Mohon tunggu...
Perkumpulan Independen Komunitas Temanggungan
Perkumpulan Independen Komunitas Temanggungan Mohon Tunggu... -

PIKATAN adalah organisasi sosial yang didirikan oleh masyarakat sipil Temanggung, dengan badan hukum perkumpulan. PIKATAN bersifat terbuka dan memperlakukan setara setiap pihak dari berbagai ras, suku, agama, warna kulit, aliran politik, gender, latar belakang sosial ekonomi dari seluruh warga masyarakat Temanggung untuk menjadi anggota, pengurus, mitra kerja maupun untuk mengambil peran dalam organisasi ini dalam rangka memajukan tujuan pembentukan http://www.facebook.com/home.php?#!/profile.php?id=100000971503968&ref=profile PIKATAN.http://pikatan.wordpress.com. millist pikatan@googlegroups.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Toni Boster

29 April 2010   04:52 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:31 355
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Wawancara Khusus dengan Lik Kopir

Sesuatu telah terjadi. Tepat pada pukul 23:60:03, malam kamis legi di bulan Juli 2009, Redaksi Stanplat mendengar kabar Lik Kopir terkena terkena virus Flu Babi. Kontan redaktur kaget setengah mati. Dikabarkan pula kopir minggat dari sakit setelah dokter memutuskan Kopir positif mengindap virus flu H1N1 itu.

Sepuluh hari kemudian tiba-tiba Kopir menelpon Fahrudin, memberi kabar kalau dirinya berada di kaki Gunung Ciremai Cirebon. Singkat cerita, Kopir berjalan kaki dari Tretep sampai Cirebon tanpa bekal uang. Begitu dapat uang hasil ngemis di kuburan itu, ia langsung menelpon Fahrudin.Udin pun bergegas menemui Kopir ke Cirebon.

Berikut ini adalah petikan obrolan panjang Fahrudin Al-Aswad dengan orang edan yang selalu dirindukan banyak orang waras itu.

Piye kabare Lik?

Ya kadang baik, kadang buruk. Kadang-kadang lagi baik tapi dikabarkan buruk. Kadang-kadang buruk dikabarkan baik. Seperti biasalah. Semua serba gosip.

Samang dengaren gelem ditemui redaksi. Biasanya cuma kirim naskah terus minggat.

Ya kadang-kadang harus begini.

Mangsude?

Ya kadang-kadang tanpa mangsud.

(Udin keningnya berkerut tak paham. Pusing!) Yang jelas dong….

Ya kita ini hidup kadang perlu ngawur. Kalau terlalu logis terus malah refot. Aku kan anti dengan sikap ngemis. Tapi kemarin ngemis buat nelpon kamu. Aku sendiri sudah tahu bahwa setiap perjalanan mestinya pakai bekal, e, nekad tanpa bekal. Jadilah aku pengemis, nyusahi orang. Nah ini pengalaman berharga kebodohanku. Jadi pelajaran buat kamu.

Lho piye tho. Selama ini samang kan mengkritik orang Temanggung yang cupet akalnya. Kok sekarang inkonsisten?

Aku bilang kadang-kadang, bukan selalu. Kalau orang Temanggung kebanyakan masih lebih suka okol ketimbang akal itu memang begitulah. Kalau mereka pakai akal sehat dan logika yang baik tentu kondisi masyarakatnya tidak sebobrok sekarang. Gitu kan? Maksudku mbok ya orang Temanggung itu kadang-kadang menggunakan akal budinya secara maksimal.

O….Kenapa sih sampeyang kalau mikir mbulet gitu.

Ya itu kan sesuai dengan kenyataan. Realitas mengatakan dunia sangat majemuk, penuh dengan keragaman persis benang kusut. Kalau mau mengurai benang kusut dengan melihat sebagai benang lurus itu jelas salah. Makanya harus dilihat jeli. Perlu njelimet. Kusut katakan kusut, lalu perbaiki. Jangan jelek katakan bagus lalu dibiarkan. Itu tak bertanggungjawab.

Wah repot yo Lik. Ngomong-ngomong samang kok wingi ora nulis di Stanplat ngopo Lik?

Ya kadang-kadang harus begitu. Stanplat kadang terbit kadang tidak. Namanya saja kadang Temanggung. Ya kadang-kadang lah.

Kok kodang-kadang sih. Stanplat itu bukan diurus memakai organisasi kekadangan yang primordial, tapi memakai organisasi modern komunitas. Soal tidak terbit itu kan urusan lain….

Ya itulah, kadang-kadang aku juga tidak tertib. Watak priyayiku yang cengeng kadang-kadang kambuh.

Samang priyayi pow?

Bukan, tapi bangsawan. Bangsa tangi awan.

Enyong adoh-adoh seko Jakarta gelem nemui samang berharap ngomong serius lho….

Ha de’e pekok. Ra bayaran kerjo serius. Kadang-kadang kita itu harus seperti priyayi, sekalipun dibayar tapi gemar berkhianat atas mandat dan amanat.

Memang kenapa sih dengan watak priyayi?

Gini lho. Priyayi itu kan kalau di Eropa dikenal dengan istilah borjuasi. Golongan kelas antara: antara bawah dan atas. Posisi antara itu repot. Takut terjungkal ke bawah sehingga terus berusaha naik. Mau naik kelas itu kan butuh perjuangan. Karena itu golongan priyayi ini sering terjebak pada sikap menghalalkan segala cara, jalan terabas alias pragmatis. Gemar khianat. DPRD dan PNS itu contohnya. Sudah tahu penghasilannya dipatok masih juga pingin kaya-raya. Akhirnya?

Nek kuwi wis kaprah lik. Ngomong liyane wae saiki. Jare samang kena flu babi? Terus piye?

Ra masalah. Apapun jenis flu-nya yang penting sadar obatnya. Penyakit itu timbulnya dari diri sendiri, obatnya juga pada diri sendiri. Manusia itu congkak. Penyebabnya ada pada dirinya sendiri yang disalahkan kok babi.

Maksudnya apa itu lik? Ojo kasar-kasar tho. Samang ki jan ra sopan kok.

Sopan Sopian yo? Apakah kamu tidak dengar di kabar berita dunia satwa kalau para babi itu pada marah gara-gara dijadikan kambing-hitam sebagai penyebar penyakit? Mereka marah tapi tidak misuh-misuh. Babi tetap sabar. Soalnya mau misuh sikak tidak bisa sefasih orang Temanggung. Arep misuh celeng sama juga nyerang diri sendiri. Akhirnya babi-babi itu diam saja. Kasihan. Oh, babi yang lucu.

Tapi Lik, samang nek ora berobat bisa modar lho?

Lho nek pingin modar bukan wacana lagi. Tapi aku emoh mati dengan cara konvensional. Harus persiapan khusus. Jadi manusia top itu jangan hanya bisa merekayasa kelahiran, tapi juga kemodaran. Bisa operasi caicar saja kok bangga. Kalau mati hanya karena penyakit itu kambing pun bisa.

Arep ngendhat maneh pow?

Ora’ang. Dipikir-pikir ngendat kurang seksi. Aku lagi nyari cara yang paling keren pokokmen.

Samang kok sensasional banget tho?

Ya kadang-kadang lah. Asal sensasi tidak pakai uang rakyat kan gak masalah. Gitu aja kok refot!

Lik, samang kan wis ngerti bupati Temanggung saiki? Menurut samang Bupati Manggung kuwi bisa jadi jaminan perbaikan nasib rakyat tidak?

