Ini Surga
Cerpen Yudha Adi Putra
"Aku ingin tahu rasanya punya tangan, biar tidak diremehkan. Mereka tidak mau memperhitungan pandanganku," keluh Seno sepulang dari melakukan hobinya.
Seno sering mengeluh karena hanya bisa berada di kursi roda. Dia ingin cepat mati saja. Kalau mati, Seno beranggapan kalau di surga nanti punya tangan lagi. Tangan Seno dulu harus diamputasi sebagai akibat dari kecelakaan yang menimpanya. Lalu, semenjak menjadi penyandang disabilitas Seno jadi senang memelihara burung dalam sangkar.Â
Burung dalam sangkar itu seperti dirinya, begitu kalau ditanya alasan. Seno juga aktif melombakan burung peliharaannya. Hampir setiap Minggu pagi, dia hadir paling pagi di lapangan ujung desa untuk menggantang burung.
Hingga tak berselang lama, Seno merasa terhina karena pendapatnya ketika mengusulkan lomba gantangan tidak diterima. Tentu, banyak orang menyepelekan, memangnya penyandang disabilitas yang tidak punya tangan bisa berbuat apa ? Sudah baik diberi kesempatan untuk ikut bergabung, kurang lebih seperti itu pandangan pecinta burung kicau kalau Seno berpendapat.
Keinginan Seno untuk cepat mati karena tak tahan akan hinaan dan remehan orang lain semakin kuat ketika tahu utangnya bertambah banyak. Seno banyak melakukan pinjaman untuk beli tiket melombakan burungnya.
"Tolong segera dibayarkan ya, Mas. Ini sudah nunggak dua bulan lebih. Jadi, bunganya nanti bisa bertambah terus," tagih pria berbadan gemuk ketika menjumpai Seno di kursi roda sedang memandikan burung murainya.
"Nanti kalau saya ada uang, langsung saya bayarkan, Pak. Sekarang, saya belum ada uang untuk bayar," jawab Seno.
"Kenapa tidak menjual burung saja, memenuhi teras rumah. Mana kalau pagi berisik lagi. Kau jual saja burungmu itu, biar bisa bayar hutang," usul istrinya Seno.
"Tidak, diam saja kau. Tidak usah ikut campur urusan laki-laki," ujar Seno.
Penagih hutang itu pergi tanpa pamitan. Mungkin dia malas mendengarkan Seno beradu mulut dengan istrinya.
***
Seno merasakan dadanya sesak. Hampir seminggu dia tidak beranjak dari tempat tidurnya. Ia teringat akan gambar di belakang bungkus rokok yang sering dibelinya. "Merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi dan gangguan kehamilan & janin". Kepalanya pusing dan dahinya berdenyut. Seno mengabaikan ingatan akan bungkus rokok itu. Ia mencoba untuk tidur saja.
"Mas, makanan burungmu sudah habis. Aku tidak tahu bagaimana memberinya makan. Kalau dijual saja bagaimana, nanti aku minta Lik Manto untuk membantu menjualkan. Bisa untuk bayar hutang dan makan," kata istri Seno. Tentu, ucapan istrinya itu membuat dia jadi tidak bisa tidur. Seno meminta istrinya menuliskan sesuatu.
"Ambilkan kertas dan pena, tolong tuliskan. Beli kroto, ulat hongkong, jangkrik, dan pisang. Lalu, untuk pemakan madu, beri saja susu kental manis, dicampur kuning telur, dan madu. Kalau ada yang mau membeli burungku, murai batu di sangkar biru itu harganya dua jutaan. Lalu, burung cucak ijo di sangkar coklat harganya tiga juta. Itu pesanku, aku pusing sekali. Mau tidur, tapi dadaku sesak," ujar Seno.
Istrinya mencatat seperti yang diminta oleh Seno. Karena tidak paham, ia minta tolong pada Lik Manto, kakak pertama dari Seno. Semua burung Seno memang burung mahal, terutama murai batu. Burung murai batu itu yang membantu keuangan keluarga Seno, terutama ketika Seno sudah tidak bekerja lagi.
***
Pagi ini, Seno terbangun dari tidurnya. Dadanya masih sesak, tapi perlahan dia bangkit, mencari kursi rodanya. Tapi, kursi rodanya tidak ada. Ia menatap jam, ternyata juga tidak ada di tempat seharusnya. Ia malah disapa oleh Ibunya, Bu Hesti yang seingatnya sudah meninggal lima tahun sebelum Seno kecelakaan.
"Kau sudah disini, No. Ayo, bertemu dengan Kakek dan Nenekmu. Kakekmu sering memperhatikan keluhanmu, ternyata ia senang dengan hobi barumu. Ia juga memelihar burung murai," kata Bu Hesti.
"Kenapa Ibu ada di sini, bukankah Ibu sudah meninggal?" tanya Seno ketakutan.
Ibunya hanya tersenyum. Perlahan mulai meninggalkan Seno. Tak lama kemudian, muncul seorang penyandang disabilitas mental. Ia berusaha mendekati Seno, tapi malu.
"Halo, Mas. Ayo kita bermain. Kau sudah ditunggu," sapa lelaki separuh baya itu dengan meneteskan air liur.
Seno mampu bergerak ternyata, meski tanpa memakai kursi roda. Ia kehausan, mencari gelas tidak ada. Tapi, tiba-tiba ada air keluar di dekat mulutnya.
"Aku dimana ini ? Istriku dimana ? Bagaimana dengan burung-burungku ?" tanya Seno mengabaikan lelaki yang mendatanginya tadi. Ia memperhatikan tangannya masih tidak ada. Pikirnya, ia pasti bukan di surga. Kalau di surga, tangannya tentu ada.
Ia berkeliling tempat itu dan nampak sebuah rumah ramai dengan orang. Pemandangan itu ada di atas Seno. Nampak pula, orang dengan baju hitam lalu di lehernya ada tanda putih sedang membaca doa.
"Terima kasih untuk semua yang hadir. Mari kita bersama lanjutkan pemakaman Bapak yang terkasih Dwi Seno Triyono dengan mengingat firman Tuhan, Berbahagialah orang-orang yang mati dalam Tuhan, sejak sekarang ini. -- Wahyu 14 :13" ucap lelaki berbaju hitam itu dengan lantang. Lalu, sekelompok pemuda membawa kayu salib, foto Seno, bunga, dan peti berjalan menuju tempat pemakaman.
"Apa ? Jadi aku sudah mati ? Apa ini di neraka ?" tanya Seno dengan histeris.
"Ini Surga, Mas." kata seorang penyandang disabilitas tuna netra sambil tersenyum.
Godean, 19 Desember 2022Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H