"Bukan. Dia bernyanyi dengan gitar dan pengeras suara yang ditancapkan ke aki. Lalu, ada temannya yang berkeliling membawa kardus dibalut lakban. Bisa dapat uang banyak katanya,"
        "Kamu mau mengamen ? Itu namanya mengamis, sedikit lebih berwibawa dari mengemis,"
        "Itu lebih mungkin bisa makan daripada menunggu burung dalam sangkar sambil jongkok setiap pagi." jawab Lina dengan ketus. Ia kemudian ke dapur dan membuat mie instan. Mungkin itu mie terakhir yang bisa mereka makan pagi itu.
***
Itulah awalnya, sejak percakapan itu, Sigit dan Lina menjual kulkas yang ada di rumah mereka dan ikut bernyanyi bersama kelompok pengamen akustik. Mereka bernyanyi di simpang lampu merah, tepat ketika lampu merah dari siang hingga malam. Kalau pagi mereka tak bisa bangun pagi.Â
Kelompok pengamen akustik itu jumlahnya terus bertambah. Mereka membawa aki, pengeras suara besar, dan gitar akustis. Bernyani ketika lampu merah, sesekali menyapa pengguna jalan yang lewat, dan kardus berkeliling dengan uang yang mulai terkumpul. Sehari bisa dapat banyak, hanya bermodalkan bernyanyi dan suara akan hidup bersama aki.
Seminggu berjalan, Sigit ditugaskan memainkan gitar sedangkan Lina memilih untuk berkeliling membawa kardus untuk diisikan uang, jika ada yang berkenan. Mereka menemani Fenta yang bernyanyi di seberang lampu merah.Â
Kegiatan bernyanyi untuk uang dimulai setelah jam 2 siang. Mereka mulai dengan lagu-lagu khas anak muda. Hasilnya cukup banyak. Mereka bisa makan enak malam itu dan memperbaiki gitar yang senarnya putus satu. Rezeki itu membuat Sigit dan Lina mulai optimis untuk hidup. Ada banyak rencana bermunculan dalam benak mereka, termasuk untuk membeli sepeda motor baru.
Sebulan berlalu, Fenta mengajak Sigit untuk mencoba bernyanyi di kedai kopi. Kata Fenta, itu penting untuk promosi diri dan meningkatkan kekhasan dalam bernyanyi. Bisa juga bertemu orang yang memunculkan album untuk mereka. "Mereka makan dan kita akan bernyanyi, pasti mereka senang." ujarnya sambil menghisap rokok. "Mereka akan membayar mahal kalau kita bernyanyi di depan mereka dengan merdu.
Jadi, Sigit belajar untuk bernyanyi lebih serius lagi. Ia tidak makan gorengan beberapa hari sebelum tampi bernyanyi di kedai kopi. Mengetahui hal itu, Lina mengusulkan kalau suara nyanyiannya dari rekaman saja, supaya terdengar merdu. Ketika bernyanyi di kedai kopi, nanti tinggal menggerakkan lidah saja. Itulah usulan dari Lina.
"Paling penting untuk memperhatikan pendengar saja, pastikan mereka tahu betul kalau bibirmu bernyanyi. Kamu jangan mengeluarkan suara sedikitpun," kata Lina.