Mohon tunggu...
Yudha Adi Putra
Yudha Adi Putra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Tidak Pernah Mati

Penulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tatapan Kepodang

7 Januari 2023   10:45 Diperbarui: 7 Januari 2023   10:59 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Tatapan Kepodang

Cerpen Yudha Adi Putra

                "Aku mau kerja, kau ini kerjanya cuma makan dan tidur saja. Bangun siang lagi, lihat. Itu sudah jam sembilan," bentak Jumirah.

                "Ada apa ? Kerja sana, cari uang sebanyak-banyaknya," jawab Darso. Darso masih berusaha mengumpulkan nyawanya. Kantuknya sungguh terasa. Maklum, baru selepas subuh dia bisa tidur.

                "Pak, aku pengen mainan pasar-pasaran. Kita beli ya nanti," pinta anak perempuan Darso.

Darso kesal betul. Selain dimarahi istrinya, anak perempuannya juga sedang rewel. Anak itu minta dibelikan mainan. Sebagai orang yang baru genap seminggu menjadi pengangguran, permintaan anaknya menjadi sulit. Ia sudah kehabisan tabungan.

"Nanti ya, nak. Kita akan jalan-jalan ke pasar. Bebas pilih nanti mainannya," janji Darso. Akhirnya, Menik mau mandi. Tadi disuruh mandi oleh Jumirah tidak mau. Ia meminta mainan dahulu, baru mau mandi.

"Memangnya kau punya uang ? Kau kan pengangguran ?" kata Jumirah sebelum akhirnya menutup pintu. Berangkat kerja sebagai pegawai di toko baju. Jumirah biasa berangkat setelah semua pekerjaan rumah beres. Meski kalau dituruti, memangnya kapan urusan di rumah itu bisa beres ? Pasti ada saja yang dikerjakan. Entah bersih-bersih, menata perabotan, hingga memastikan makanan tersedia. Dan itu semua tidak pernah dibantu oleh Darso. Sebagai suami, Darso hanya bermalas-malasan.

"Benar juga, uang dari mana untuk beli mainan ? Atau aku jual burung saja ? Tapi, burung murai itu baru sebulan aku pelihara. Masa harus dijual, malu kalau dilihat sama tetangga," gumam Darso.

Menik sudah bersiap pergi ke pasar. Darso tidak mandi. Kopi yang biasa dibuatkan oleh Jumirah, pagi ini tidak ada. Stok kopi di dapur habis. Belum beli dan Darso sendiri tidak memberi uang belanja kepada Jumirah.

"Pak, kemarin aku melihat burung bagus. Warnanya kuning, besar sekali paruhnya. Bapak tahu tidak, itu namanya burung apa?" tanya Menik.

"Ada banyak burung warna kuning. Nanti kita lihat di pasar sekalian saja. Menik mau tidak, kita jalan-jalan ke pasar burung. Habis itu, baru kita beli mainan pasar-pasarannya. Setuju ?" bujuk Darso pada anaknya itu. Dia berharap, kalau ke pasar burung mungkin saja bertemu kawannya. Nanti bisa mendapatkan pinjaman untuk membeli mainan dan beberapa kebutuhan rumah. Tapi, ia juga takut kalau ada yang menagih hutang saat di pasar burung.

"Pasar burung itu panas, Pak. Ini sudah jam berapa ? Nanti kalau haus bagaimana?" Menik gelisah. Naik sepeda motor tua bersama Darso, mereka menyusuri jalanan yang mulai ramai.

"Tenang, kita bisa beli es buah. Menik mau tidak ? Kita ke pasar burung, beli es buah, terus pulangnya nanti baru beli mainan pasar-pasaran," saran dari Darso untuk anaknya.

Menik hanya menganggukkan kepalanya. Mereka menuju pasar burung. Suasana tidak terlalu ramai, tapi berisik. Kicauan burung terdengar saut-sautan. Lelaki tua nampak membawa kurungan rusak. Menik merasa kasihan.

"Pak, kakek itu jualan apa ? Kasihan sekali, kurungannya sudah jelek dan burungnya pada tutup mata semua," ucap Menik.

"Kakek itu tadi malam mencari burung. Bapak dulu juga seperti itu. Ikut kakek untuk mencari burung di malam hari. Waktu masih kecil, Bapak senang sekali kalau diajak kakek pergi di malam hari. Nanti pulangnya kalau sudah pagi," jawab Darso. Tak disangka, ungkapan itu membawanya pada bayangan puluhan tahun silam. Saat dimana Darso masih kecil, ia senang berburu kepodang dengan bapaknya.

"Pak, burungnya seperti itu ! Iya, itu bagus sekali. Ayo kita lihat," Menik menarik tas yang dibawa Darso. Tangan munggilnya menunjukk pada burung kepodang. Tatapan kepodang bermata merah itu seolah berkisah.

Darso hanya berjalan mengikuti Menik menarik tasnya. Ia tak mampu berkata-kata. Pipinya basah karena air mata. Karena burung kepodang itu, Darso kehilangan bapaknya. Bapaknya terjatuh dari pohon ketika mengambil sarang kepodang dan saat ini, ketika Darso menjadi bapak. Ia melihat tatapan kebencian kepodang padanya. Tapi, Menik malah begitu tertarik dengan burung itu.

                                                                                                Sidoagung, 07 Januari 2022

               

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun