Mohon tunggu...
Huzer Apriansyah
Huzer Apriansyah Mohon Tunggu... Lainnya - Pada suatu hari yang tak biasa

Belajar Menulis Disini

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Anda Pernah Menonton Empat Film "Radikal" Ini ?

8 Desember 2011   23:02 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:39 510
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_147382" align="aligncenter" width="440" caption="Ilustrasi by : eldridgedufauchard.com/i-love-inspiring-you/"][/caption]

Ada banyak film yang telah kutonton, 100 ? mungkin lebih. tapi entah mengapa empat film berikut sangat terkenang dan memberi banyak warna dalam hidupku. Bisa jadi banyak di antara kita telah menyaksikan film-film berikut, apa kesan anda ?

Berikut keempat film tersebut ;

Beyond Borders (2003) : Kala Cinta Tumbuh di Garis Depan Kemanusiaan

[caption id="attachment_147378" align="alignleft" width="300" caption="pic by : en.wikipedia.org/wiki/Beyond_Borders"][/caption]

Ketika perjuangan cinta berujung tragedi, itu kalimat yang bisa mewakili film drama berdurasi 127 menit ini. Dr. Nick Callahan (Vlive Owen), seorang pekerja humanitarian yang bekerja mandiri bersama tim yang ia bentuk sendiri (bukan di lembaga kemanusiaan besar yang melimpah fasilitas), saat membuka camp pengungsi di Ethiopia ia kedatangan tamu. Tamu itu adalah seorang gadis cantik yang memiliki kepedulian, Sarah Jourdan (Angelina Jolie) namanya.

Bermula dari perjumpaan sederhana yang penuh “kesalingbencian” antara kedua insan di camp pengungsian yang dihantui kelaparan, wabah penyakit dan ketakutan akan perang itulah lahir rasa saling menganggumi. Waktu memisahkan mereka, masing-masing berotasi di sumbu kehidupannya masing-masing.

Dr. Callahan terus bergerak dalam perjuangan sunyinya. Kesederhanaan dan keberanian perjuangan melampaui kerja-kerja lembaga kemanusiaan besar yang berkeja di bawah lindungan tentara keamanan PBB serta dukungan fasilitas super mewah. Callahan dan tim bekerja pada level paling sederhana, tak ada perlindungan keamanan, nyawa merekapun jadi taruhan atas perjuangan. Mereka menembus garis depan konflik, daerah yang tak dijangkau perhatian dunia maka merekalah yang menjangkaunya.

Meski film besutan sutradara Martin Cambell ini adalah fiksi namun pesan dan realitas yang dibawa serasa begitu nyata. Kejahatan perang, pengungsi yang terlantar tanpa masa depan, kebusukan pemerintah yang korup dan ketakpedulian dunia menjadi latar kisa ini.

Kembali ke kisah, akhirnya Sarah dan Nick berjumpa kembali di camp pengungsi Kamboja. Sarah yang telah bekerja di UNHCR membantu memasukkan bantuan untuk Nick dan kawan-kawan. Disinilah, Nick harus kehilangan sahabatseperjuangannya Elliot (Noah Emmerich) yang ditembak tentara khmer. Kehilangan Elliot membuat Nick sangat terpukul. Setelah berhasil membawa para pengungsi dengan selamat ke perbatasan Nickpun kembali berpisah dengan sarah.

Ending kisah ini sungguhlah tragis. Sarah yang mendengar kabar Nick ditawan tentara Checnhya. Iapun berangkat ke Chechnya dengan bantuan kakaknya. Sarahpun pergi sendiri mencari Nick, merekapun bisa lolos dari hadangan tentara Chechnya namun sayang Sarah menemui ajalnya karena terkena ranjau darat.

Sungguh sebuah kisah cinta di garis depan perjuangan yang berujung tragis. Bagi saya ini adalah salah satu film yang sangat layak ditonton bagi anda yang belum menonton.

Burning Season (1994) : Kisah Nyata Penyelamatan Hutan Brazil Berujung Nyawa

Film ini diangkat dari kisah nyata berdasarkan laporan jurnalistik “ The Burning Season: The Murder of Chico

[caption id="attachment_147379" align="alignright" width="300" caption="pic by: nativeamericanfilms.org/brazil.html"][/caption]

Mendes and the Fight for the Amazon Rain Forest, dari seorang junalis lingkungan Andrew Revkin. Kisah perjungan Chico Mendes, petani karet yang melawan keangkuhan para tuan tanah yang berniat membabat habis hutan yang tersisa.

Chico dan kawan-kawanya berjuang mempertahankan tiap batang pohon yang tersisa. Mereka membuat lingkaran manusia di sekitar pohon. Jika orang-orang kaya itu ingin menebang sebuah pohon, maka mereka harus menggergaji dulu puluhan ornag yang menjadi rantai bagi pohon-pohon itu.

Chico Mendes dalam film ini diperankan oleh Raul Julia, sepanjang perjuangannya teror terhadap dirinya dan keluarga menjadi santapan harian. Kisah perjuangan Chico akhirnya berujung pada kematian Chico Mendes oleh penembak misterius. Chico yang merupakan president of the Xapuri Rural Workers sampai akhir hayatnya berjuang mempertahankan hutan Amazon.

Film besutan John Frankneheimen ini telah membuka mata dunia ketika itu, betapa keji dan kejamnya pemilik modal (industri) menguras hutan dan menghancurkan komunitas lokal setempat.Film ini disebut sebagai salah satu momentum kebangkita perjuangan gerakan lingkungan di dunia. It’s highly recommended…

With Honors (1994) : Hidup Bukan Sekedar Gelar Cum Laude

[caption id="attachment_147380" align="alignleft" width="300" caption="pic by : en.wikipedia.org/wiki/With_Honors_%28film%29"][/caption]

Berawal dari perjumpaan Montgomery Kessler (Brendan Fraser), seorang mahasiswa Ilmu Pemerintahan Harvard University dengan seorang gelandangan Simon (Joe Pesci), lantas membawa dua insan ini bersahabat kental. Monty justru belajar banyak tentang betapa “sesatnya” pemahaman ilmu politik di AS. Melalui hubungan persahabatan yang alot, dari kesaling tidak percayaan menjadi sangat dekat akhirnya Monty mencoba melakukan autokritik atas caranya memahami ilmu politik sendiri.

Berbekal bimbingan yang luar biasa dari Simon akhirnya Monty bisa melhat politik dna pemerintahan dengan perspektif yang berbeda. Mencoba menempatkan kembali politik sebagai sebuah alat mencapai kesejahteraan bukn sekedar kekuasaan. Kedekatan Monty dengan Simon juga berdampak pada sahabat serumah Monty, tiga orang rekannyapun menjadi dekat dengan Simon meski rasa benci, jijik dan tak suka terhadap status gelandangan Simon mewarnai saling silang hubungan mereka.

Tibalah pada momen terpenting pada Monty dan tiga orang temannya. Mereka bersiap untuk ujian akhir dan tesis mereka. Apa daya di hari yang sama dengan batas akhir ujian, Simon justru sampai pada puncak sakitnya. Paru-paru Simon hancur karena asbes yang hisap selama menjadi tuna wisma. Keempat sahabat itu berada pada kegamangan, antara tetap menghadiri ujian demi gelar cum laude atau pergi menghantar Simon keluar kota menjumpai anak semata wayangnya yang puluhan tahun tak ia jumpai.

Melalui drama emosional yang menyertai pilihan akhir mereka, Monty dan kawan-kawan akhirnya memutuskan mengantarkan Simon berjumpa anaknya. Sesaat setelah berjumpa sang anak, Simonpun meninggal dunia. Monty, gagal meraih impian summa cum laude. Tapi Monty menurut Simon telah mencapai life with honors.

Salah satu quote yang menarik dari ucapan Simon dalam film ini

“Simon : Do you know what the great nation in the world is ?

Monty : I hope it's the USA.

Simon: Wrong, it's do-nation…”

Dead Poets Society (1989) : Revolusi itu Bermula dari Ruang Kelas

John Keating (Robin Williams), seorang guru di sebuah sekolah konservatifmemulai ‘revolusi’pengajarannya

[caption id="attachment_147381" align="alignright" width="300" caption="pic by : en.wikipedia.org/wiki/Dead_Poets_Society"][/caption] dari sebuah ruang kelas. Ia mengajak muridnya untuk membebaskan diri dari belenggu ortodoksi pendidikan. Pendidikan bagi Keating adalah upaya yang membebaskan.

Inilah salah satu fragmen dalam film ini..

Satu persatu para murid menaiki meja di ruang kelas…Guru muda itupun berkata “Lihatlah dunia dari sudut berbeda, raihlah kesempatanmu..Carpediem !” Di lain waktu guru sastra itu meminta muridnya merobek halaman pengantar puisi di buku teks mereka. Satu persatu muridpun merobeknya, guru itu berseru “Di kelas saya, saya ingin kalian mendefinisikan puisi dengan pemahaman kalian sendiri, bukan belenggu teoritis”..

John Keatingpun terdepak dari sekolah, kematian seorang siswa karena bunuh diri dianggap sebagai kesalahan John Keating. Fragmen terkahir sebelum John Keating meninggalkan sekolah adalah saat ia memberesi barang-barang di kelas. Tiba-tiba seorang anak menaiki mejanya sembari berseru “Oh captain my captain..”, aksi ini menuai amarah guru yang menggantikan Keating. Segera saja satu persatu anak-anak itu menghentakkan kaki di atas meja dan berseru “Oh captain my captain”.

Keating membebaskan pikiran pelajarnya untuk menemukan bentuk terbaik dari eksplorasi pemikiran bukan dengan bertaqlid pada pemahaman lama yang selalu dibenarkan.

Jika anda penikmat film yang menyuarakan revolusi pendidikan, mutlak bagi anda menonton film ini..

***

Ada banyak film yang inspiratif dan menggerakkan, tentu saja tiap kita memiliki selera yang berbeda. Namun, cobalah tonton empat film ini, saya punya keyakinan empat film ini bisa membuat kita menjadi radikal. Tak percaya ? coba saja…

Tentu saja radikal yang saya maksud bukan dalam konotasi negatif, melainkan radikal dalam memperjuangkan impian, radikal dalam mengupayakan perubahan serta radikal dalam berpikir akan alternatif perbaikan bagi orang-orang di sekitar kita, orang yang kita cintai, bangsa dan tentu saja bagi diri kita sendiri..

Salam..

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun