Bangku Pertama
Cerpen Yudha Adi Putra
"Burung prenjaknya berapaan, Pak ?" tanya seorang pemuda sambil menunjuk sangkar berwarna coklat.
      "Murah, Mas. Delapanpuluh ribu saja. Itu masih muda, sudah mulai jinak," kata Pak Sarijo.
      Pemuda itu mengernyitkan dahi. Menatap dengan teliti pada burung prenjak. Sesekali mulutnya bersiul, berharap burung itu menyapa dengan kicauan memanggil namanya.
      "Kalau merasa mahal, ditawar saja," Pak Sarijo seolah bisa membaca gerik pemuda itu. Ia mempersiapkan tempat untuk membawa. Sebuah kertas yang dilipat menjadi seperti karung.
      "Limapuluh ribu sepasang ya, Pak. Masa hanya sendirian. Masih muda juga,"
      "Belum boleh, Mas. Harga segitu kalau kulakan juga belum dapat. Empatpuluh lima ribu, Mas. Ini yang paling lincah," Lelaki tua itu menangkap seekor burung di sangkar.
      Belum sempat burung itu terjual, ada pengumuman lewat pengeras suara di pasar. Kalau pasar akan segera tutup lebih awal karena harus kerja bakti. Ada berita kedukaan juga, Pak Aziz. Pemilik tanah tempat mereka berjualan meninggal dunia. Jenazah akan dimakamkan besok jam 2 siang.
      "Ya, Tuhan. Aziz, kenapa kamu pergi begitu cepat ?" keluh Pak Sarijo. Ia tak mempedulikan lagi pemuda yang menawar burung prenjaknya. Semua seolah menjadi gelap. Ada getaran aneh siang itu, tidak seperti waktu jualan pada hari-hari biasanya. Pak Sarijo menimbang-nimbang perasaan dengan bimbang.
      "Lik, ayo segera tutup. Kita kerja bakti di rumah Aziz. Daganganmu sudah laku banyak itu ?" sapa Pak Minto. Pak Sarijo tak menjawab, perasaannya tidak menentu. Nama Aziz, lengkapnya Aziz Pahlewi Ibrahim begitu melekat dengan masa mudanya dulu. Bahkan bisa disebut sahabat, tapi mereka bernasib lain.