Ada Barang
Cerpen Yudha Adi Putra
        Mulai mengambil mangga, begitu dikupas Toni langsung memotong buah itu. Aku mulai merasa tidak enak. Pasti setelah ini, Tomi minta minum es teh. Sambil melahap mangga panenan tadi siang, Tomi mengeluarkan gawainya.
        "Kemarin aku dapat undangan dari pemerintah untuk mendatangi penyuluhan. Mau tahu tidak apa yang membuat aku diundang dan diberi kesempatan mengajukan proposal anggaran?" tanya Tomi dengan wajah serius.
        Aku mengernyitkan dahiku dan menggeleng. Tomi memang sedang aktif sebagai penggerak literasi di desa. Begitu menurut cerita pemuda-pemuda. Dia sering mengumpulkan sampah plastik dan punya banyak relasi sampai kecamatan lain. Tomi juga berkenalan dengan banyak tokoh, termasuk Doni. Menurut pengakuannya, Doni itu pemberi sponsor untuk kegiatannya. Bahkan Tomi mengaku kalau Doni banyak berjasa untuk desa. Tapi, aku tidak tahu siapa Doni, hanya mendengar cerita Tomi saja.
        "Aku dapat dana 5 m, Yud! Menurut Doni, aku harus segera membangun perpustakaan dengan konsep limbah pustaka. Perpustakaan untuk kegiatan literasi masyarakat desa ini. Nanti perpustakaan itu akan dikirimi banyak buku olehnya. Apa kau berminat bergabung ? Aku tahu dirimu suka membaca,"
        "Ya. Aku suka membaca. Pasti asyik, kalau di desa ada perpustakaan. Tapi, itu membayar atau tidak ?"
        Tomi tertawa dan mulai meraih rokoknya.
        "Pikiranmu hanya pada membayar atau tidak, Yudh. Kurang relasi. Kurang bergaul dengan orang-orang kaya. Kurang kenal dunia luar. Menyebalkan!"
        "Lha terus ? Memangnya bisa dapat uang banyak dengan permintaan dibuatkan perpustakaan ?" tanyaku kemudian.
        "Kalau membangun perpustakaan memang perlu dana. Tapi, aku menyumbang hal yang mahal harganya yaitu ide. Memangnya, berapa orang bisa membayar untuk sebuah ide ? Kalau tanpa dana, ide tidak ada gunanya, Yudh. Ini ada kesempatan, ide dan dana bertemu. Ayo bergabung,"
        Aku mengangguk dan tersenyum kagum pada kawanku itu. Tomi lalu mengeluarkan selembar kertas dari tas lusuhnya. Ia menceritakan gambaran perpustakaan yang mau dibangunnya.
        "Begini, Yudha. Maaf sebelumnya, perpustakaan ini akan sedikit memotong area sawah. Lalu, ada jalan sedikit untuk masuk lewat samping. Sesuai pesanan Doni, ada ruangan khusus penyimpanan di belakang. Nanti ruangan itu untuk mengirimkan dan menerima barang. Apa kau paham ?"
        Aku bingung dan sedikit curiga dengan apa yang dimaksud Tomi dengan barang.
        "Lalu, mau mulai kapan pembangunan perpustakaan ini ? Kenapa ada tempat penyimpanan limbah juga ?" tanyaku.
        Kertas gambar itu dimasukkan lagi dalam tas.
        "Menjelang akhir tahun, akan banyak acara penting. Kita harus berkreasi dengan memanfaatkan perpustakaan ini. Siapa tahu, ada kegiatan yang dilakukan di perpustakaan. Itu jadi ajang promosi, limbah perpustakaan. Menurut Doni itu akan mendukung perkembangan literasi dengan pemanfaatan sampah. Aku juga dijanjikan uang yang banyak untuk mengembangkan perpustakaan. Jadi, kita bisa membantu masyarakat biar dapat bacaan,"
        Aku mengangguk-angguk. Tomi memang sudah berubah. Dia memiliki impian baik untuk desanya. Dahulu, mungkin orang mengenalnya sebagai peminum dan pemabuk. Tapi, setelah pulang merantau. Dia menjadi peduli dengan literasi. Kecurigaanku sedikit mereda mendengarkan penjelasannya.
        "Sekarang aku punya banyak kawan yang bergerak di kegiatan literasi masyarakat. Mereka mendirikan perpustakaan. Ada becak pustaka, angkringan literasi, gubug baca, dan kreasi perpustakaan lainnya. Bagaimana menurutmu, Yudh?"
        "Bagus, kau sudah banyak berubah ya,"jawabku.
        "Kamu tidak tertarik untuk bergabung dengan pengiat literasi pedesaan seperti aku?"
        Aku menggeleng. "Aku tidak punya waktu. Aku sekarang sibuk menulis dan bertani. Gampang lelah kalau bertemu banyak orang. Aku juga tidak pandai membangun relasi luas seperti dirimu. Jadi tidak mungkin mendirikan perpustakaan dan jalan-jalan ke kota seperti dirimu," kataku mencoba beralasan.
        Tomi lalu menceritakan enaknya jadi pegiat literasi dan kesempatan dapat dana dari pihak asing seperti Doni. Uang dapat datang dengan mudah. Kepercayaan masyarakat meningkat. Kalau mau pergi, tinggal bilang mau penelitian literasi. Nanti, ada Doni yang membiayai asal disediakan tempat untuk meletakkan barang di perpustakaan.
        "Mungkin itu pengaruh dari relasi yang aku bangun ketika merantau, Yudh. Juga kemampuanku bekerja sama dengan banyak pihak," kata Tomi seperti berkhotbah.
        Tapi sebulan kemudian desa kami di datangi penjinak bom dan banyak sekali polisi. Mereka menggledah limbah pustakan yang didirikan oleh Tomi. Tomi tertembak di kaki kanannya karena berusaha melarikan diri. Para petani melihat Tomi ditangkap polisi, tidak nampak seperti pengiat literasi. Percakapan di pos ronda malam harinya mulai ramai, Doni yang mengirimkan barang ke perpustakaan dan membiayai Tomi menjadi pengiat literasi ternyata adalah bandar narkoba dan perakit bom. Tomi dituduh bekerja sama dengan jaringan narkoba itu dengan membantu menyembunyikan puluhan kilo ganja di perpustakaan.
        "Mas Yudha tidak mengetahui kalau Tomi penyelundup narkoba di perpustakaan ?" tanya Pak RT ketika ronda malam. Karena Pak RT melihat aku dan Tomi memetik mangga di kebun beberapa minggu yang lalu.
        "Tidak tahu, Pak." jawabku singkat.
        Tiba-tiba aku teringat kalau suatu malam ada seorang pemuda membawa kardus dan membukanya di belakang perpustakaan. Waktu itu, dia menyapaku tapi aku hanya diam saja.
        "Ada barang, bos ?" katanya.
Tembi Rumah Budaya, 17 Desember 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H