[caption caption="Sumber : kompasiana.com"][/caption]
Kehadiran Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD-RI) sejatinya adalah produk reformasi. DPD lahir sebagai upaya membangun keseimbangan antara kepentingan pusat dan daerah, kehadiran DPD juga menjadi penanda berubahnya arah politik negeri ini, dari semula sentralistik menjadi desentralistik. Dalam konteks lain, DPD mengakhiri periode unicameral di parlemen menjadi bicameral.Â
Perubahan ketiga UUD 1945, Â menjadi payung hukum kehadiran DPD-RI. Lantas bagaimana kiprah DPD-RI sejauh ini ? Kebanyakan kita belum benar-benar tahu kiprah DPD-RI, bisalah disebut kiprah DPD kalah pamor dengan saudara tuanya, DPR-RI.
Jika dilihat dari kewenangan legislasi yang dimiliki oleh DPD-RI, dapatlah dikatakan DPD memang ada di kelas dua, karena tidak memiliki kewenangan membuat undang-undang, hanya mengajukan RUU. DPD-RI juga tak punya hak untuk mem-veto sebuah UU, seperti yang dimiliki lembaga serupa di Australia atau Jepang. Kewenangan legislasi DPD-RI berdasarkan UUD 1946 Pasal 22D, adalah ;
- Dewan Perwakilan Daerah dapat mengajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat rancangan undang-undang yang berkenaan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnnya, serta yang berkaitan dengan pertimbangan keuangan puasat dan daerah.
- Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas rancangan undang-undang yang daerah, berkaitan dengan otonomi daerah,hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnnya, serta yang berkaitan dengan pertimbangan keuangan pusat dan daerah, serta memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan,dan agama.
- Dewan Perwakilan Daerah dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnnya, pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara, pajak, pendidikan dan agama serta menyampaikan hasil pengawasannya itu kepada Dewan Perwakilan Rakyat sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti.
Jika menilik kewenangan legislasi yang dimiliki oleh DPD, bisa dikatakan format parlemen dua kamar yang coba dianut Indonesia, sebagai jalan keluar atas ketidakjelasan struktur MPR-RI sebelum mandemen UUD 1945 akhirnya mengarah pada weak bicameral atau juga dikenal dengan soft bicameral. Kamar kedua di parlemen ada, tapi nyaris tak punya kuasa. Begitu kalimat sederhananya.
Lantas bagaimana para senator mengartikulasi keberadaan diri mereka di Senayan, sebagai perwakilan daerah ? Ini yang bisa menjadi pembeda. Jika peran personal senator dan kelembagan DPD RI tak maksimal, makin terpuruklah sistem dua kamar kita ini.
Kiprah Senator
Di tengah realitas politik yang menempatkan DPD sebagai pemain kelas dua di kancah politik nasional,sebenarnya ada satu celah terkait kewenangan yang jika diperankan secara maksimal bisa memperkuat keberadaan DPD RI secara kelembagaan dan juga para senator secara personal. Kewenangan tersebut adalah melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan, dan agama.
Fungsi pengawasan inilah yang harus secara konsisten diperankan oleh para senator. Mengingat para senator adalah perwakilan daerah, maka aspirasi daerah harus diteruskan. Misal saja dalam implementasi kebijakan pangan nasional yang lebih bertumpu pada beras sebagai makanan pokok, harus mendapat kritik. Terutama oleh senator yang berasal dari daerah yang konsumsi pokoknya bukan beras.
Adanya kebijakan sejuta hektar lahan untuk sawah terutama di daerah-daerah seperti Papua yang notabene konsumsi pokoknya bukan beras secara budaya, harus dilihat sebagai kebijakan yang tidak peka budaya. Begitupun pola pemanfaatan sumber daya alam yang mengesampingkan budaya dan aspek ekologis lokal, harus mendapat pengawasan dan perlawanan dari para senator.
Di sisi lain, senator harus mampu membuka peluang bagi daerah yang ia wakili dalam upaya membangun kerjasama internasional dengan kota atau negara di luar Indonesia. Senator harus mampu berkreasi dalam membantu daerah memasarkan produk andalannya ke luar negeri, disamping itu senator harus mampu memperkenalkan daerah yang ia wakili secara luas, baik secara nasional maupun internasional.