Salah kuwi. Feodal kuwi. Ngawur kuwi. Jaman sudah memasuki era demokrasi kok masih dilihat pakai analisa jaman kerajaan. Ngene lho: demokrasi itu memang membutuhkan kepemimpinan yang kuat. Tapi tidak otoriter. Kuat di sini ialah dalam hal pemikiran, kepemimpinan dan mampu memotivasi kerja keras. Kerja keras di sini juga bukan kerja otot, tetapi juga kerja otak. Masalahnya sekarang dua hal. Pertama, bagaimana dengan kesiapan kerja orang-orang di dalam pemda yang dipimpin Kang Hasyim? Apa ya mau diarahkan kerja baik? Kalau sudah mau, apakah benar-benar tulus? Kalau kemudian orang Pemda mau kerja keras tapi kurang tulus ini tetap berbahaya sebab tradisi kerja keras hanya 5 tahun. Ganti pemimpin nanti refot maning. Kedua, apakah Kang Hasyim berani menerobos strategi baru? Masalahnya semua program kerja selalu mengacu pada rumus-rumus kebijakan publik, terutama pertumbuhan ekonomi. Target 7 persen saja dianggap muluk. Padahal kalau mau melawan kemiskinan mestinya butuh minimal 8-9 persen, bahkan lebih dari itu. Angel tho?

Terkait dengan kerja otak inilah yang membuat aku sangsi akan kemajuan. Orang-orang Temanggung ini miskin pemikiran. Nek diajak mikir susah. Belajarnya malas. Ngantukan. Lebih suka ngobrol ngedebhus. Pejabat maupun rakyat sami mawon. Pejabat nek belajar senenge keluyuran. Akibatnya mereka cuma dapat informasi kesuksesan daerah lain. Padahal dalam belajar yang bener mestinya juga menyerap banyak pengalaman dari kegagalan. Mereka suka lupa proses perjuangan untuk sukses. Kalau cuma studi banding itu mereka tidak akan banyak mendapatkan nilai, kecuali dibuat gumunan. Seharusnya juga belajar serius melalui hasil riset, buku dan media akan banyak membantu. Tapi ya kepriben maning.

Di Stanplat kemarin sudah dipaparkan bahwa kemalasan itu juga disebabkan oleh pengaruh alam….

Tapi kita kan bukan hewan yang sepenuhnya bergantung pada alam. Ingat, modal kita berupa akal budi dan hati nurani itu bisa untuk mengatur alam. Akal budi kita gunakan sebaik mungkin agar kita tidak diperbudak oleh siklus alam. Usaha keras dan produktif memanfaatkan Sumber Daya Alam itu sangat perlu. Hati nurani wajib digunakan agar tidak merusak alam. Lagian kita ini kadang kurang cakap dalam melihat alam. Alam agraris itu tidak sepenuhnya produksinya hanya musiman, melainkan juga harus dilihat produksi hariannya.

Contoh?

Selama ini kita bergantung pada penghasilan tanaman konvensional dari pertanian,sementara banyak aset yang tidak harus ditanam tapi menghasilkan. Misalnya tanaman obat. Itu banyak tumbuh liar. Riset dong, kembangkan dong. Jadikan obat-obatan alami. Sampah-sampah bisa diolah jadi barang bermanfaat. Kalau sampah dilihat sebagai kotoran ya akhirnya kerjaannya kita uring-uringan terus. Tapi kalau dilihat sebagai aset ya kita senang dapat sampah. Eropa Barat saja miskin sumberdaya alam, tapi manusianya tidak semiskin kita. Apa kalau bukan soal pemikiran dan kerja keras kreatif?

Masalahnya di kita memang SDMnya lemah je?

O, walah. Keluhan yang tidak mutu. Mental kebo memang susah diajak maju. Ora perlu kakean alasan. Jangan cengeng dan banyak mengeluh. Lakukan yang bisa lakukan. Sudah bodoh dan miskin tapi malah jadi tukang analisa. Kalau intelelek sih enggak masalah. Sejak jaman dulu pola pikir kita ini kok cupet, gemar jadi tukang analisa “salah-benar”. Mbok ya digeser “maju-mundur” lalu kita kejar kemajuan. Hidup ini tidak direncanakan. Kenapa kita sombong setiap pekerjaan harus direncanakan?

Orang kita memang salah didikan. Makin disekolahkan kok makin bodoh dan penakut. Seolah-olah semua harus direncanakan secara matematis. Perhitungan memang perlu, tapi banyak berhitung dan takut spekulasi juga membuat kita ketakutan. Racun-racun sekolahan itu mbok ya dikurangi. Lihat orang-orang sukses itu, tidak semua usahanya sukses karena ajaran sekolahan. Bahkan hasilnya terkadang melampaui perhitungannya sendiri. Karya seni, sastra, lukisan juga tidak banyak diperhitungkan oleh kreator. Mengalir saja. Kalau sudah bisa melakukan hal yang kecil kembangkan untuk menjadi besar. Seniman sejati tidak pernah berpikir hasilnya melimpah, mereka hanya bekerja keras membuat karya agar dinikmati banyak orang. Ini adalah prinsip pelayanan, melayani hasrat manusia untuk menikmati keindahan dan dari situlah seniman kaya-raya. Kalau seniman bodoh memang sering mikir uang. Malah kere jadinya.

Caranya?

Ya itu. Nekad. Kedua, kerjasama. Ini penting karena kita tidak bisa hidup sendiri. Ketiga, harus pinter menciptakan peluang. Keempat rejeki jangan terlalu dihitung matematis. Antara rejeki dan penghasilan itu perlu dibedakan. Kalau penghasilan itu boleh dihitung dan ditarget. Seperti pegawai negeri penghasilannya sudah pasti. Bukan rejekinya yang pasti, tapi penghasilannya. Karena pegawai negeri itu manusia yang tidak selalu puas dengan pendapatan, sangat wajar jika dalam kepastian itu mereka juga butuh “ketidakpastian” sebagaimana pengusaha yang penghasilannya tidak pasti. Kalau pejabat mau kaya, ya perkaya dulu masyarakat. APBD naik, gaji naik. Itu cara cerdas. Bukan main terabas ngembat uang rakyat.

Cara melangkahnya piye?

Dengan meningkatkan pengabdian, melayani dan menekankan sikap sosial pada orang-orang yang penghasilannya kecil. Kalau ini dijalankan, rejeki yang lain akan melimpah. Melayani sebaik mungkin, nanti rejeki, termasuk uang akan datang melayani kita. Majikan yang memuliakan karyawan pasti akan dimuliakan oleh rejeki karena ia telah memberikan rejeki pada orang lain. Pejabat yang memuliakan rakyat juga akan dimuliakan rakyat.

Kok pakai pendekatan begitu sih? Samang orailmiah blas….

Ilmiah macam apa yang kau harapkan? Memangnya semua harus serba ilmiah? Lagian orang menjadi kaya-raya atau sangat miskin itu juga tidak ilmiah kan?

Jangan goblok dong. Ilmiah dalam pengertian konsep sekolahan ya memang tidak karena pendidikan di kita ini memang kacau, tapi ilmiah dalam pengertian kenyataan (objektivitas) itu jelas. Dalam dunia rejeki itu ada yang namanya spiritualitas. Ini bukan klenik, tapi spiritualitas sosial. Dimana-mana kalau mau dapat rejeki melimpah ya harus mengabdi kepada sesama. Tuhan mengajarkan itu. Antara menyembah dan mengabdi itu beda. Tuhan suruh kita menyembah-Nya. Itu sudah cukup. Percaya dan lakukan pesan-pesan semampunya.Yang lupa dari kita adalah menjalankan perintah Tuhan dalam bentuk pengabdian kepada manusia dan alam. Mengabdi bukan berarti menyembah, tetapi bekerja dan melayani. Kalau kita baik terhadap sesama dan alam semuanya akan baik kepada kita.

Wah, dahsyat Lik. Tapi abot tenan. Kita itu terlanjur matematis je…

Ya itulah. Bahwa kita harus rasional itu benar, termasuk rasional dalam hal spiritualitas. Falsafah jaman edan nek ora edan ora keduman itu sudah usang. Bodoh itu. Kok mau-maunya jadi orang edan. Kok mau-maunya eforia. Taklukkan jaman edan dengan akal budi. Jangan jadi kodok seperti yang kamu tulis kemarin itu. Kodok itu absolut. Kita ini harus “inkonsisten” dalam artian fleksibel melihat sesuatu memakai ragam pendekatan. Percuma saja merantau kalau kemudian pada praktiknya yang diterapkan tetap logika kodok.

Jadi orang kita ini kurang revolusioner ya Lik?

Ya, gimana mau maju kalau tidak mau merevolusi kepribadian. Refot. Jalan di tempat. Persis undur-undur. Mundur-mundur kecegur sumur maju-maju kecatek asu.Orang kita ini stagnan, involutif, alias jalan ditempat karena mundur takut kejebak alam, mau maju takut dicakar anjing modernitas. Akibatnya pasrah, dijepit kemiskinan dan ketidakberdayaan.

Apakah itu disebabkan prinsip sumeleh juga Lik?

O, lain. Pasrah itu karena ketidakberdayaan yang disebabkan oleh kebodohan dan ketakutan. Kalau sumeleh itu berserah pada hasil. Orang yang sumeleh itu sesungguhnya pekerja keras tetapi menyerahkan hasil kerja kepada Tuhan. Kalau kemudian hasilnya tidak sesuai yang diinginkan ia sumeleh, alias tidak frustasi dan selalu intropeksi diri untuk kemudian mencoba lagi. Kalau pasrah itu menyerah sebelum bertarung.

Lik, samang kuwi disengiti wong okeh gara-gara cangkeme dleweran nang Stanplat.

Sengit begitu tolet-tolet kuwi. Salahe sopo aku disuruh ngomong? Lagian kenapa harus sakit hati? Kenapa pula yang disalahkan yang ngomong? Mestinya kamu menyalahkan mereka yang gampang sakit hati juga dong! Lagian aku nulis itu kan hak pribadiku. Kalau tidak suka jangan gerundelan, ngomong juga. Tulis juga. Tulisan jawab dengan tulisan, jangan dengan gerundelan, apalagi dengan okol. Kalau tulisan dibales dengan okol itu tandanya tumpul otaknya. Jangan senenge nggosip, percoyo isu, gemar main belakang dan emoh bertanggung jawab.

Tapi tidak semua orang bisa nulis Lik?

Makane sinau! Jadilah seperti pribadi ideal seperti Sukarno, bisa bicara, bisa menulis dan bisa memimpin organisasi. Kalau mampu tiga hal ini kita akan jadi pribadi yang baik di masyarakat. Usahakan setelah bisa ngomong nulis, lalu bisa ngurus organisasi, ngurus perusahaan, ngurus masyarakat. Kalau tidak bisa menulis minimal suka baca, banyak belajar dan kalau mengajukan usul atau pendapat itu pakai ukuran. Junjung tinggi ilmu pengetahuan. Kalau tidak mau belajar ya kayak kodok, kakok-kakok. Kodok ndase ireng paling-paling mendapat gelar kehormatan Tuan Besar Toni Boster.

Opo kuwi?

Waton muni ndobose banter….

Yo wis Lik, ojo ngamuk-ngamuk wae. Saiki mangan disik. Ngeleh je…

Haiyo, wong Manggung kan pancen ngene iki. Nek ngeleh uring-uringan terus. Kepribadiane ilang. Tapi nek wis wareg berubah jadi santun, lemah gemulai, indah rupawan dan berlagak hartawan. Santun jenaka…..

(naskah ini pernah dimuat di Media Cetak Stanplat edisi 28 Oktober 2009)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun