Mohon tunggu...
Yudha Adi Putra
Yudha Adi Putra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Tidak Pernah Mati

Penulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Putung Rokok Terakhir

1 Januari 2023   09:35 Diperbarui: 1 Januari 2023   09:37 173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Putung Rokok Terakhir

Cerpen Yudha Adi Putra

"Kenapa acara belum dimulai ? Katanya mulai jam setengah delapan. Sekarang sudah jam delapan lebih," gerutu pemuda berbaju biru. Berkali-kali melihat jam tangannya, nampak gelisah.

            "Maklum, pasti molor kalau acara seperti ini. Lihat saja, masih ada peserta yang jajan. Panitia juga asyik bertemu kawan lama. Sudah, nikmati saja. Setahun sekali, tujuan utama ketemu kawan. Hahaha," balas kawannya.

            Malam dihiasi mendung. Bintang tak nampak, hanya lampu-lampu penghias panggung. Suara pengatur pengeras suara memastikan semua alat berfungsi. Banyak orang mulai berdatangan membawa kisah mereka masing-masing.

            "Dulu, waktu kita ikut tidak semegah ini ya," celatuk pemuda yang asyik memainkan gawainya. Meski berbicara pada temannya, matanya tetap fokus pada gawai. Biasa, memang sering seperti itu.

            "Itu tandanya, kau sudah tau. Tapi, benar juga ini asyik sekali. Ada banyak dukungan. Tidak tanggung-tanggung, bupati juga ikut nanti. Merayakan tahun baru bersama kita," jawab seorang perempuan. Ia mengibas-ibaskan tangannya, seolah menolak sesuatu.

            "Rokokmu itu, bikin polusi. Kenapa merokok, sudah tahu ada perempuan ? Biar keliatan keren dilihat adik-adik itu ? Matikan!" lanjutnya.

            Pemuda tadi hanya tersenyum, seolah mengejek ungkapan perempuan itu. Mereka lalu tertawa bersama, teringat dulu ada yang merokok lalu disuruh makan tembakau. Sebagai sebatang rokok, aku tidak ikut senang, justru malah sedih. Sedih karena pemuda tadi malah menginjak diriku. Sebenarnya, sudah banyak aku melihat kawan-kawanku diperlakukan sama denganku. Tapi, tempat dimana mereka dimatikan sungguh kejam. Bisa dibuang begitu saja. Mereka menekan dengan aspal atau kalau beruntung, kami dibiarkan dulu di antara batu. Lalu, nanti kalau ingat dirokok lagi. Tapi, lebih sering kami mati karena waktu berjalan dan kami terbakar secara perlahan.

            "Nikmat mana lagi yang bisa menandingi ? Bisa merokok bersama kawan lama, menikmati cerita perjuangan di masa lalu, dan menanti pergantian tahun baru ?" ungkap seorang pemuda. Ia juga mulai menyalakan rokoknya.

            "Nanti, setelah ini kau harus skripisan. Ingat itu!" komentar pemuda di sampingnya. Sebotol minuman dikeluarkan olehnya, beberapa orang tersenyum. Kehadiran botol minuman di antara mereka menjadi sebuah penanda. Kami, sebagai rokok dimatikan walau masih panjang dan kuat menemani obrolan sejenak.

            "Nanti pasti bisa, sekarang minum dulu. Asli bengkonang ini, kearifan lokal," kata pemuda yang membawa botol nampak meyakinkan.

            Ketika mereka asyik menikmati minuman, terdengar suara kembang api dinyalakan. Langit mendung menjadi berwarna, meski hanya sebentar. Ini menyedihkan, bukan karena kembang api menyala sebelum waktunya. Tapi, taman kota mulai menjadi terhias dengan beberapa putung rokok. Putung rokok berserakan dan nampak menjijikan. Rumput menjadi marah karena kedatangan kami. Seolah, kaum putung rokok seperti kami adalah sampah pembawa racun. Aspal jalanan terus menggerutu, mereka tak nyaman ada kami. Nanti, kalau hujan mulai tiba, pasti hujan juga mengusir kami. Semua seolah tidak senang dengan kami. Menjadi tertolak di berbagai pihak, tentu akan menyakitkan bukan ? Belum lagi, kalau dahulu pernah begitu berarti dan dicari, bahkan kami diciumi ? Tapi, setelahnya menjadi tak berarti. Kami dibuang begitu saja.

            Dulu, memang ada pemuda bernama Yudha. Aku ingat betul, Yudha berkawan baik dengan kami, kaum putung rokok. Yudha tak nampak dalam kumpulan pemuda itu. Aku bertanya pada kawan lain juga belum melihatnya. Membawa botol bekas berukuran kecil, Yudha pernah memunguti kami. Sebagai putung rokok, kami tentu senang karena bisa berjumpa dengan teman-teman. Saat bertemu di botol bekas milik Yudha itu, kami bisa saling pamer.

            "Tadi, aku dirokok sama perempuan. Cantik sekali, bangga sekali aku. Tapi, belum ada satu menit. Aku dibuang begitu saja," ungkap putung rokok berdiameter kecil. Aku pernah mendengar cerita mereka.

            "Tidak seberapa itu, pemuda berseragam polisi itu merokok diriku. Katanya, aku menjadi sahabat ketika berjaga di malam hari," putung rokok berwarna biru tidak mau kalah.

            "Belum lama, aku bertemu Yudha. Dia memang tidak merokok diriku, tapi ada perempuan bersamanya. Perempuan itu berisik sekali, melarang Yudha untuk merokok. Aku mendengarnya samar, karena kawan Yudha merokok diriku," ucap putung rokok lintingan. Ia memang putung rokok paling jarang dijumpai.

            Menyenangkan sekali, kami bisa menertawakan nasib antar putung rokok. Sesekali, membandingkan pencapaian kami. Persis, seperti yang menjadi perokok. Memang benar, perokok tidak pernah peduli pada putung rokok, tapi kami selalu bangga ketika menjadi putung rokok. Semoga saja, dalam kebanggaanku nanti aku bisa menjadi putung rokok terakhir yang bertemu Yudha.

                                                                                    Tridadi, 01 Januari 2023

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun