Mohon tunggu...
Yudha Adi Putra
Yudha Adi Putra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Tidak Pernah Mati

Penulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Angkringan

18 November 2022   21:00 Diperbarui: 18 November 2022   21:00 152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Angkringan

Yudha Adi Putra

Sore itu, Yudha baru saja merapikan dagangannya di angkringan ketika ada seorang pemuda melangkah menuju tempat parkir.

"Es teh, Mas Yudh !" teriak pemuda itu sambil memarkirkan motornya.

"Baru pulang po ?" sahut Yudha. Ia mengambil gelas sambil menuangkan dekokan teh yang ada di teko dan mulai membuat es teh.

Adukan sendok terdengar beradu dengan gelas kaca. Pemuda itu mulai duduk di kursi dekat nasi kucing. Yudha tersenyum melihat sosok pemuda yang nampak sudah lama ditunggunya.

"Laris yo Mas" sapa pemuda itu sambil meraih sendok tanpa menatap Yudha. Wajahnya nampak kusut. Bau keringat bercampur rokok segera menyeruak di penciuman Yudha.

Pemuda itu dengan lahap menghabiskan dua nasi kucing, sesekali tangannya meraih gorengan. Sementara Yudha mulai sibuk melayani pembeli yang lain, ada pelanggan pesan kopi hitam.

Yudha mengerti, pemuda yang baru datang itu lapar dan sedang bingung mencari pekerjaan. Berhari-hari mencari pekerjaan tapi tidak ada yang mau menerima. Sering pemuda bernama Hans itu mengeluh di angkringan dengan Yudha. Penyebabnya, tak lain dan tak bukan adalah karena sulitnya mencari pekerjaan meski sudah punya ijazah S1.

Sebagai seorang pengangguran, seminggu belakangan ini Hans merasakan beratnya hidup dan permasalahan bermacam-macam. Bagaimana tidak ? Sekarang mencari pekerjaan susah, kalau baru saja lulus kuliah harus punya pengalaman kerja. Padahal untuk mendapatkan pengalaman kerja harus bisa memiliki relasi yang membantu. Hans kesulitan untuk mencoba berbagai jenis pekerjaan. 

Maka, mau tidak mau Hans harus mengutang di angkringan Yudha untuk bisa makan sehari-hari.

Namun, sampai kapan ? Jika terus begitu, tidak ada solusi, risiko juga karena Hans adalah harapan keluarga. Adiknya masih SMP dan sebentar lagi ingin masuk SMK.

"Rokok dulu bos," Yudha meletakkan korek di hadapan pemuda itu sembari mengambil sendok bekas makannya. Hans meraih rokok di dekat kerupuk, menyalakannya perlahan, menghisapnya dalam-dalam dengan mata terpejam. Bagi Hans, merokok di angkringan Yudha mampu menenangkan suasana sebentar. Setidaknya melupakan permasalahannya mencari pekerjaan yang terus bermunculan berbagai pertanyaan di benaknya.

Yudha hanya tersenyum tipis. Ia tidak berani berkomentar banyak. Meski sebenarnya ada banyak usulan pekerjaan yang bermunculan untuk disarankan pada hans. Akan tetapi, tidak disampaikan karena Yudha tahu betul impian Hans.

Setelah puas merokok, Hans mulai membuka pembicaraan.

"Kalau sampai bulan depan saya tidak bekerja, apakah saya boleh bekerja di sini, Mas ?" kata Hans dengan mata penuh harapan. Kedua tangannya merapikan meja angkringan.

"Sepertinya, saya tidak bisa memakai ijazah S1 saya,"

Mendengar ucapan pemuda itu, seketika Yudha mematikan rokoknya. Beberapa saat ia memilih terdiam, menatap Hans. Mencoba memastikan bahwa apa yang dikatakan Hans itu benar dari dalam dirinya.

Padahal ketika masih SMA, saat Yudha diminta kuliah, ia langsung menolaknya. Ia ingin menjadi penyair. Meski, jelas-jelas penghasilan jadi pembuat puisi tidak menentu. Bagi Yudha, idealisme lebih penting dari kuliah. Akan tetapi, ia tidak melihat itu ada di dalam diri Hans.

"Kamu jangan pesimis begitu, Mas. Kamu punya ijazah S1," Yudha menyalakan rokok kembali.

"Aku yakin, pasti ada pekerjaan yang sesuai dengan keinginanmu. Cuma belum ketemu saja atau malah kamu yang harus membuat pekerjaan itu."

Hans menggeleng dan tersenyum. "Mas, apa kamu tahu ? Mereka yang S2 saja sulit mendapatkan pekerjaan. Apalagi saya yang S1 tapi lulus 6 tahuni ini."

Angkringan tiba-tiba terasa hening. Tak ada jawaban. Yudha hanya menikmati rokoknya. Hans kembali menata berkas lamaran pekerjaan. Dilihatnya kembali kedua kakinya. Tangannya mulai mengelus-elus pahanya. Kata dokter, Hans sudah tidak bisa berjalan lagi dengan kakinya.

"Aku tetap yakin, kamu bisa bekerja dengan sukses. Semangat Hans," kata Yudha dengan suara bergetar.

"Meskipun, aku tidak memiliki kedua kaki dan menjadi penyandang disabilitas ?"

"Sebab itulah, kau menjadi pribadi unik dengan semangat khas. Apalagi, kau sarjana!"

"Apakah begitu, Mas Yudh ?"

"Tentu!"

Hans menangis, ada kelegaan ketika di angkringan Yudha.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun