Mohon tunggu...
Perkumpulan Independen Komunitas Temanggungan
Perkumpulan Independen Komunitas Temanggungan Mohon Tunggu... -

PIKATAN adalah organisasi sosial yang didirikan oleh masyarakat sipil Temanggung, dengan badan hukum perkumpulan. PIKATAN bersifat terbuka dan memperlakukan setara setiap pihak dari berbagai ras, suku, agama, warna kulit, aliran politik, gender, latar belakang sosial ekonomi dari seluruh warga masyarakat Temanggung untuk menjadi anggota, pengurus, mitra kerja maupun untuk mengambil peran dalam organisasi ini dalam rangka memajukan tujuan pembentukan http://www.facebook.com/home.php?#!/profile.php?id=100000971503968&ref=profile PIKATAN.http://pikatan.wordpress.com. millist pikatan@googlegroups.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Islam Temanggungan

22 April 2010   08:50 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:39 338
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

-Sepenggal potret sosiologi muslim Temanggung

[caption id="attachment_124315" align="alignleft" width="246" caption="Kegiatan keagamaan parakan./bamburuncing.wordpress.com"][/caption]

1980-an.Agama Islam yang mayoritas dipeluk masyarakat Temanggung tetap menjadi sistem keyakinan yang paling penting dan hanya sebagian kecil yang benar-benar menganut ajaran kejawen. Tetapi, pada praktek keseharian, tetap mewarisi kosmologi kejawaan. Jelasnya, Jawa sebagai ideologi, atau sistem kepercayaan atau katakankan Jawaisme sudah mengalami kepunahan, tetapi Jawa sebagai adat istiadat tetap bercokol kuat. Tak pernah runtuh oleh desakan Islam, Kristen atau modernisasi.

Masyarakat penduduk muslim yang paling menonjol berada di Kecamatan Parakan dan seputar sekitar alun-alun kota Temanggung (Sumopuran, Surodinatan, Kauman dan Kepatihan), juga beberapa kampung santri di Kecamatan Tembarak. Kecamatan-kecamatan lain nampaknya kaum muslimnya masih kental hidup dalam tradisi Jawa, sisa-sisa peradapan masa silam.

Kauman. Orang-orang desa dulu kala mengenal desa ini sebagai Kampung Krajan. Berdirinya bangunan kraton Mataram Baru pada 3 Syura tahun Wawu 1681, atau bersamaan dengan kalender masehi 9 oktober 1755 kemudian mengubah nama perkampungan di pusat-pusat perkotaan baik kabupaten maupun di tingkat distrik yang memiliki komunitas muslim.

Krajan di Kecamatan Kaloran adalah salahsatu contohnya; oleh pemerintahan Hindia-Belanda dianggap menjadi salahsatu desa yang diubah menjadi Kauman karena memiliki prasyarat untuk membentuk sebuah komunitas keislaman yang diharapkan oleh keraton Mataram sebagai alat konsolidasi politik.

Setiap kampung Kauman, di manapun berada dipastikan memiliki masjid lumayan besar karena mendapatkan perhatian dari pemerintahan kasultanan, termasuk oleh pemerintahan Hindia-Belanda. Kampung Kauman juga dipercaya oleh pemerintah sebagai sarana aktivitas keagamaan yang dianggap resmi oleh Negara.

Para penghulu, imam masjid dan kegiataan keorganisasian Islam menyatu di sekitar masjid.Di Kauman perkotaan Kabupaten atau Provinsi, para ahli agama diberi tunjangan tanah oleh pemerintah. Tanah hibah itu disebut lemah pakauman, tanah tempat tinggal para kaum. Sementara di Kauman wilayah distrik kebijakan itu belum tentu dilakukan pemerintah. Kampung Kauman di wilayah pedesaan seperti di Kecamatan Kanaan mungkin dianggap sebagai wilayah penetrasi politik negara terbawah sehingga pemberian fasilitas tanah berhenti pada tingkat kabupaten.

Kauman sering diidentikan kampungnya kaum, yang biasanya memiliki semangat modernitas dalam hal keagamaan dibanding dengan komunitas santri di desa non Kauman. Tetapi semangat ini tak akan pernah melabrak kekuataan Negara karena memang pada dasarnya para kaum itu sendiri bekerja sebagai abdi Negara, biasanya menjadi penghulu, atau menjadi guru-guru agama sekolah milik Negara. Sedangkan komunitas muslim yang biasanya independen dari negara justru berada di luar Kauman.

Kauman Parakan

KaumanParakanberbeda dengan Kauman Kaloran, berbeda pula dengan Kauman Temanggung. Kauman Bambu Runcing dengan kampung-kampung sekitarnya memiliki tradisi kehidupan santri yang sangat kuat sejak jaman mataram baru. Kota ini punya torehan sejarah panjang perjuangan di masa kolonial.

Maskot pejuang yang paling terkemuka adalah sosok Mbah Subukhi, lebih dikenal sebagai Kiai Subkhi. Kiai ini selain dikenal alim dan hidup sederhana serta memiliki garis perjuangan yang sangat kuat. Subkhi tidak hanya mampu mempengaruhi banyak orang dengan seruan-seruannya, melainkan memiliki keahlian memproduksi senjata perang, Bambu Runcing.

Kelompok santri di kampung Kauman dan sekitarnya mampu berdiri kuat berhadapan dengan negara. Sebagian besar mereka adalah pedagang yang cukup maju, bersaing dengan para etnis Tionghoa yang menghuni rumah-rumah di sekitar kota Bambu Runcing. Kesalehan para kiai bambu runcing membuat sosok kiai itu sendiri menjadi bagian hidup sehari-hari masyarakat. Saking banyaknya kiai di kawasan Bambu Runcing membuat dominasi seorang kiai tidak terjadi. Masing-masing kiai dengan peranannya sendiri memiliki nilai lebih di masyarakatnya.

Satu kiai memiliki kelebihan punya pesantren besar, tetapi kiai lain yang tak memiliki pesantren tetapi memiliki karisma karena mampu memimpin jamaah pengajian. Kiai lainnya tak mampu memimpin jamaah, tetapi ia sangat disegani karena laku moral sehingga menimbulkan wibawa besar.

Kaum santri di tengah-tengah kota Bambu Runcing itu terhubung memadat dari satu kampung ke kampung lainnya. Di tengah Kampung Kauman Bambu Runcing, berdiri beberapa pesantren dan sekolah Islam. Sedangkan di kampung sekitarnya yang kehidupannya tak jauh-jauh dari tradisi kaum santri yang memiliki perkumpulan jamaah-jamaah keagamaan, mulai dari jamaah ibu-ibu muslimat Nahdlatul Ulama, jamaah remaja masjid, jamaah arisan, kepemudaan dan lain sebagainya.

Kondisi ekonomi kaum santri perkotaan yang memiliki semangat keagamaan tradisional ini menampakkan dinamika patembayanan yang lebih dinamis ketimbang kehidupan kaum santri di pedesaan. Kaum santri bukanlah mereka anak-anak petani miskin, melainkan anak-anak pedagang di pasar dan sebagian anak pegawai negara yang bertahan dengan pola keagamaan tradisional.Di Kawasan Bambu Runcing ini dikotomi santri sebagai orang ndeso dan pelajar sebagai orang kota sangat tipis.

Orang-orang tua menyekolahkan anak-anaknya ke pesantren atau sekolah umum itu sekedar pilihan yang wajar. Mereka yang memilih sekolah di perguruan tinggi pada masa-masa belajar di kampungnya banyak menerpa diri dengan pelajaran mengaji di para kiai. Rata-rata kiai di kota Bambu Runcing memiliki pemahaman keilmuan yang sangat tinggi. Mereka adalah lulusan-lulusan pesantren di Jawa Timur, atau dari kawasan pesisir utara Pulau Jawa.

Kiai-kiai tradisional di perkotaan ini memainkan laku budaya yang cenderung egaliter terhadap kehidupan lingkungan sekitarnya. Lapisan bawah kiai, yakni para aktivis pemuda Islam dan kaum perempuan yang relatif mendapat pendidikan lebih baik dibanding dengan komunitas muslim pedesaan membuat hubungannya dengan kiai sendiri cukup terbuka, sesuatu yang kontras berbeda dengan kiai desa lain yang langsung berhubungan dengan para petani.

Satu lagi, yakni peranan kaum perempuan yang lebih terbuka di banding muslim desa. Perempuan di desa yang tidak tergolong santri laku kehidupannya lebih terbuka. Dari sisi pakaian mereka biasa membuka aurat, nampak liberal sebagaimana perempuan-perempuan kota yang berani menampilkan paha, sedikit membuka bagian payudara dan membiarkan rambutnya dilihat setiap orang.

Sementara perempuan desa yang sudah menggolongkan diri sebagai santri biasanya makin tertutup. Tubuhnya dibalut penutup aurat sampai kaki dan kepalanya memakai kerudung. Laku perempuan berjilbab juga sering berbeda dengan perempuan biasa, terutama dalam hal pergaulan lawan jenis. Di kota Parakanperempuan-perempuan santri sebagian memakai jilbab sepanjang hari, sebagian hanya memakai pada saat-saat acara keagamaan tertentu. Sebagian perempuan non santri atau mereka yang tergolong kaum santri tapi lebih sepakat dengan kebebasan berbusana memilih berpakaian ala remaja kota.

Ihwal busana muslim dan non muslim pada akhirnya bukanlah soal kewajiban syariat, melainkan sebagai gaya hidup. Para kiai sendiri berlaku moderat dalam hal ini. Mereka hanya mewajibkan keluarganya berbusana muslimah, sedangkan kepada orang lain tiada pernah mereka mengkhotbahkan kewajiban ini secara paksa.

Bagi orang Jawa, teguran kepada orang lain bukanlah sesuatu yang mudah sebagaima dilakukan oleh mubalig-mubalig kota yang kaku; berpikir pemahamannya sebagai kebenaran mutlak. Para kiai-kiai tradisional ini selalu melihat situasi dalam menyampaikan pesan-pesan keagamaan. Setiap perkataannya selalu dijaga agar tak menyinggung orang lain.

Yang lebih menarik, antara mubalig dan kiai itu sendiri dipahami oleh masyarakat sebagai sesuatu sosok yang terpisah, sekalipun di sana sini banyak kiai yang ahli ceramah. Mubalig dikenal masyarakat santri sebagai ahli pidato karena memiliki sedikit bekal ilmu pengetahuan tetapi mahir berbicara di depan umum, sedangkan kiai adalah seorang ahli ilmu agama yang kurang suka membesar-besarkan ‘suara’nya di depan umum. Mereka terbebani oleh “ideologi laku”.

Di mata para kiai atau masyarakat, mubalig itu sendiri adalah sosok yang masih gemar duniawi dan kurang melayani masyarakat. Para mubalig itu dikenal sebagai orang-orang yang sengaja menjual kemampuan orasinya untuk meraup amplop dari para jamaah.

Mereka yang kurang mengetahui perbedaan antara kiai dengan mubalig, biasanya lebih suka dengan gaya mubalig saat menyampaikan pesan dakwahnya. Tetapi kemudian ketika menginjak dewasa, saat-saat kesadaran akan ilmu pengetahuannya lebih penting di banding gaya bicara, mereka lebih menghormati para kiai yang ilmunya tinggi serta memiliki laku moral yang baik.

Sisi lain dari kehidupan muslim kota Bambu Runcing ini tidak lepas dari kemajuan ekonominya. Kekuatan ekonomi inilah yang kemudian membuat dinamika kemajuan di bidang pendidikan. Sebagian para alumni pesantren atau mereka yang sekolah di perguruan tinggi dan pulang di kampung halamannya cukup memberikan torehan intelektual tersendiri bagi masyarakat sekitarnya.

Mereka berada di lapis bawah kiai, terhubung dengan masyarakat muslim bawah.Tetapi tak semua pemuda yang mendapat pendidikan secara baik sampai perguruan tinggi itu pulang ke Parkakan, sebagian merantau di kota-kota besar. (Penggalan dari Novel Shastri: Faiz Manshur)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun