Mohon tunggu...
Yudha Adi Putra
Yudha Adi Putra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Tidak Pernah Mati

Penulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Hidup bersama Aki

23 November 2022   20:00 Diperbarui: 23 November 2022   20:04 163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hidup Bersama Aki

Cerpen Yudha Adi Putra

Ketika Sigit keluar dari pekerjaannya, ia dan Lina terbawa pada bayangan masing-masing. Sigit dan Lina adalah pasangan suami istri yang bekerja di pabrik tekstil. Mereka sekarang sudah tidak bekerja lagi. Harga barang kebutuhan hidup padahal menjadi naik. Pagi itu, mereka duduk bersebelahan di depan rumah dengan tatapan masing-masing. 

Lina membayangkan bagaimana kehidupan mereka nanti sudah tidak punya uang, dan Sigit berpikir bagaimana supaya burung ciblek di depannya bisa laku dan uangnya untuk makan. Suara burung ciblek terdengar merdu menemani pagi mereka yang dalam lamunan. Tepat ketika burung ciblek berhenti berkicau, Lina tiba-tiba berbicara dengan suara sumbang.

                "Fenta kemarin malam menawarkan kita untuk ikut menyanyi."

                Sigit mulai berdiri dan berjalan ke arah sangkar burungnya. Tanpa menengok ke istrinya, tangannya menyapa burung ciblek dengan diayun-ayunkan.

                "Apakah ada makanan untuk sarapan?" tanya Sigit.

                "Ada puisi," jawab Lina dengan ketus. Lina beranjak berdiri juga pergi menuju ke dalam rumah.

                "Fenta itu siapa?" akhirnya Sigit merespon Lina. Ia bertanya pada Lina dan tentu berharap ada makanan pagi itu.

                "Itu temanku kuliah dulu. Tapi dia tidak lulus. Aku sering bertemu dengannya di pinggir jalan, biasanya berada di simpang lampu merah Demakijo."

                "Lalu, apa yang dilakukannya ? Mengemis ?"

                "Bukan. Dia bernyanyi dengan gitar dan pengeras suara yang ditancapkan ke aki. Lalu, ada temannya yang berkeliling membawa kardus dibalut lakban. Bisa dapat uang banyak katanya,"

                "Kamu mau mengamen ? Itu namanya mengamis, sedikit lebih berwibawa dari mengemis,"

                "Itu lebih mungkin bisa makan daripada menunggu burung dalam sangkar sambil jongkok setiap pagi." jawab Lina dengan ketus. Ia kemudian ke dapur dan membuat mie instan. Mungkin itu mie terakhir yang bisa mereka makan pagi itu.

***

Itulah awalnya, sejak percakapan itu, Sigit dan Lina menjual kulkas yang ada di rumah mereka dan ikut bernyanyi bersama kelompok pengamen akustik. Mereka bernyanyi di simpang lampu merah, tepat ketika lampu merah dari siang hingga malam. Kalau pagi mereka tak bisa bangun pagi. 

Kelompok pengamen akustik itu jumlahnya terus bertambah. Mereka membawa aki, pengeras suara besar, dan gitar akustis. Bernyani ketika lampu merah, sesekali menyapa pengguna jalan yang lewat, dan kardus berkeliling dengan uang yang mulai terkumpul. Sehari bisa dapat banyak, hanya bermodalkan bernyanyi dan suara akan hidup bersama aki.

Seminggu berjalan, Sigit ditugaskan memainkan gitar sedangkan Lina memilih untuk berkeliling membawa kardus untuk diisikan uang, jika ada yang berkenan. Mereka menemani Fenta yang bernyanyi di seberang lampu merah. 

Kegiatan bernyanyi untuk uang dimulai setelah jam 2 siang. Mereka mulai dengan lagu-lagu khas anak muda. Hasilnya cukup banyak. Mereka bisa makan enak malam itu dan memperbaiki gitar yang senarnya putus satu. Rezeki itu membuat Sigit dan Lina mulai optimis untuk hidup. Ada banyak rencana bermunculan dalam benak mereka, termasuk untuk membeli sepeda motor baru.

Sebulan berlalu, Fenta mengajak Sigit untuk mencoba bernyanyi di kedai kopi. Kata Fenta, itu penting untuk promosi diri dan meningkatkan kekhasan dalam bernyanyi. Bisa juga bertemu orang yang memunculkan album untuk mereka. "Mereka makan dan kita akan bernyanyi, pasti mereka senang." ujarnya sambil menghisap rokok. "Mereka akan membayar mahal kalau kita bernyanyi di depan mereka dengan merdu.

Jadi, Sigit belajar untuk bernyanyi lebih serius lagi. Ia tidak makan gorengan beberapa hari sebelum tampi bernyanyi di kedai kopi. Mengetahui hal itu, Lina mengusulkan kalau suara nyanyiannya dari rekaman saja, supaya terdengar merdu. Ketika bernyanyi di kedai kopi, nanti tinggal menggerakkan lidah saja. Itulah usulan dari Lina.

"Paling penting untuk memperhatikan pendengar saja, pastikan mereka tahu betul kalau bibirmu bernyanyi. Kamu jangan mengeluarkan suara sedikitpun," kata Lina.

 "Suaramu yang bagus saja, rekam sekarang. Itu bisa digunakan berulang-ulang," saran salah satu teman yang bernyanyi di jalanan juga.

Sigit ragu-ragu. Tapi dia takut untuk bilang tidak mau merekam suaranya. Itu berbohong, menurutnya. Dia hanya berusaha melakukan yang disarankan, padahal hatinya tidak nyaman. Seminggu kemudian, waktu untuk tampi di kedai kopi sudah tiba. 

Sigit dan Lina sudah bersiap dengan semua peralatan, mulai dari aki hingga rekaman suara nyanyian Sigit. Pengeras suara dinyalakan. Sigit bernyanyi. Lina mulai berkeliling di tempat pengunjung minum kopi dan makan, tentu sudah diperbolehkan. Eko menyusul dengan membawa pengeras suara dan gitarnya. Di samping kedai itu ada perbaikan lampu jalanan.

Sesaat kemudian, pengunjung kedai kopi menikmati mereka bernyanyi, tepat ketika Sigit menghentikan laginyunya, banyak dari pengunjung berdiri dan tepuk tangan. Mereka kagum dengan suara merdu Sigit. Sebagian memang merasa terganggu, tapi tetap memberikan uang supaya Lina segera pergi dari hadapan mereka makan. Sebagian juga jengkel, karena suara berisik dari pengeras suara milik Sigit.

Sigit melihat semua itu dan senang. Suara rekamannya dipuji dan dikagumi para pengunjung kedai kopi itu. Hatinya mulai bangga dan ingin menawarkan pengunjung untuk bernyanyi bersamanya. Dengan semangat ia mengulurkan pengeras suara ke salah satu pengunjung dan mengajaknya bernyanyi bersama. Mereka menjadi pusat perhatian, lagu yang bagus dan sahut-sahutan. Jadi bintang tamu di kedai kopi itu.

Sambil mengatur pilihan lagu di ponselnya, Sigit memetik gitar dan pura-pura bernyanyi, sementara Lina sudah mengumpulkan banyak uang. Tapi, lampu kedai itu tiba-tiba padam tanpa diketahui oleh Sigit. Lagu tetap terdengar karena pengeras suara dari aki, tapi Sigit bersuara menjerit. Beda dengan yang muncul di pengeras suara. Terlambat untuk menjelaskan. Mereka disoraki pengunjung kedai kopi.

"Huuuuu... Pembohong, penipu," teriak pengunjung pada Sigit dan Lina. Mereka ketakutan dalam gelap malam itu.             

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun