Mohon tunggu...
Yudha Adi Putra
Yudha Adi Putra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Tidak Pernah Mati

Penulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Hanya Bergantian

31 Desember 2022   16:30 Diperbarui: 31 Desember 2022   16:44 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hanya Bergantian

Cerpen Yudha Adi Putra

Pengeras suara sudah memberitakan kembali kalau ada berita kematian. Setidaknya, ada dua orang meninggal dalam seminggu ini. Walidi tidak mengenali siapa yang meninggal. Jadi, itu tidak menjadi masalah. Tapi, tidak dengan Mbah Rejo.

"Temanku bermain sudah banyak yang meninggal. Aku sudah tua ternyata. Semoga, kau berbagi keceriaanmu ya Yat. Doaku untuk keluargamu," kata Mbah Rejo setelah mendengarkan siapa yang meninggal. Ia teringat kembali, kejadian puluhan tahun silam. Dimana dia dan teman-temannya masih berburu belut di sawah.

"Simbah kenal dengan yang meninggal?" tanya Walidi.

"Tentu. Dia kawan dekat simbah. Kami berteman meski beda keyakinan. Dulu, Yatiman adalah anak pemuka agama yang taat, beda dengan aku." Mbah Rejo menjawab sambil berusaha mengingat wajah muda Yatiman.

"Tapi, kini Yatiman sudah meninggal. Aku yakin, pasti banyak nanti yang melayat. Dia orang sederhana, tapi kawannya banyak. Tidak suka pamer, apalagi tanya-tanya jumlah anak berapa ? Kerja dimana sekarang ? Makanya, anak muda juga senang dengannya," lanjut Mbah Rejo.

Walidi memang tidak kenal dengan Yatiman kawan Mbah Rejo itu. Pulang ke desa setelah belasan tahun di kota, ternyata sudah banyak berubah. Tidak hanya sawah yang menjadi perumahan, tapi seolah nama-nama orang semuanya terlupa.

"Nanti, aku mau belajar, Mbah. Sebentar lagi, aku mau melanjutkan studiku. Kalau tabungan sudah mencukupi, aku mau kuliah lagi," ujar Walidi. Seolah, dia bisa menebak kalau setelah mendengar ada berita kematian, Mbah Rejo akan memintanya untuk mengantarkan melayat.

 "Kau ini, alasan saja. Memangnya kau tidak malu ? Kalau aku yang tua ini datang ke sana sendirian ? Nanti kalau dirimu ditanya bagaimana ? Aku dikira tidak bisa mendidikmu dan kau sendiri tidak bisa menjalin relasi. Ini ada orang meninggal, bukan pesta yang bisa ditunda atau tidak hadir dengan alasan sesukamu!" ungkap Mbah Rejo dengan ketus.

Walidi mulai kesal. Ia tak berani menjawab kakeknya itu. Hanya kembali ke belakang rumah melihat beberapa sangkar burung yang makanannya sudah habis. Waktu terus berjalan, siang tiba dan Mbah Rejo sudah rapi dengan baju hitamnya. Siap untuk melayat. Ia mencari Walidi.

"Ayo, Wal. Kita berangkat, nanti setelah melayat kau bisa lanjutkan tugasmu itu. Belajarmu bisa lebih konsentrasi. Kita hidup hanya bergantian. Nanti, ada saatnya juga kita yang akan dilayat. Ingat itu Wal. Hidup hanya sementara," ungkap Mbah Rejo.

Walidi hanya terdiam. Dia memang tidak setuju dengan perkataan Mbah Rejo. Tapi, kebenarannya tidak dapat dibohongi. Dengan sedikit rasa takut, ia meraih baju hitamnya dan beranjak menyalakan mobil.

"Ayo, Mbah. Kita berangkat untuk melayat," kata Walidi ketus.

"Baik, Ngger. Rumahnya hanya di seberang lapangan timur desa itu. Dekat yang jual bakso. Kemungkinan juga, penjual baksonya memilih untuk tutup."

"Nanti, kau bisa berjumpa beberapa kawan lamamu. Setelah tinggal di kota dan kembali ke desa, kau jarang sekali bertemu mereka. Mungkin, mereka juga ragu kalau menganggumu," lanjut Mbah Rejo.

Ketika sampai di rumah duka, ibadah penghiburan sudah dimulai. Pendeta baru saja mengawali pembacaan Alkitab. Beberapa perempuan berkacamata hitam, banyak lelaki tua dengan rokok di tangannya. Mereka menyalami Mbah Rejo, seolah khotbah pendeta tidak berarti. Perhatian hanya pada Mbah Rejo yang mendekati peti.

"Yat, selamat jalan. Semoga aku bisa segera menyusulmu. Aku juga lelah dengan semua urusan dunia ini," tak terasa, setelah berucap, pipi Mbah Rejo basah. Ia menangis tahu kalau sahabatnya sudah meninggal.

Walidi tidak nampak dalam kerumunan orang melayat. Ia hanya berdiam dalam mobil sambil bermain HP. Terdengar beberapa orang berkata.

"Mbah Rejo memang berhasil menyekolahkan Walidi, tapi tidak dengan mendidik Walidi. Masa, ketika melayat malah berdiam dalam mobil," kata bapak dengan peci warna hitam.

"Iya juga, padahal besok juga gantian. Kita yang melayat, Mbah Rejo sudah tua. Nunggu apa lagi kalau tidak.." belum sempat ucapan lelaki dengan baju coklat itu selesai. Ada HP melayang tepat di kepala lelaki itu.

Walidi marah. Ia keluar dari mobil dan memukuli lelaki itu. Keributan di luar didengar oleh Mbah Rejo. Mbah Rejo berteriak menyebut nama Walidi, lalu tubuhnya lemas. Rebah di dekat tubuh Yatiman, sahabatnya.

"Tubuh Mbah Rejo dingin, ia gantian yang meninggal dunia," kata seorang pelayat.

Gancahan 5, 31 Desember 2022

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun