Mohon tunggu...
Huzer Apriansyah
Huzer Apriansyah Mohon Tunggu... Lainnya - Pada suatu hari yang tak biasa

Belajar Menulis Disini

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kini Berburu Tak Mudah Lagi (Catatan Bersama Orang Rimba)

12 Agustus 2012   05:08 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:54 2592
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_192603" align="aligncenter" width="425" caption="Nangoy hasil buruan kami tengah disalai/@huzer"][/caption] Benerang bulan kian bercahaya memeluk malam. Suara burung kuau (Argusianus) terdengar dari semak. Di bawah naungan lilin, Besati (7), Bedegak (8) dan Perbal (11) masih sibuk dengan tugas mengarang yang kuberikan. Bedegak mendesakku yang sedang meracik bumbu makan malam untuk membaca tulisannya. “Ake hari nio menghalau Ujera, kamia bemasok saden, ikan teri samo emie. Kamia belajo bebilang pula, kamia ladai nihan…”(Saya hari ini ikut Ujera, kami memasak sarden, ikan teri dan mie. Kami juga belajar berhitung, kami senang sekali..). Meski banyak kata yang salah tulis tapi aku bisa menangkap isi tulisan Bedegak. Belum usai kami membaca, Mangku Basemen mendatangi pondok kami.

Rencananya malam ini kami akan berburu nangoy (Sus barbatus). Berburu memang aktivitas rutin orang rimba di Taman Nasional Bukit Dua Belas, hampir semua lelaki dewasa memang berkewajiban memiliki keahlian berburu. Kemampuan berburu akan menjadi salah satu pertimbangan perempuan rimba dalam memutuskan apakah seorang lelaki bisa ia terima sebagai suami atau tidak. Seiring malam yang merangkak, kamipun berangkat. Aku, Mangku Basemen dan Kakok Selambai.

Mangku beralas kaki sepatu karet tipis, aku dan Kakok Selambai tak beralas kaki, karena gesekan kaki kami akan terlalu keras jika beralas kaki. Berbekal dua bua senter dan sebuah senapan berburu kami pun berangkat. Senter lebih banyak dipadamkan ketimbang dinyalakan, menurut Mangku, nangoy sangat sensitif dengan bunyi dan cahaya. Sepanjang perjalanan kami tak bersuara sama sekali, hanya sesekali mangku mengarahkan jarinya menunjuk satu titik, yang artinya kami akan menuju arah tersebut.

Setelah berjalan tak kurang satu jam, kami mulai mendengar suara nangoy yang menggigit biji-biji tanaman karet. Mangku memberi isyarat agar kami merunduk, tak lama mangku melangkah ke arah timur dari sumber bunyi tadi. Kami pun bergerak sekitar sepuluh meter di belakang Mangku. Di sebuah tempat yang berawa tiba-tiba segerombolan nangoy, berlari. Suara derap langkah kami ternyata terdengar. Sergapan kami pun gagal. Mangku dan Selambai menyulut rokok sembari beristirahat. Mangku yakin kalau gerombolan nangoy yang baru tadi ada sekitar 4-5 ekor.

Tak jarang saat berburu nangoy, ada orang rimba yang diseruduk. Ukuran nangoy yang hampir tiga kali lipat babi hutan dan kadang beratnya sampai dua kwintal membuat pemburu nangoy harus sangat waspada. Apalagi dalam keadaan terancam nangoy akan mempertahankan diri dengan menyeruduk lawannya. Makanya, mangku mengingatkan kami untuk sangat berhati-hati. Usai beristirahat sekitar lima menit, kami kembali melanjutkan perjalanan lebih ke Selatan.

Tak terbilang lagi onak yang menusuk kaki dan sesekali menggores kulit tangan. Tapi adrenalin yang meninggi membuat goresan duri tak terlalu berasa. Belum sampai lima belas menit kami berjalan usai beristirahat. Mangku sudah mengambil posisi mengintai, berjalan seperti orang berjinjit dan bergerak agak cepat. Nampaknya ia mulai merasakan kehadiran kawanan lain nangoy. Kami berdua memelankan langkah untuk menarik jarak dari mangku. Dalam dekapan cahaya rembulan, sekelebat memang aku melihat ada pergerakan di ujung semak. Namun, sama sekali tak kupaham apa itu.

Tak lama kemudian mangku mengarahkan senter ke satu titik dan suara menggelegar terdengar diikuti kilatan cahaya. Lenguhan nangoypun susul menyusul. Kami bergerak ke arah lenguhan tersebut. Namun sayang, buruan tak kami ketemukan. Mangku sangat yakin kalau bidikannya menemui sasaran. Ia pun mencari jejak darah di sekitar sumber bunyi tadi. Tak salah memang, sekitar sepuluh meter dari lokasi kami menemuka tetesan darah. Ini pertanda kalau nangoy terluka.

Sambil meringkuk menghindari duri kami mengikuti arah jejak darah. Benar saja hampir di tiap meter ada jejak dararh. Hampir dipastikan nangoy tersebut tak akan bisa bergerak cepat. Kami pun waspada, karena bukan tak mungkin nangoy akan menggila dan menseruduk kami dalam keadaan terluka parah. Sampai kami di sebuah daerah berlumpur yang nyaris tak bisa dilalui karena tertutup semak lebat. Di dalam semak kami mendengar suara leguhan nangoy, keluar dari semak kami kehilangan jejak darah nangoy. Mangku hanya mengikuti nalurinya.

Tak lama Selambai berlari ke belakang, sontak aku terkejut dan ikut berlari. Ternyata babi yang terluka itu tepat berada di depan kami. Mangku hanya berdiri mematung, tak lama suara menggelegar kembali terdengar. Nangoy itupun melenguh dan tak lama ia terkapar. Hanya berjarak lima meter saja di hadapan kami.

Ukuran buruan kami malam ini cukup besar, adalah seukuran anak sapi yang sudah cukup dewasa. Karena ukuran yang cukup besar, kami bertiga tak sanggup membawanya ke tempat bermalam. Akhirnya kami kembali dulu ke tempat bermalam. Kami mengajak induk-induk dan lelaki lainnnya untuk membantu membawa hasil buruan.

Malam kian meninggi mungkin sudah mendekati tengah malam, saat prosesi membagi hasil buruan selesai. Orang rimba selalu membagi hasil buruan, sekecil apapun buruan tersebut. Hampir tak ada yang tak kebagian, karena inilah cara mereka bertahan hidup di rimba.

***

[caption id="attachment_192604" align="alignleft" width="329" caption="Mangku Basemen, salah satu pemburu ulung/@huzer"]

1344747996572402970
1344747996572402970
[/caption] Berburu bersama orang rimba sungguh sebuah pengalaman eksotik. Tak setiap saat bisa merasakannya. Bagaimana suara yang menggelegar, leguhan binatang buruan sesaat sebelum menghembuskan nafas terakhir dan juga bagaimana adrenalin memuncak saat mengejar buruan sungguh membawa pengalaman yang luar biasa.

Makin pula kusadari betapa orang rimba sangat bergantung pada hutan. Mencari nangoy saja kini membutuhkan waktu hampir semalam untuk mendapatkannya. Padahal dulu cukup satu atau dua jam saja. Atau kalau istilah orang rimba cukup “ngisap duo betang rukuk” (konsepsi waktu bagi orang rimba sering disebandingkan dengan berapa batang rokok yang dihisap). Berburu nangoy termasuk berburu yang paling mudah dibanding berburu kancil atau rusa. Sungguh hidup orang rimba kini semakin tak mudah.

Rimba sebagai rumah sekaligus identitas kultural mereka kian tergerus oleh kerakusan pemilik modal, baik korporasi maupun individu. Entah sampai kapan Orang rimba bisa bertahan.

* Dalam rindu aku menulis...

Ujeera adalah panggilan anak-anak Rimba untuk nama asliku yang sulit mereka sebutkan. Sehingga Huzer menjadi Ujeer dan akhiran “a” adalah kebiasaan mereka memberi akhiran “a” di ujung nama orang. Misal saja nama sahabat saya Abdi, maka akan mereka panggil Abdia..

Mangku adalah salah satu posisi penting dalam kepenghuluan orang rimba

Nangoy sejenis babi namun ukurannya lebih besar dari babi hutan dan tubuhnya lebih terang dari warna babi hutan.

Kakok dalam bahasa Indonesia berarti kakak

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun