"Ayam di kandang juga sudah habis terjual," lanjut Asih.
        "Aku belum dapat pekerjaan. Bagaimana kalau menjual perhiasan ? Cincin nikah kita ?"
        "Kau gila. Itu cincin adalah hiasan satu-satunya. Lagi pula, itu cicin nikah, Mas. Sebegitu tidak berharganya tanda pernikahan kita?" jawab Asih nampak kesal.
        "Lalu, apa lagi ? Mau mengadaikan rumah ini ? Kita hanya ngontrak dan kontraknya habis dua bulan lagi,"
        "Bagaimana kalau merantau ? Mungkin saja, rezeki kita bukan di kota ini. Kita jual beberapa barang untuk pengobatan Titin dan sisa uangnya untuk ongkos merantau. Tapi, siapa yang mau mengurus Titin?" usul Asih dengan sorot mata penuh harapan.
        "Kau urus Titin saja. Kita akan pinjam uang dari bank. Semoga beberapa barang bisa untuk jaminan. Ada BPKB juga kok,"
        Asih hanya mengangguk. Dalam benaknya, ia berharap keadaan bisa lekas berubah.
***
Beberapa bulan berlalu, Asih kini tinggal berdua dengan anak perempuannya. Suaminya, Wito merantau di kota lain. Tanpa kabar, tanpa kiriman uang bulanan, Asih hidup dengan risiko tiap hari didatangi penagih hutang. Sering ada penagih hutang yang menawari Asih menjadi simpanan mereka. Tapi, Asih menolak. Ia tetap berharap kabar dari Wito. Banyak perbuatan penagih hutang yang membuat dirinya ketakutan, belum lagi kekerasan seksual menimpa anak perempuannya. Titin sering dibawa oleh beberapa orang dengan mengaku petugas dari pusat rehabilitasi. Tapi, bukan terapi yang diterimanya, melainkan pelecehan. Sebagai penyandang disabilitas, Titin tak mengetahui kalau perbuatan beberapa penagih hutang itu merupakan pelecehan seksual.
"Wito ternyata menjadi simpanan janda pemilik salon," kata Tito ketika bertemu dengan Asih.
"Siapa? Janda yang mana?" Asih nampak gelisah.