Mohon tunggu...
Huzer Apriansyah
Huzer Apriansyah Mohon Tunggu... Lainnya - Pada suatu hari yang tak biasa

Belajar Menulis Disini

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Beteguh, Anak Rimba dan Impian Menjadi Peneliti

15 Juli 2013   16:39 Diperbarui: 24 Juni 2015   10:31 362
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_254890" align="aligncenter" width="532" caption="Beteguh, usai membacakan puisi di Jakarta/doc@huzer"][/caption]

Guding, ake ndok jadi penelitiyon,” begitu suatu ketika Beteguh mengutarakan cita-citanya. Aku tahu yang ia maksud adalah menjadi peneliti. Tentu bukan sesuatu yang mudah untuk kurespon. Tapi aku tahu sejak kami sering saling berbicara tentang cita-cita hidup, entah mengapa Beteguh sangat ingin menjadi peneliti.

Pernah kutanya mengapa ia sangat ingin menjadi peneliti. Sebuah jawaban yang mengejutkan keluar dari mulutnya “Ake ndok nuliy segelo tentang kehidupan kamia urang rimba. Biak jengon urang luaron teruy yang nuliynye,” begitu jawab Beteguh. Dia ingin menuliskan semua tentang kehidupan orang rimba, agar jangan orang luar terus yang menuliskan tentang mereka.

[caption id="attachment_254891" align="aligncenter" width="576" caption="Beteguh sedang belajar di sekolah/doc@huzer"]

13738809371234374543
13738809371234374543
[/caption]

Memang sedari awal aku dan Beteguh sudah sangat dekat, mungkin dialah anak yang paling banyak kuajak bicara selama enam belas bulan ini. Tapi sejak percakapan tentang menjadi peneliti itu kami lebih intensif berdiskusi. Beteguh sudah mulai menuliskan apa-apa yang ingin ia tuliskan. Aku menjadi orang yang bisa dibilang sekedar memberi semburan-semburan ide untuk kemudian ia terjemahkan menjadi sesuatu yang benar menurut alam pikirannya.

Kami mulai dengan menuliskan berbagai adat orang rimba. Untuk alasan itu Beteguh secara rutin menemui Bapaknya (Mangku Basemen) untuk mempelajari secara lebih mendalam mengenai adat mereka. Halaman demi halaman buku tebal yang kami persiapkan khusus untuk tulisan-tulisannya mulai terisi. Tiap aku datang ke lapangan pasti hal pertama yang ia bicarakan perkara penelitiannya. Aku tak berusaha menjelaskan prihal penelitian dengan perkara yang rumit, cukup tanya, catat dan pikirkan. Itu tiga hal yang selalu kuulang-ulang ke Beteguh. Bidang apapun yang menarik dirinya untuk diketahui, maka aku akan berusaha untuk mendukungnya. Meski bulan ini ia tertarik mendokumentasikan nama-nama tanaman di rimba. Bulan depannya ia lebih tertarik soal adat, bulan depannya lagi ia sudah berubah lagi ingin menulis tentang sungai-sungai. Aku tak terlalu mempedulikannya. Bukan hasil yang kami kejar tapi proses.

[caption id="attachment_254892" align="aligncenter" width="600" caption="Beteguh paling kiri dengan kawan-kawan yang juga muridnya/doc@huzer"]

13738810061010256398
13738810061010256398
[/caption]

Tentu kita bertanya-tanya mengapa Beteguh sudah berpikir jauh. Beteguh sebelum aku datang sudah mulai ikut belajar dengan Ibu Ninuk, salah satu mantan guru rimba. Selanjutnya ia makin intensif belajar dengan Almarhum Priyo Uji Sukmawan, seorang guru rimba yang akhirnya menyerah diterjang malaria tropika. Priyo adalah guru rimba kedua yang harus menyerah di tangan suratan takdir selama bertugas bersama orang rimba. Yusak Hutapea adalah guru rimba pertama dan yang pertama pula menghembus nafas terakhir saat bertugas.

Kembali ke Beteguh, kemampuan baca tulis dan hitung Beteguh ketika pertama kali aku datang memang sudah sangat baik. Sikapnya yang antusias dalam belajar juga menjadi nilai lebih dari sosok berperawakan kecil ini. Tak butuh lama bagi kami berdua untuk larut dalam berbagai perbincangan, mulai dari hal-hal yang sifatnya personal berupa latar belakang keluarga, cita-cita hingga prihal planet sampai ke Tuhan, segala hal bisa menjadi perbincangan hangat bagi kami berdua.

[caption id="attachment_254893" align="alignleft" width="180" caption="Waktu luang diisi dengan main takraw/doc@huzer"]

13738810611118675547
13738810611118675547
[/caption]

Sejak lima bulan lalu, Beteguh juga tertarik untuk membuat puisi, sejauh ini ia telah berhasil membuat dua puisi. Puisi pertama berjudul “Rimbaku” dan satu lagi, berjudul “Aku Ingin Sekolah”. Sungguh membahagiakan menyaksikan anak ini tumbuh dan berkembang dalam sebuah dunia baru. Ia seolah menjadi pembuktian bahwa orang rimba dapat bersaing prihal pendidikan.

Sejauh ini berbagai prestasi telah ia torehkan. Mulai dari juara lomba cerdas cermat, sebagai juara dua. Tak tanggung-tanggung anak SMP dari desa ia kalahkan. Jago melukis, jago main catur dan bisa bermain teater. Pentas teater bersama anak-anak rimba lainnya pernah ia lakukan.

Ingin rasanya terus menyaksikan secara dekat bagaimana akhirnya perjuangan Beteguh akan berujung. Akankah ia bisa menjadi seorang peneliti yang dibesarkan alam ? bukan dibesarkan oleh pongahnya pendidikan tinggi ? Akankah Beteguh bisa menantang zaman ? Ah, tak ada yang bisa dipastikan, hanya satu yang kutahu, Beteguh bukan sosok yang mudah menyerah. Seberat dan sepahit apapun keadaan.

***

Ketika itu, malam menua di ujung bulan kelima. Beteguh tiba-tiba membangunkanku, “Guding kawana ndok diurut ?” Beteguh menawarkan bantuan untuk memijatku. “Ngapo kawana ndok ngurut ake, lah malom mumpa nio ? Apo bolum ngantuk kawan ? aku merasa bingung kenapa sudah selarut itu ia masih berkehendak hati memijatku. Kami memang sering saling pijat, terutama kalau aku kelelahan karena perjalanan. Bahkan kadang tanpa disuruh Beteguh sudah memijatku. Tapi malam itu memang terasa aneh, terlalu larut untuk tawaran pijat memijat. “Sobononye ake ndok becakap,” ternyata Beteguh masih ingin berbincang. Kubalikkan badan dan mengusap-usap mataku. “Ndok becakap apo ?” sambutku.

Uji kawana kiro-kiro ado bisa aku sekolah sampai kuliah ?” Pertanyaan itu untuk kali kesekian kembali terlontar darinya. Meski demikian, aku selalu harus menjawabnya dengan sungguh-sungguh. Karena ini masalah kepercayaan diri untuk mencapai mimpinya.

Au yoya tergantung diri kawanlah, kalu memang kawana bobonor belajo, samo hopi ado tepengaruh kato-kato jehat kanti, ake yakin kawana biso sampai kuliah.” Kuyakinkan dia bahwa semua kembali pada dirinya. Apakah ia mau sungguh-sungguh belajar maka ia pasti bisa sekolah hingga kuliah.

“Ado sungguh mumpa iyoy ?” (Apa benar seperti itu ?). Ia seolah masih belum benar-benar yakin dengan jawabanku.

Sungguh lah, kawana padek belajo, ngapo hopi bisa sampai kuliah. Cuma kalo bisa walaupun padek sekolah jengon conggo, guding.” Kuyakinkan ia sekali lagi bahwa ia orang yang cerdas sembari kuingatkan meski ia cerdas jangan sampai membuatnya menjadi sombong.

[caption id="attachment_254894" align="alignleft" width="300" caption="Keceriaan Beteguh/doc@huzer"]

13738811181511065354
13738811181511065354
[/caption]

Dalam pikiranku kadang aku merasa betapa berat apa yang harus mereka lewati untuk sekedar sampai pada jenjang SMA. Sekolah formal terlalu rumit dengan segala tetek bengeknya. Tapi, tak ada pilihan semua harus dicoba. Orang rimba harus siap berkompetisi dengan siapapun.

Teringat aku suatu ketika di Bulan Desember tahun 2012. Dari mulut Beteguh meluncur bait demi bait syair yang ia karang sendiri dengan sedikit bantuanku. Syair kebanggannya yang ia beri judul “Rimbaku” itu sanggup membuat peserta pertemuan jaringan pendidikan alternatif di Jakarta merinding.

RIMBAKU

Karya Beteguh

Rimbaku yang dulu lebat

Kini hilang berganti sawit

Hidup kami tak lagi mudah

Karena tanah kami dijarah

Oleh mereka yang serakah

Sejatinya rimba penyejuk kehidupan kami

Dan mencegah tanah bergerak

Kini rimba kami hilang

Bencana pun susul menyusul di tanah kami

Rimba hilang nyawa kami pun terancam

Puisi yang selalu membuatku tersihir tiap kali suara gugup Beteguh dengan tatapan mata yang ragu membawakan puisi itu. Oh Tuhan, aku selalu ingin menatap erat tiap perkembangan dan perubahan yang terjadi pada sahabatku ini. Tapi aku sendiri tak pernah bisa memastikan sampai kapan aku bisa ada bersamanya dan mencoba menantang pongahnya zaman.

Kalaupun suatu saat kelak sang waktu membimbing kita pada sebuah perpisahan. Percayalah sahabat kecilku kau abadi dalam kenanganku. Kau sahabat, murid sekaligus guru bagiku. Bukankah kau ingat hampir separuh kosakata bahasa rimbaku kau yang mengajarkan. Aturan adat, seluko dan banyak hal tentang kehidupan di rimba kau pula yang menjadi guruku. Kau tahu sahabatku. Saat kau mengatakan kepada ibu guru di sekolah, tak ada tokoh idola yang kau kenal selain aku, ketika kau diminta membuat karangan tentang tokoh idola. Sungguh aku merasa sangat berarti dan bermakna dalam hidupku.

Ah, tiap perjumpaan akan selalu ada perpisahan. Pada saatnya kelak kita pasti akan berpisah, entah karena apa. Mungkin aku tak akan selalu bisa mendampingi hari-harimu. Mungkin aku tak akan bisa selalu memberi nasehat bagimu untuk menantang dunia. Tapi aku berharap semangatmu tak pernah padam, karena badai akan semakin kuat menghantam kala kapalmu bergerak makin ke samudera. Melajulah, sahabat kecilku !

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun