Mohon tunggu...
Yudha Adi Putra
Yudha Adi Putra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Tidak Pernah Mati

Penulis

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Ibadah Pengutusan Stage: Menuju Hidup bersama Jemaat

11 Juni 2022   13:00 Diperbarui: 11 Juni 2022   13:07 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Pagi ini, aku bangun setengah 7. Mempersiapkan hari untuk di jalani. Meski sekarang akhir pekan, tapi semangat untuk menulis harus tetap mendapatkan kesempatan.

Untuk Jossephine Daniella Iki

Bersama dengan malam, semua lelah menjelma menjdi pagi. Seolah apa yang terjadi berjalan begitu saja. Kepedihan malam menjadi hilang. Sekarang sambutan pagi, meski tidak ada kudengar kicau burung. Hari harus dijalani, entah senang atau tidak. Sekarang, sudah semakin dekat dengan impian itu sendiri. Ada harapan yang menjelma menjadi perbuatan. Melakukan menjadi harus. Kalau melakukan, mungkin akan memperoleh hasil, tapi bisa juga tidak mendapatkan apapun. Kalau tidak melakukan, sudah pasti tidak mendapatkan apapun. Tenang, demikiankah semua bekerja. Takut gagal seolah sama menjadi takut berhasil. Sementara aku termenung dalam pencarianku, tanaman di depan menunggu untuk disirami. Ada hijau yang menyambut untuk mendapatkan air. Sengaja, aku memilih bermain air di pagi hari. Rasanya segar, tidak itu juga bagian dari keinginan untuk dilakukan. Sejenak membayangkan, bagaimana jika nanti hanya berjalan demikian. Aku dalam kesendirian hingga waktu bernama entah. Air tetap akan mengalir, meski pagi belum sepenuhnya menjadi siang. Senang rasanya, ada pagi yang dinikmati dalam keheningan. Itu tidak lama, setelah suara mesin tukang terdengar dalam berbagai kebisingan. Memperlakukan diri seperti apa hari ini. Aku memilih untuk siap dan sarapan, meski masih malas sekali untuk mandi. Ada ibadah jam 9 pagi, menjadi ibadah pengutusan. Sebenarnya aku memilih datang lebih awal, siapa tahu ada candaan dan sapaan semangat untuk melanjutkan perjalanan yang entah. Seolah enggan bercakap-cakap, aku senang mendengarkan mereka mempersiapkan semua yang diperlukan untuk ibadah. Ibadah apa pagi seperti ini, Taize ? Sementara alunan musik terdengar. Musik menjadi bahasa yang sulit ditolak, kecuali tidak bisa mendengar. Ketika mata bisa menutup, tetapi telinga akan dengan peka mendengar. Mungkin itu yang menjadi alasan kenapa ibadah Taize ? Tapi aku tidak yakin kalau seperti itu alasannya. Hanya saja, semua mata tertutup dalam kantuk pagi ini. Aku yakin, menjelang 3 menit sebelum di mulai. Ternyata baru ada 15 orang. Dimana yang lain ? Sejenak aku melihat ada teman yang masih dalam perjalanan.

Obrolan yang terjadi dalam keheningan pagi ini adalah rencana kuliah di Jerman. Entah seperti apa perjuangannya, ketidakmengertianku membawa pada rasa percaya diri. Ada informasi dengan latar belakang yang entah. Tetapi, semua itu sepertinya sangat jauh dari cukup untuk bisa menjalani dengan kenekatan. Persoalan bahasa dan biaya, tidak terlalu aku dengar apa yang dipercakapkan dalam ibadah. Tapi aku sibuk dengan harapan dan rencana mendatang, bagaiana nanti aku bisa melanjutkan perjalanan belajarku. Aku pernah mematahkan perjalanan seseorang belajar dan dia juga menanggung kesalahan yang aku lakukan. Masih mungkin aku diberi kemurahan hati untuk dapat menjalani kehidupan ini. Seketika bayangan akan keputusan itu tergambarkan. Tapi ada ketersentakan sendiri, ketika itu terlalu ada emosi. Ada momen dimana ketersentakan itu menumbuhkan penyesalan dalam berbagai harapan. Sejauh aku mengenal, kepatahan akan tumbuh dalam rupa yang lain. Kembali kecatatan yang coba aku peroleh dalam percakapan pagi ini. Soal pentingnya menjaga untuk terlepas dari kecemburuan akan kesenjangan. Sudah aku rasakan, bahwa akan ada banyak kehilangan karena kesenjangan. Mudah untuk dikatakan kalau tidak boleh memiliki rasa iri. Tapi, untuk berdamai. Rasanya sulit sekali, seperti diajak bersyukur tapi orang yang lebih bisa bersyukur. Entahlah, ibadah pagi ini menjadi momen untuk mengingat apa yang terjadi sejauh ini. Bagaimana panggilan itu diolah. Mungkin saja terbenam dalam kesibukkan, dalam tekanan, dalam perjumpaan yang mungkin tidak diperlukan. Ketenangan diri perlu diupayakan untuk kembali mengenali diri sendiri bersama konteks gereja yang untuk belajar.

Beberapa pesan aku dapatkan. Soal menjaga hati dalam kesenjangan karena jemaat menjadi ruang misteri tanpa rumus pasti. Seperti juga hidup, apa yang sudah terencana dan dilakukan dapat saja membawa ke jalan yang lain. Keterbebasan dari kalkulasi akan hidup akan menolong untuk merayakan dengan sukacita. Ada banyak cerita yang harus dilakukan, temu dan tawa berjalinan membentuk diri. Harapannya seperti itu dalam tempat yang baru dipelajari nanti. Lalu, bagaimana soal bekal diri. Untuk menghadapi banyak realita hidup. Adakah keraguan dalam melangkah, tentu aku merasakannya. Tidak bisa dihambat, ketidakmengertianku membawa pada sebuah pertanyaan sederhana. Bagaimana nanti aku menjalani hidup dengan semua yang terjadi. Ada banyak perubahan yang mungkin dipaksakan. Soal kebiasaan yang beragam, pandangan yang berbeda, hingga cara hidup dan merayakan cinta yang tidak sama. Semua seolah didepan mata, harus dilakukan. Tidak hanya diam saja, nanti pada setiap ketakutan akan muncul daya untuk kembali hidup. Perjumpaan dengan keberagaman akan memulihkan, bahwa dalam hidup tidak hanya ada senang dan sedih. Perasaan marah juga wajar dalam merasakan ketidakmengertian. Ketenangan hati perlu diolah untuk mendapatkan perjalanan yang dinamis. Semua menjadi mungkin terjadi. Kenapa semua menjadi seperti ini, bukankah ini bagian dari risiko atau ini pemberian akan hidup dan bagi hidup. Mendasar dan kadang tidak dapat dijawab dengan memuaskan. Untuk apa semua pencapaian dan prestasi jika tidak memiliki ketenangan hati. Semoga dalam perjalananku, aku menemukan ketenangan itu sembari merayakan berbagai perasaan yang wajar. Wajar untuk merasakan berbagai hal dalam kehidupan. Dibalik duka dan tawa, ada kehendak yang luar biasa dari Pencipta.

Setelah ibadah ini, semangat untuk belajar semoga bertambah. Tidak hanya terbenam dalam bacaan saja, tetapi dalam kebahasaan serta realita dalam masyarakat. Untuk perjalanan belajar ke depan, pertanyaan akan terus bermunculan. Ada niat, semoga ada jalan atau pasti ada jalan. Dalam niat kecil untuk belajar menjadi nyala untuk hidup. Hidup dalam berbagai rasa, untuk belajar di Jerman. Entah kenapa, topik belajar di luar negeri menjadi sesuatu yang dinanti. Untuk beberapa momen, semoga setelah KKN ada temuan juga yang turut membawa syukur dan pengharapan. Untuk belajar dan melanjutkan apa saja yang telah terjadi. Kalau ada yang tidak menyenangkan, itu juga menyenangkan karena bisa merasakan berbagai hal. Perjalanan belajar ke depan akan memberikan banyak perjuangan, menyerah itu tidak bisa dilakukan. Tapi, ada temu akan kasih dan kerendahan hati. Itu lebih tahu, kapan untuk menyerah dan kapan untuk melanjutkan perjalanan. Ada yang perlu diingat bahwa sesuatu yang untuk diri akan tetap kembali untuk diri, meski tidak diusahakan. Begitu sebaliknya, apa yang bukan akan tetap bukan meski sudah diupayakan dengan berbagai cara. Menjadi mungkin, tidak pernah ada. Tetapi menjadi dalam keinginan untuk terus menuju entah. Karena bukan soal tujuan saja, tapi pada setiap temuan syukur dalam perjalanan. Semoga menjadi peringatan, bahwa apa yang terjadi memiliki makna yang beragam dalam waktu.

Perlukuan, 11 Juni 2022

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun