tamu datang lagi ke rumah Muryanto. Tamu tadi mengaku sebagai seorang penulis. Apa benar begitu ?" tanya tetangga Muryanto kepada penjual sayur.

                "Nanti, kalau aku mampir depan rumahnya tak tanya coba. Kita lihat situasi. Siapa tahu, sebenarnya mereka itu penjual narkoba seperti di televisi ? Wah, tidak bisa dibiarkan itu," ungkap pedagang sayur. Pembeli lain turut terpancing untuk penasaran. Ada apa sebenarnya. Kenapa rumah Muryanto kedatangan tamu terus.

                "Kita coba ngitip saja. Siapa tahu bisa mendengar percakapan mereka. Aku sebagai tetangga juga penasaran. Meski, aku tahu kalau Muryanto orang baik. Tidak mungkin dia menjual narkoba atau hal merugikan lainnya," bela seorang Ibu yang memakai daster. Nampak sibuk memilih sayuran.

                "Biar saja. Pasti ada yang mencurigakan. Kata Pak RT, kemarin ada dua orang datang mau meneliti kerja bakti. Itu memantau kondisi, aman tidak untuk bertransaksi," dugaan Ibu dengan sendal yang tertukar dengan milik suaminya.

                "Sudah-sudah. Malah jadi ngomongin Muryanto. Ini mau belanja apa saja. Sudah siang, mau pindah tempat lain," ujar pedagang sayuran.

                "Kami ngutang dulu ya, tapi jangan lupa. Info kalau ada yang tahu soal Muryanto," kata Ibu dengan baju biru. Pembeli lain nampak mendukung dengan senyuman.

                "Sama saja, kalian ngomongin Maryanto. Malah ngutang, apa bendanya dengan Muryanto. Masih mending dia, tidak ngutang," keluh penjual sayur.

***

                Semakin hari, orang semakin penasaran dengan siapa dan untuk apa ada tamu di rumah Muryanto. Meski senang merawat burung, tapi burung peliharaan Muryanto tak pernah awet. Seminggu dibeli, tidak sampai seminggu lagi pasti ada saja yang lepas atau mati. Itu menjadi kelucuan bagi tetangga.

                "Tidak apa, sakit hati karena bermain burung tidak akan sebanding dengan sakit hati karena berdinamika dengan manusia. Manusia itu rumit. Memangnya, siapa yang bisa membeli kebahagiaan ? Tidak melulu soal uang," alasan Muryanto kalau ada orang meminta dia berhenti memelihara burung.

                "Kalau tua begini asyik. Ada ceritanya. Setiap perjalanan terlalui dengan sapaan. Sudah jarang orang mau memiliki dan merawat motor seperti punyaku. Jadi, aku semakin bangga," kata Muryanto. Pertanyaan Pak RT soal motor tua berisik milik Muryanto dijawab dengan ringan. Seolah, motor itu bukan beban, melainkan kebanggaan.

                Kalau sudah bosan. Akan ada saja yang menggantikan, tapi perjalanan bersama itu melebihi rasa bosan. Semangat seperti itu membuat Muryanto semakin mencintai dirinya sendiri. Ia sepertinya tahu, bagaimana tetangganya memperhatikan dia. Seolah sebagai ancaman, kadang sebagai rasa penasaran yang harus terjawab. Tidak jarang, keberadaannya sebagai pengangguran dipertanyakan. Tawa memang menghiasi. Kesedihan disimpan sendiri, sampai tak ada seorang yang tahu. Betapa sedihnya kehilangan kedua orangtuanya.

***

                Seorang perempuan setengah baya tiba di desa itu. Perempuan tadi seperti kebanyakan pertanyaan, mencari tahu dimana letak rumah Muryadi. Hanya saja, semua orang di desa itu pasti tahu kalau dia adalah bupati yang baru.Ia bertanya pada seorang Ibu yang sedang asyik menjemur pakaian.

                "Selamat pagi, Ibu. Apakah ada yang kenal dengan adik saya. Ia tinggal bersama petani dulu. Namanya, Muryadi," tanya perempuan itu dengan sopan.

                "Kami berpisah puluhan tahun yang lalu. Banyak orang suruhan saya kemari. Untuk membujuk dia, tapi tak pernah berhasil," lanjut perempuan tadi.

                                                                                                                                Barat SD Tinom, 10 Januari 2023

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun