Mohon tunggu...
Huzer Apriansyah
Huzer Apriansyah Mohon Tunggu... Lainnya - Pada suatu hari yang tak biasa

Belajar Menulis Disini

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Oase Kebangsaan di Timur Ibukota

31 Maret 2015   21:06 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:43 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Matahari menapaki puncak hari saat kujejakkan kaki di sebuah bangunan yang begitu khas. Bentuk bangunan yang inspirasinya datang dari alam nusantara, keong, ya keong yang kerap kita jumpa di sawah-sawah. Keong Mas nama bangunan itu. Sebuah gedung teater yang melegenda dari generasi ke generasi.

[caption id="attachment_358449" align="aligncenter" width="515" caption="Pic by Kibas Ilalang"][/caption]

Antrian pembeli tiket nampak mengular, kulihat jadwal pementasan, semua tontonan sarat muatan edukasi, bahkan “Indonesia Indah” sudah sampai seri IV,  kalau menilik sejarah awalnya, tontonan “Indonesia indah” memang jadi brandmark teater ini.

Penonton datang tak hanya datang dari ibukota, banyak yang datang dari berbagai pelosok nusantara. Bukan hanya anak-anak yang menjadi pengunjung, mulai remaja hingga lansia juga ada. Ah, menyenangkan melihat remaja-remaja masih antusias menyaksikan tayangan edukatif di Keong Mas, apalagi “Indonesia Indah” yang mengangkat eksotika, keragaman budaya dan keluhuran adat nusantara.

Saat anak-anak muda Indonesia tengah bergemuruh menyambut berbagai tayangan budaya impor yang membanjiri negeri ini, Teater IMAX Keong Mas masih bisa menjadi oase bagi anak muda Indonesia. Pepatah bilang, tak kenal maka tak sayang. Kalau anak muda kita tak mengenal secara dekat negerinya, alamat mereka tak merasa sayang dan memiliki negeri ini.

Tentu hakikat kebangsaan tak sempit, bukan berarti segala yang datang dari luar adalah ancaman, tentu bukan. Namun, generasi yang tak mengenal negeri tempat ia lahir dan dibesarkan tentu sangat memprihatinkan.

Usai menyaksikan “Indonesia Indah IV” (Bangga aku menjadi anak Indonesia), pikiranku melayang pada kalimat-kalimat Goenawan Mohamad, “Apa Indonesia bagimu ? Tempat yang ditakdirkan untuk saya belajar bagaimana berbeda, bagaimana bersatu dan bagaimana untuk tak putus asa.” (Goenawan Mohammad, Pagi dan hal-hal yang dipungut kembali 2002).

Memang tak mudah membangun pondasi kebangsaan di sebuah negeri yang keragaman budaya, sejarah dan juga geografis begitu berwarna dan kaya. Selalu ada ancaman atas persatuan di negeri ini. Zaman berganti, gaya hidup penghuni negeri pun berubah, membangun pondasi persatuan diatas doktrinasi politik sudah tak relevan lagi. Pada titik inilah Taman Mini Indonesia Indah (TMII) yang beroperasi 40 tahun silam, tepatnya 20 April 1975 memiliki relevansi sebagai medium persuasive dalam membangun pondasi kebangsaan.

Kalau dicerna dari dimensi politik, TMII yang digagas Ibu Tien Soeharto ini, cenderung keluar dari pola membangun persatuan bangsa di masa itu, yang cederung doktriner dan represif. TMII adalah sebuah gagasan yang melampaui zamannya. Miniatur nusantara yang dikemas secara luar biasa, melalui anjungan tiap provinsi, rekreasi edukatif, keragaman flora dan fauna serta kegiatan-kegiatan yang selalu beririsan dengan kekayaan budaya nusantara, menjadi denyut nadi TMII.

***

Matahari masih terik saat kutinggalkan Teater Keong Mas, kuayunkan langkah, sembari menyesapi keunikan arsitektur Keong Mas dari kejauhan. Tak lama menanti, sebuah kendaraan yang dimodifikasi sebagai angkutan gratis lewat, kucegat agar tak lewat.

Tentu tak mudah berkeliling di sebuah kawasan kurang lebih 150 hektare jika tak ada moda transportasi yang gratis seperti ini. Pengemudi mobil yang ramah meski tampangnya nampak lelah siap menemani perjalanan. Anjungan daerah-daerah terlewati, ada sarana rekreasi macam kereta gantung, istana anak, dan sebagainya.

[caption id="attachment_358450" align="aligncenter" width="461" caption="Rumah Gadang/by Kibas Ilalang"]

1427810005778025278
1427810005778025278
[/caption]

Kuputuskan singgah di anjungan Sumatera Barat, tak ada alasan khusus aku berhenti disana, bisa jadi arsitektur rumah gadang yang menarik perhatianku. Di salah satu sisi luar rumah gadang, nampak sebuah rumah yang struktur dan arsitekturnya berbeda dengan rumah gadang, oh ternyata itu adalah rumah Orang Mentawai. Sebuah suku yang mendiami pulau-pulau kecil di sisi Barat Sumatera daratan.

Cukup mencengangkan bagiku, TMII tak melulu tentang suku-suku mayoritas di nusantara, bahkan suku-suku kecil pun mendapat ruang. Karena kalau kita pelajari kembali, ternyata nusantara kita ini didiami oleh banyak sekali suku-suku kecil, yang eksistensinya kadang tak kita ketahui. Sebut saja, Orang Mentawai di Sumatera Barat, Orang Nias di Sumatera Utara, Orang Akit di Riau, Orang Rimba di Jambi, Orang Lom di Bangka Belitung, Orang Tauta Wana di Sulawesi, Orang Sasak dan masih banyak lagi.

Kujejaki Rumah Gadang yang mahsyur itu, terpatri pikiranku pada Siti Nurbaya, tokoh satu itu memang terpatri di ingatanku. Ukiran-ukiran khas dan warna-warna elegan bangunan rumah memberi romansa dan nuansa yang luar biasa.

[caption id="attachment_358452" align="aligncenter" width="269" caption="Salah satu sisi anjungan Sumbar/by Kibas Ilalang"]

14278103671057296673
14278103671057296673
[/caption]

Kunjungan ke anjungan Sumatera Barat ini bukan kali pertama bagiku. Dulu sekali, di masa kanak-kanak, sekitar tahun 1993. Waktu itu, aku masih di bangku sekolah dasar. Orang tuaku pegawai negeri di sudut kota yang dialiri Sungai Musi, hanya pegawai kecil yang untuk mencukupi kebutuhan ibu berdagang penganan. Masa-masa tak mudah tapi indah :).

Kala itu, ke Jakarta hanya impian belaka. Fantasi tentang Jakarta hanya tersalurkan lewat tayangan TVRI di TV hitam putih kami. Sampai suatu ketika, ayah mendapat tugas ke ibukota, bukan karena ayah seorang pejabat atau apa, cuma karena atasannya berhalangan, maka ayah diminta menggantikan.

Ini berita besar di keluargaku, seminggu sebelum keberangkatan ayah, kami sekeluarga sibuk membicarakan itu. Meski yang berangkat hanya ayah, tapi kami seperti menitipkan mata dan telinga kami kepada ayah. Malam-malamku ketika itu diisi tentang keinginan untuk menjejak monument nasional (Monas) yang mahsyur itu dan juga Taman Mini yang terkenal sampai kemana-mana. Tapi rasanya tak mungkin, mana ada biaya untuk menambah satu kursi di bus malam Putera Remaja, pikirku.

Belum juga ayah berangkat, aku sudah tak sabar menanti ayah pulang. Tak sabar menanti cerita tentang ibukota. Entah pikiran “liar” darimana, dua hari sebelum ayah berangkat ke Jakarta, aku putuskan aku juga harus sampai ke ibukota. Kugeledah habis celengan ayam jago yang sudah kusimpan sejak awal sekolah. Kuhitung logam demi logam yang ada, jumlahnya tak seberapa, tapi dengan tekah bulat kuserahkan semua kepada ayah. “Aku mau ke Jakarta,” kalimat itu meluncur sembari kuserahkan tumpukan logam ke ayah. Ibu dan adikku terbelalak melihat tekadku.

Dengan sorot mata lembut dan suara yang nyaris tak terdengar, ayah mengelus rambutku sembari berkata, “Iya kamu boleh ke Jakarta tapi bukan sekarang,” kalimat itu membungkus asaku. Antara sedih dan bahagia. Sedih karena impian melihat Taman Mini dan Monas tak akan menjadi nyata dalam waktu dekat, bahagia karena ayah berjanji suatu saat akan membawaku ke ibukota.

Keesokan harinya, setelah berpikir keras semalaman, kuputuskan untuk minggat dari rumah. Aku harus ke Jakarta sekarang juga, pikirku saat itu. Seharian aku meninggalkan rumah dengan meninggalkan secarik kertas di dalam kamarku. “Aku mau ke Jakarta.”

Jelang malam, perutku lapar tak terisi, uang di saku tak seberapa lagi. Tak berapa lama sosok yang kukenal menghampiriku di pinggiran Pasar 16 yang di masa lalu adalah kawasan “hitam” di Kota Palembang. Ayahku memelukku dan berkata, iya kita ke Jakarta.

Singkat cerita, aku berangkat ke ibukota. Kami tak mampu membeli kursi tambahan di bus, jadi sepanjang perjalanan aku duduk di pangkuan ayahku. Tak nyaman memang, tapi impian menjejak ibukota membuat ketaknyaman itu tak berarti banyak.

Setelah dua hari pertama di ibukota ayah sibuk dengan urusan pekerjaan, akhirnya di hari ketiga kami jalan-jalan ke taman mini. Sebuah impian yang menjadi nyata. Sekian lama TMII hanya kusesapi lewat TVRI, hari itu semua terbentang di depan mata. Nah, di anjungan Sumatera Barat ini pula ketika itu aku dan ayah sempat berfoto-foto. Foto yang menjadi penanda bahwa aku telah menjejak ibukota.

Lamunan akan masa lalu sempat membawaku lupa waktu. Matahari kian menunduk, rumah gadang mulai sepi. Kuputuskan pergi. Singgah di tempat ibadah sejenak adalah pilihan berikut. Kutanya pada seorang petugas tak jauh dari anjungan Sumatera Barat. Dari percakapan singkat aku tahu ternyata di TMII tak hanya ada masjid yang terbilang megah, ada juga gereja, pura, wihara bahkan kelenteng. Wah, TMII sebagai miniatur nusantara bukan hanya slogan, tapi komitmen dan praktek. Penyediaan tempat ibadah yang beragam ini salah satu bentuknya.

[caption id="attachment_358453" align="aligncenter" width="430" caption="Tempat ibadah yang ada di TMII/taminmini.com"]

1427810532525229934
1427810532525229934
[/caption]

Kuakhiri perjalanan di TMII saat itu dengan mengunjungi museum PP IPTEK. Tiap kali ke TMII selalu kusempatkan mengunjungi yang satu ini. Senang rasanya menyaksikan anak-anak ceria dengan berbagai benda yang berhubungan dengan pengetahuan. Sebuah wahana yang memercikkan harapan, bahwa negeri ini punya potensi untuk berkompetisi dalam ilmu pengetahuan dan teknologi. Sayangnya alat peraga dan koleksi di wahana ini relatif tidak berkembang signifikan. Semoga ini menjadi perhatian pengelolah ke depan.

***

Di lain waktu, pernah kami berhasil mengumpulkan anak-anak dari suku-suku kecil di nusantara. Mereka datang dari Mentawai, Orang Rimba, Orang Tauta Wana mengunjungi TMII. Alang kepalang bahagianya mereka. Dunia “sempit” yag selama ini ada di kepala mereka, tiba-tiba dihadapkan pada kenyataan baru, betapa luas dan beraneka warnanya negeri mereka.

Ada semacam keingintahuan yang besar dalam pikiran mereka, ada semacam kebahagiaan pula manakala mereka bisa secara langsung menyaksikan keragaman nusantara. Dalam pikiran pribadiku, aku bisa merasakan kebahagiaan yang dirasakan anak-anak dari berbagai pelosok tanah air itu, karena dulu aku pernah merasakan keriangan, sukacita yang sama, seperti yang mereka rasakan hari itu.

TMII, 40 tahun sudah merafalkan langkah, menjadi bagian kisah anak-anak nusantara, menjadi ruang keceriaan keluarga-keluarga di tanah air. Hadir menjadi sahabat tiap golongan ekonomi, tak peduli rakyat jelata sampai pejabat, semua mendapat tempat di TMII. Semoga komitmen sebagai perekat persatuan dan kesatuan bangsa tetap mengakar dan terjangkau semua lapisan. Semoga tak tergerus oleh asa memperbanyak laba semata.

TMII, tak sekedar ruang dimana hasrat berekreasi tersalurkan, lebih dari itu, TMII adalah ruang mengasah ke-Indonesiaan kita, benteng kebangsaan kita dan rumah besar bagi kita semua. Semoga TMII di usia yang ke-40 tetap bisa menjadi oase kebangsaan di timur ibukota. SELAMAT ULTAH KE-40 TMII....



14278106271010873225
14278106271010873225

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun