[caption id="attachment_141609" align="aligncenter" width="450" caption="Ilustrasi sosok dibalik topeng/doc@huzera"][/caption]
Gambar di atas adalah ilustrasi, siapapun bisa mengklaim diri sebagai pahlawan super. Asalkan tersedia topeng dan lensa kamera untuk mempublikasikannya. Namun siapa, apa dan bagaimana sosok di balik topeng pahlawan super itu, itu yang menarik untuk kita pahami.
Penutupan rapat pimpinan nasional (Rapimnas) partai Nasdem kemarin menampilkan suasana “baru”, tatkala Hary Tanoesudibjo (HT) memberikan orasi politiknya dalam kapasitas sebagai ketua dewan pakar Partai Nasdem. HT yang tampil sebelum Surya Paloh (SP) menekankan bahwa keberhasilan kuncinya pada momentum. Sebaik apapun usaha dan kerja keras kalau tidak ada momentum, akan sulit meraih keberhasilan maksimal. HT menyimpulkan bahwa saat ini adalah momentu bagi Partai Nasdem, ruanganpun bergemuruh. (hasil pantauan dari siaran Metro TV)
Orasi politik HT itu menjadi semacam “ijab qabul” antara HT dan Partai Nasdem. Makin semaraklah perang raja media di kancah politik. HT duet dengan SP akan berhadapan dengan Aburizal Bakrie (AB) di sisi lain.
HT dengan bendera MNC memiliki RCTI, Global TV, MNCTV, Okezone.com serta jaringan tv berbayar Indovision. Duetnya di Partai Nasdem SP, memiliki Metro TV dan Media Indonesia. Meski Partai Nasdem terbilang baru, namun “amunisi” yang akan dibawaSP dan HT bisa jadi akan mendongkrak kiprah partai baru yang kehadirannyapun belum resmi di kancah politik. Depkumham rencananya baru akan mengumumkan partai baru peserta Pemilu hari ini, setelah dua kali mundur.
Masuknya HT ke Partai Nasdem yang sebelumnya dikenal dekat dengan Cikeas ini membuat perang raja media kian nyata jelang 2014. HT yang sempat dikaitkan dengan kasus korupsi Sisbankum nampaknya tak nyaman lagi dengan Cikeas.
Di sudut lain ANTV, TV One, dan vivanews.com milik grup Bakrie tentu saja akan “mati-matian” menopang sang “goodfather” AB a.ka Ical dan Partai Golkarnya. Lalu“bagaimana dengan PARA Group yang merupakan induk dari TRANS Corpora yang memiliki Trans TV, Trans 7 dan juga Detik.com ? Posisi Chairul Tanjung (CT) masih samar, belum jelas betul. Namun posisinya sebagai ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) banyak mendorong spekulasi bahwa kelak Trans Co akan mengarah ke Cikeas, apalagi sejauh ini SBY dan Demokrat belum punya “corong” media yang kuat. Jurnal Nasional tentu belum cukup ampuh. Akankah ? lihat saja pada saatnya nanti.
Menilik kompetisi para raja media, terbersit pertanyaan lalu bagaimana peran media sebagai watchdog proses demokrasi di negeri kita. Bagaimana pula kemudian media memberikan berita yang bermanfaat bagi publik tatkala mata pena dan mata kamera mereka sudah “dirantai” pragmatisme politik ? Sekali lagi, publik akan menjadi “korban” dari perang ini. Untuk menghindari itu, kecerdasan publik dalam memahami relasi media dan pragmatisme politik menjadi mutlak, agar tak tersesat di rimba informasi yang pincang ini.
Ambigu Media
Kita tentu tak bisa membatasi hak para raja media itu dalam menggunakan haknya dalam berpolitik. Ini sah-sah saja. Raja media berafiliasi dengan kekuatan politik itu terjadi di banyak tempat, tak terkecuali di Eropa dan Amerika Serikat.
Namun, jika kita merujuk pada pendapat Sheila S Coronel “…in the role of news media in governance reform agenda as watchdog” tentu saja ini akan sulit tercapai manakala media yang dimaksud berada dalam lingkaran kekuasaan. Setuju atau tidak setuju akan menjadi naluriah ketika media akan melindungi kepentingan politik si empunya media.
Mari kita ingat-ingat motto/jargon stasiun TV yang dimiliki raja media yang sudah memastikan bertarung di 2014, RCTI bersemboyan “Kebanggaan bersama milik bangsa”,Metro dengan “Knowledge to elevate”, TV one bermotto “Terdepan Mengabarkan” akankah semua itu akan berakhir sebagai jargon ditelan oleh kepentingan politik para pemilik. Kita tunggu saja, sejauh mana media mainstream ini menjaga peran-perannya sebagai the fourth pillar of democracy.Atau peran media sebagai pilar demokrasi itu hanya mitos saja ?
Media yang pada satu sisi menjadi rujukan publik dalam mengetahui dan memahami realitas namun di sisi lain berpotensi mereduksi dan “memanipulasi” informasi untuk kepentingan politik pemiliknya. Publik juga berharap dengan informasi dari media mereka menjadi tercerahkan, tapi di sisi lain media bisa terjebak dalam penyebaran informasi yang “cetek” dan abai akan keutuhan, informais yang parsial. Ini resiko manakala kepentingan politik jadi panglima media.
Kemana Bandul Kompas ?
Sejauh ini posisi Jacob Oetama (JO) sang komandan Kelompok Kompas Gramedia (KKG) akan mengarahkan bandulnya dalam peta politik ? sejauh ini masih samar dan belum teraba dengan jelas, ataukah JO akan mencoba menjaga netralitas. Mari kita nantikan.
Belum cukup isyarat dan bukti yang bisa menyimpulkan dimana bandul kompas berlabuh, SBYkah ? Icalkah ? atau bergabung dengan SP dan HT ? ah biar kita lihat saja. Sembari tetap berharap KKG bersedia “mewakafkan” diri sebagai corong publik bukan corong partai dan bersedia menjadi pilar ke-4 demokrasi di republik ini. Bukankah ini yang sering disyiarkan oleh JO, the funding father kompas grup, yang tentu saja juga menaungi Kompasiana kita tercinta ini.
***
Pada akhirnya, realitas yang menempatkan media di Indonesia beririsan dengan pragmatisme politik tak dapat kita hindari. Para raja media punya motifnya masing-masing…semoga saja semua berawal dari niat baik memperbaiki nasib negeri ini, tapi apa iya ? kita tunggu saja.
Kecerdasan kita sebagai publik menjadi mutlak, bagaimana kita mengerti dan memahami bahwa informasi dari media tak selalu “bersih”, bisa jadi ada motif pragmatisme politik di baliknya. Cermatilah tidak hanya pada isi informasi atau berita, tapi lihat juga siapa (media mana) yang memberitakannya dan siapa pemiliknya..? mudah-mudahan kita bisa terlepas dari jerat pragmatisme politik media.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H