Suatu malam ia khusuk berdoa, diiringi rengek tangis anak-anaknya yang tidurnya tak pernah nyenyak karena gigitan nyamuk;
"Tuhan, salah apa aku? kenapa rejeki berlimpah hanya Kau bagikan kepada orang-orang yang berada di lingkar kekuasaan? Selalu saja orang-orang itu bilang; kemiskinan adalah takdir. Benarkah Tuhanku? Kenapa Kau tidak takdirkan diriku sebagai orang kaya? Ah, Tuhanku. Aku tak percaya itu takdirmu, sebab Engkau telah memberikan amanat kepada para khalifahMu, para wakilMu yang duduk di kursi-kursi kekuasaan itu. Aku heran ya Tuhanku, para ulama sudah tak lagi menyerukan amar ma'ruf nahy munkar. Mereka tak berani melawan kekuasaan yang korup dan menindas rakyat. Mereka malah bangga menjadi corong kekuasaan.
Duh Gusti Allah. Empatpuluh tahun aku bekerja dan berdoa, tapi kehidupanku tak kunjung membaik. Sedangkan mereka para politisi itu, hanya modal bacot saat musim Pemilu kini hidup bergelimang harta! Saat kampanye mereka bilang akan membela kami. Sebulan kemudian campakkan kami. Saat pemilu mereka rajin ke desa-desa, kini mereka lebih suka ke kota-kota berbelanja dan berpesta. Aku mohon ya Tuhanku, berilah kutukan kepada para pejabat laknat itu. Oh, Tuhanku...."
Malam semakin larut. Doa-doa berhamburan menyebar ke seluruh penjuru mata angin. Kentong subuh membuka mata Marto. Cerah pagi benar-benar menggairahkan Marto untuk bersiul dan menyanyi. Dan Marto pun pandai memilih lagu yang cocok dipersembahkan untuk para pejabat di negeri ini;
Menthok..menthok/tak kandani/mung rupamu, angisin-isi/mbok yo ojo ngetok/ono kandang wae/enak-enak ngorok, ora nyambut gawe/menthok...menthok.
(naskah ini pernah di muat di rubrik Asal Usil; media cetak Stanplat, edisi II Juli 2006)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H