Mohon tunggu...
Perkumpulan Independen Komunitas Temanggungan
Perkumpulan Independen Komunitas Temanggungan Mohon Tunggu... -

PIKATAN adalah organisasi sosial yang didirikan oleh masyarakat sipil Temanggung, dengan badan hukum perkumpulan. PIKATAN bersifat terbuka dan memperlakukan setara setiap pihak dari berbagai ras, suku, agama, warna kulit, aliran politik, gender, latar belakang sosial ekonomi dari seluruh warga masyarakat Temanggung untuk menjadi anggota, pengurus, mitra kerja maupun untuk mengambil peran dalam organisasi ini dalam rangka memajukan tujuan pembentukan http://www.facebook.com/home.php?#!/profile.php?id=100000971503968&ref=profile PIKATAN.http://pikatan.wordpress.com. millist pikatan@googlegroups.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Eksploitasi Kolonial di Temanggung

13 April 2010   20:37 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:49 605
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh Tri Agus Siswowiharjo

Tulisan ini disarikan dari buku karya A.M. Djuliati Suroyo berjudul ”Eksploitasi kolonial Abad XIX – Kerja Wajib di Keresidenan Kedu 1800-1890”. Buku ini lahir dari hasil penelitian pakar sejarah dari Universitas Diponegono Semarang tersebut, kemudian Yayasan untuk Indonesia Yogyakarta pada November 2000 menerbitkan menjadi buku setebal 375 halaman. Penelitian ini sangat menarik karena kita akan mengetahui Kabupaten Temanggung pada era kolonial. Bagaimana nenek moyang kita, terutama para petani, menjalani tanam paksa dan kerja wajib.

Keresidenan Kedu (lama) meliputi Kabupaten Magelang dan Kabupaten Temanggung. Pemilihan karesidenan Kedu karena daerah ini memiliki kekhasan sebagai daerah pertanian sawah yang subur dan merupakan pemukiman penduduk yang telah sangat tua. Sekitar abad XIX pemukiman ini telah telah menjadi menjadi masyarakat pertanian dengan peradaban tinggi, terbukti dari banyaknya candi dan bangunan lain serta sejumlah prasasti yang ditemukan di wilayah ini.

Dari segi geografis, Keresidenan Kedu terletak kurang lebih pada titik tengah pulau Jawa dan merupakan satu-satunya keresidenan yang tidak berbatasan dengan laut. Konon nama ”Kedu” berasal dari kata kedung. Kabupaten Magelang dan Temangung, memang menyerupai sebuah palung besar menanjang dari arah barat laut ke tenggara sampai batas Daerah Istimewa Yogyakarta. Tepian palung merupakan rantai pegunungan dengan beberapa buah gunung berapi yang mengelilinginya. Palung besar tersebut adalah lembah Sungai Prrogo dan Sungai Elo.

Selain anugrah kesuburan, hujan turun hampir sepanjang tahun. Di daerah-daerah yang yang ketinggian sekitar 1.500 seperti distrik Kedu, Jetis, Lempuyangan, Sumowono, dan Menoreh, curah hujan bahkan mencapai 600 m pertahun. Hawa di daerah ini juga sangat sejuk, yaitu sekitar 18-26 derajat Celsius untuk daerah pegunungan dan 22-27 derajat Celsius di daerah rendah. Dengan keadaan alam yang demikian menguntungkan bagi kehidupan manusia, maka tak mengherankan apabila keresidenan dengan luas 1.654,87 km2 dan merupakan keresidenan kedua yang terkecil pada waktu itu, justru merupakan salah satu daerah yang paling padat penduduknya. Para petani tinggal di berkelompok di dukuh-dukuh atau desa-desa yang dikelilingi sawah, tegal atau di tepi jalan besar. Menurut catatan Raffles, penguasa kolonial dari Inggris, pada 1815 di Kedu terdapat 3.879 dukuh atau desa. Dengan jumlah penduduk197.310 orang, kepadatan penduduk sekitar 238 per mil2 (92/km2) nomor dua tertinggi di seluruh Jawa setelah Keresidenan Semarang (108/km2).

Kerja Wajib di Temanggung:

Ada beberapa istilah tentang kerja wajib yang diterapkan oleh pemerintah kolonial. 1) Kerja wajib umum (heerendiensten), terdiri dari berbagai jenis kerja di sektor pekerjaan umum, pelayanan umum, dan penjagaan keamanan; 2) Kerja wajib pancen (pancendiensten), khusus untuk melayani rumah tangga pejabat. Kerja ini sebenarnya termasuk kategori kerja wajib umum; 3) Kerja wajib tanam (cultuurdiensten), meliputi sektor pertanian, terdiri dari berbagai jenis kerja di bidang penanaman, pengolahan dan pengangkutan tanaman wajib pemerintah; 4) Kerja wajib desa (desadiensten, gemeentediensten), meliputi jenis kerja untuk kepentingan kepala desa dan bermacam-macam pekerjaan yang berkaitan dengan kepentingan warga desa dan lingkungan desa pada umumnya.

Dengan berakhirnya perang Napoleon di Eropa, Inggris harus mengembalikan jajahan Belanda yang didudukinya. Pada tahun 1816 Keresidenan Kedu resmi diserahkan kepada Residen Belanda, A.M.T. de Salis yang sekaligus merangkap sebagai Residen Pekalongan. Tidak berbeda dengan kolonial Inggris, Belanda mulai menentukan kebijakan yang memberikan keuntungan bagi negeri induknya.

Pemerintah kemudian menyuruh penduduk menanam kopi di kebun-kebun yang luas sejak 1820. Bisa ditebak, rakyat makin membenci tanaman kopi. Karena itu hasilnya tanaman kopi pemerintah hasilnya jauh lebih jelek dari tanaman kopi manasuka yang tampak subur karena dipelihara dengan baik. Praktik pembayaran pajak kopi juga seringkali merugikan rakyat.

Bersamaan dengan monetisasi yang semakin tinggi berkat perkembangan ekonomi yang menggembirakan, yaitu naiknya harga tembakau, kopi dan gula, pemerintah makin menaikkan pajak rakyat. Beban rakyat Kedu diperkirakan tiga kali lebih berat dibandingkan dengan keresidenan lain.

Keadaan makin memberatkan rakyat menjelang Perang Diponegoro. Pada 1822

panen gagal karena Gunung Merapi meletus. Rakyat membenci orang Belanda yang menjadi penyebab tingginya pajak dan beratnya kerja –wajib. Sasaran kebencian rakyat juga ditujukan kepada orang-orang Cina. Rakyat menganggap Cina pachter bandar sebagai pemeras uang rakyat di pintu gerbang cukai dan di pasar-pasar. Mereka juga sebagai pachter candu, pemilik rumah madat, rumah gadai serta tengkulak tembakau yang memberi hutang dan menyita hasil panen mereka sebagai penebus hutang.

Selama Perang Diponegoro rakyat Kedu makin banyak dikerahkan oleh Belanda bagi kepentingan perang. Untuk transportasi perang, rakyat harus mengurus 200 kuda beban di pos Magelang, 100 kuda di Trayen dan 55 ekor kuda, puluhan pedati dan lembu di pos Medono. Kerja wajib transport yang lain adalah pengankutan bahan pangan untuk tentara dari Bawen ke Magelang yang berjumlah 6.000 orang setiap hari. Kerja wajib lainnya memperbaiki jalan-jalan dan jembatan-jembatan yang dirusak pasukan Diponegoro. Perang Diponegoro berkahir tahun 1830 dengan korban 200.000 orang, dam pemerintah Belanda menanggung hutang 32.000.000 gulden. Sebagian pedesaan Kedu dan Jawa Tengah lainnya mengalami kerusakan hebat.

Kerja-wajib pancen (atau kemit) tugas pokoknya dalah sebagai penjaga malam rumah pejabat dan pesuruh untuk berbagai keperluan. Pada tahun 1848 jumlah pancen untuk Bupati Temangung sebanyak 30 orang. Bupati Temanggung Sumodilogo terang-terangan menyatakan keberatannya atas pengerahan pekerja unuk benteng Ambarawa. Bukan hanya karena pekerjaannya berat, tetapi juga karena banyak dari mereka tidak kembali konon karena mati. Sikap ini dianggap pemerintah pusat sebagai sikap tidak mau mendukung tujuan pemerintah. Rupanya sikap Bupati Temanggung didukung Residen Kedu van Hogendorp dan akhirnya disetujui Gubernur Jenderal Rocchussen dengan mengurangi pengiriman kuli-kuli dari Temangung.

Pada tahun 1869, tanpa meminta persetujuan pemerintah pusat, Asisten Residen I.W. van Rijk mengusulkan pembuatan bendungan di Kali Kuwas, Temanggung Ia langsung memerintahkan 70.000 orang bekerja tanpa imbalan dan biaya pemerintah, termasuk 16.000 orang dari berbagai distrik yang tak menerima manfaat pengairan tersebut. Selain membangun salurang pengairan rakyat Temanggung dipaksa membangun beberapa jembatan kayu jati di atas saluran baru dan membabat kebun-kebun kopi untuk dijadikan sawah. Namun pada tahun itu juga kejahatan van Rijk diketahui pemerintah pusat, sehingga Gubernur Jenderal Peiter Meijer memberhentikannya sebagai pegawai negeri.

Rakyat Temanggung dan Keresidenan Kedu pada umumnya pada abad XIX mengalami penderitaan bertubi-tubi. Setelah lepas dari kolonial Inggris, kembali ke kolonial Belanda. Tanam paksa dan kerja wajib diberlakukan di Temanggung yang subur ditanami kopi dan tembakau. Pada masa Perang Diponegoro derita rakyat makin meningkat. Sejarah adalah cermin kita masal lalu yang sangat bermanfaat untuk perjalanan kita ke depan.

(Penulis Adalah Mantan aktivis PIJAR dan sekarang aktif bergiat di Perkumpulan Independen Komunitas Temanggungan (PIKATAN) Temanggung.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun