Timeo dan Kekerasan Spiritualitas
Cerpen Yudha Adi Putra
        Dalam mimpi Timeo, gereja berubah menjadi tempat yang menyeramkan. Gereja dibayangkan dengan penuduhan, kebencian, diskriminasi, hingga pelecehann. Lonceng gereja tak lagi nyaring terdengar nyaman. Itu malah menakutkan ketika Timeo hendak datang. Seorang berbaju hitam mengatakan kalau dirinya selalu bersalah. Setiap Minggu datang tak pernah ada apresiasi, selalu disalahkan. Timeo tidak menyadarinya, ia malah merasa senang ketika diberitahu akan kesalahannya.
        "Begitulah, Saudara. Nyata sekali kita tidak dapat melakukan dengan sempurna. Kita hanya orang-orang berdosa yang terus mengulangi perbuatan dosa kita." ungkap seorang berbaju hitam di dekat mimbar kecil.
        Sesudah ibadah hari Minggu selesai, harapan Timeo untuk melanjutkan kehidupan muncul lagi bersama berbagai keinginan untuk hidup sesuai yang dikatakan orang berbaju hitam itu. Bagaimana tidak ? Orang berbaju hitam itu menjanjikan kehidupan yang enak di kemudian hari. Ada sukacita yang bisa dirasakan ketika bisa melakukan seperti percakapan orang berbaju hitam. Betapa Timeo ingin supaya kisah hidupnya menjadi indah. Ia hanya seorang buruh pabrik yang terus bertemu dengan pabrik dibandingan kisah indah dalam hidupnya. Rasanya, ia terus merasakan kemalangan dalam hidupnya. Gajinya sebagai buruh pabri tak pernah cukup untuk hidup sehari-hari. Ia memelihara beberapa ayam, sesekali dijualnya untuk membeli keperluan sehari-hari.
        "Jadi, Saudara. Berikanlah persembahan yang baik supaya mendapatkan yang baik juga. Kalau kita memberikan yang baik. Nanti akan mendapatkan imbalan yang terbaik juga. Semua harus diberikan yang paling baik." Lelaki berbaju hitam itu kembali berbicara ketika bertemu di depan gereja.
***
        Selepas hari Senin, Timeo bekerja lebih keras lagi, jatah lembur diambilnya supaya gaji yang didapatkan bisa lebih banyak lagi. Dengan harapan bisa memberikan yang terbaik, ia bekerja tanpa memperhatikan rasa lelah. Ia mengikuti ucapan pria berbaju hitam untuk terus memberikan yang terbaik. Meski, apa yang diberikan itu menjadi penindasan dalam dirinya. Hanya dengan memberikan yang terbaik, Timeo mungkin merasakan senang. Tapi hanya sebentar, di mana perasaannya tetap disalahkan oleh orang berbaju hitam.
        "Bekerja terus sampai lupa waktu untuk pelayanan. Pelayanan bersama itu penting karena menjadi dasar dalam hidup komunitas. Kalau hanya bekerja terus, bukankah itu mengejar kepentingan dunia saja ? Bagaimana menata dan mensyukuri kehidupan selanjutnya. Harus ada waktu untuk pelayanan!" laki-laki berbaju hitam terus mengatakan itu di mimbar pada hari Minggu selanjutnya. Di mana Timeo juga merasakan bersalah karena memilih waktu lembur. Padahal, ia ingin memberikan yang terbaik dari hasil kerjanya untuk sesuai seperti yang diucapkan orang berbaju hitam kemarin Minggu. Masih dalam orang yang sama, tapi apa yang dibicarakan sudah berubah dari Minggu ke Minggu. Timeo berusaha mengikutinya.
        "Oh.. Mas Timeo! Tumben, datang ke pastori sepagi ini ? Apa hendak menyampaikan berkat Tuhan ? Atau ada yang mau dibicarakan dengan saya ?" ungkap pria yang biasanya berbaju hitam ketika hari Minggu tiba.
        "Tidak. Saya mau bercerai dengan istri saya. Saya tidak tahan lagi. Ada banyak kekerasan terjadi di rumah tangga kami. Rasanya, bercerai menjadi jalan supaya kita tidak saling menyakiti. Itu yang mau saya sampaikan. Tapi, saya tidak tahu caranya!" ujar Timeo dengan lugu terkait apa yang dia rasakan.