Mohon tunggu...
Perkumpulan Independen Komunitas Temanggungan
Perkumpulan Independen Komunitas Temanggungan Mohon Tunggu... -

PIKATAN adalah organisasi sosial yang didirikan oleh masyarakat sipil Temanggung, dengan badan hukum perkumpulan. PIKATAN bersifat terbuka dan memperlakukan setara setiap pihak dari berbagai ras, suku, agama, warna kulit, aliran politik, gender, latar belakang sosial ekonomi dari seluruh warga masyarakat Temanggung untuk menjadi anggota, pengurus, mitra kerja maupun untuk mengambil peran dalam organisasi ini dalam rangka memajukan tujuan pembentukan http://www.facebook.com/home.php?#!/profile.php?id=100000971503968&ref=profile PIKATAN.http://pikatan.wordpress.com. millist pikatan@googlegroups.com

Selanjutnya

Tutup

Money

Kilas Balik Petani Tembakau Kedu

4 April 2010   15:17 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:59 680
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

kilas balik petani tembakau Kedu

Dulu Sekarang Sami Mawon

Oleh Faiz Manshur

Kata orang-orang Temanggung, “sekarang”, petani tembakau Temanggung sedang tertimpa problem. Sekarang? Bukankah sejak awal munculnya tanam tembakau, 200 tahun lalu, petani tembakau sudah kenya ng problem?

Dalam buku Eksploitasi Kolonial Abad XIX (Kerja Wajib di Karesidenan Kedu 1800-1890, A. M Djuliati Suroyo mencatat, sejak akhir abad XVIII (18) petani di kawasan Karesidenan Kedu sudah menanam tembakau. Seorang sejarahwan Belanda Jonh Crawfurd menemukan catatan, pada tahun 1811 produksi tembakau rakyat Kedu mencapai 3 juta pon (1,5 juta kg). Oleh pedagang Cina tembakau ini diekspor ke luar Jawa, bahkan sampai ke Penang .

Daun tembakau memang pahit, tapi prospeksnya manis. Karena itu pemerintah Hindia-Belanda di Kedu pun berusaha menanam tembakau dengan bibit luar negeri untuk kepentingan ekspor Eropa, yakni jenis Havana dan Maryland .

Majalah De Residentie (April 1857) menurunkan berita, pada tahun 1831 dan 1832 pemerintah mengadakan percobaan penanaman di Distrik Jetis dan Probolinggo (Muntilan sekarang). Tahun 1833 dimulai tanam paksa tembakau di Kedu seluas 55 bahu dengan cara memberi bibit cuma-cuma kepada petani dan kelak mereka menjualnya ke pemerintah.

Sampai tahun 1835 petani terus merugi karena tanaman tidak begitu berhasil. Kemungkinan disebabkan karena petani kurang terbiasa dengan tanaman jenis baru ini,-disamping akibat musim kemarau panjang yang merusak tembakau. Akibat kegagalan ini menurut Djuliati, pemerintah pada tahun 1836 menggunakan cara lain, yakni dengan memberikan sponsor kepada pengusaha Belanda H.I Jonkers, yang berminat mengadakan kontrak penanaman dan pembelian tembakau dengan petani.

Dalam kontrak tersebut pemerintah memberikan uang muka kepada petani untuk biaya penananam. Saat musim panen tiba, Jonkers akan membayar harga tembakau yang dihasilkan petani dengan target 12.000 pohon per-bahu,-dengan harga 40 sen setiap pon. Uang muka dari pemerintah dikembalikan dalam bentuk tembakau.

Penanaman yang dilakukan di Muntilan dan Temanggung semula membawa harapan baik bagi petani, karena apabila berhasil mereka akan mendapatkan f 50, per bahu untuk tembakau kualitas rendah dan f 90,- untuk kualitas terbaik. Harga ini hampir seimbang dengan harga tebasan per bahu yaitu f 85,-. Tahun berikutnya musibah datang. Panen gagal karena dampak letusan abu Gunung Merapi.

Para petani mulai resah karena Jonkers tetap menuntut dipenuhinya target 12.000 pohon untuk pembayaran penuh yang diharapkan sejak awal. Untuk mengatasi keresahan pemerintah mengganti Jonkers dengan pengusaha lain, yaitu Van der Sluis.

Namun demikian petani tetap saja tidak mampu memenuhi target tinggi itu. Pada tahun 1832 tersebut untuk 1 bahu tembakau paling tinggi hanya memuat 6.500 batang dengan hasil antara 210 sampai 475 pon tembakau kering. Keadaan ini mengakibatkan hubungan pemerintah dengan pengusaha dan petani tembakau runyam. Konflik berkepanjangan membuat semua serba tidak nyaman. Sejak tahun 1841 pemerintah tidak pernah lagi mau mengurus tanaman yang beresiko tinggi karena rentan terhdap cuaca dan musim ini.

Miskin modal dan rentenir

Masa-masa selanjutnya petani tidak lagi mendapat modal dari pemerintah. Lalu, kepada siapa petani meminta modal?

Dalam buku Djuliati tercatat, semakin meningkatnya kebutuhan pabrik rokok kepada tembakau, semakin banyak petani yang bergantung pada Cina. Banyak di antara pemodal Cina yang tidak hanya memberi persekot untuk modal penanam atau memberi pinjaman uang pasa masa paceklik, tetapi menjadi pemeras petani dengan pinjaman berbunga tinggi. Keadaan ini terutama terjadi di Kabupaten Temanggung, khususnya Distrik Jetis dan Kedu, sebagai daerah tembakau rakyat terbesar.

Tidak kurang dari 200 hingga 300 pedagang Cina dari Pekalongan dan Semarang datang ke desa-desa pada waktu panen tembakau. Mereka sebelumnya memberi pinjaman untuk penanam modal sebanyak beberapa ratus gulden dengan bunga 50% setahun. Majalah Exhibitum (3 Juni 1868:No 46) mencatat, hutang petani dengan demikian makin membengkak sehingga tidak mungkin melunasinya.

Dengan cara ini si pedagang memaksa petani menjual tembakau dengan harga rendah karena diancam akan dibawa ke pengadilan apabila petani menolak. Para bekel dan pejabat tidak dapat bertindak tegas terhadap praktek pemerasan ini, karena mereka sendiri banyak turut berkecimpung dalam penanam atau penjualan tembakau, dan banyak pula berhutang kepada Cina. Misalnya, pemeras Cina terbesar bernama Ong Indit dari Pekalongan, memberi hutang kepada petani maupun pejabat (dari bekel hingga bupati) sebanyak f95.438,50.

Pada saat itu, pemerintah dihadapkan pada masalah yang sulit. Apabila Cina dilarang masuk ke Kedu untuk membeli tembakau, petani akan kehilangan pendapatan sebanyak satu juta gulden setahun. Masalah ini dilaporkan kepada Gubernur Jendral Meijer. Sayangnya, Gubernur hanya memerintahkan Residen Kedu untuk memberi peringatan keras kepada para pedagang agar tidak melakukan pemerasan, dengan ancaman larangan memasuki Kedu.

***

Jelaslah sejarah itu ingin mengatakan bahwa berperan atau tidaknya pemerintah di dunia pertembakauan tetap saja tidak menolong nasib petani. Kehidupan petani tembakau mungkin saja suatu ketika pernah nikmat dan mulai. Tapi di balik kisah bahagia itu harus dinyatakan bahwa nasib petani tembakau sepanjang sejarah bak benang kusut. Mulai dari modal, penjualan, penimbangan hingga konsumsi tidak pernah lepas dari problematika.

Kenapa para petani masih juga bertanam tembakau sekalipun terus didera problem dari musim ke musim? Benarkah tembakau adalah komoditi paling menguntungkan sehingga petani malas beranjak bercocok tanam ke tanaman lain?

(Naskah ini pernah dimuat di media cetak Stanplat Temanggung, edisi 15 Bulan September 2007

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun