Lima tahun lalu saya pernah mencintainya, gadis cantik dari sungai Kamundan. Masyarakat kampung suku Miyah Tambrauw biasa memanggilnya Maku Shinta. Maku dalam bahasa adat suku Miyah adalah perempuan, sedangkan Yaku adalah Lelaki.
Shinta terlihat begitu polos dan sederhana, senyum indahnya selalu saja membuat mata tak ingin beralih. Saat itu ia telah sembilan belas tahun.
Saya bertemu dengan Shinta ketika sedang bertugas di kampung Siakwa. Kampung nan indah dengan panorama alamnya yang menjejak di kepala. Awalnya saya mengira bahwa pedalaman Tambrauw adalah hutan rimba yang begitu ganas, ternyata terbalik.
Hari pertama di Siakwa, masyarakat begitu ramah menyambut’ku, mereka sungguh baik dan santun. Keesokan harinya, saya berinisiatif untuk menjelajahi pinggiran kampung tersebut. Terkejut sambil mengagungkan ciptaan Tuhan, disini layaknya bongkahan surga yang hidup. Didalam hutan yang rimba itu terdapat air terjun yang mereka (masyarakat suku setempat) menamainya Ayandrat. Ayandrat berarti air yang jatuh/air terjun. Selain Ayandrat, panorama sungai Kamundan juga mengalihkan pikirku tentang hutan rimba yang ganas itu. Saya amat kagum dan sepertinya betah disini.
Hari – hari saya berusaha untuk menyesuaikan diri dengan gaya mereka. Cara mereka bertegur sapa, cara mereka mengasuh bayi, cara mereka berpendapat, bahkan ketika mereka marah. Semua itu saya lalui, walau sedikit rumit tetapi saya menikmati perjalan yang amat jarang di bumi cendawasih ini.
Saya adalah seorang dokter muda yang diperbantukan sementara di kampung ini, pengalaman bertugas disini banyak sekali menyimpan kisah indah. Sederet kisah bersama masyarakat kampung Siakwa ternyata bukan saja soal alam yang indah tetapi disini, saya telah patah hati kepada gadis kota alla Luna Maya dan sejenisnya.
Disini kisah itu bermula, pagi itu, Shinta yang membiarkan rambut coklatnya terurai, bergegas cepat menuju gereja Siakwa, sorot tatapnya membuat hatiku terpanah, mati dan kaku.
Tetapi, pandangan di hari pertama tak membekas di matanya. Sebulan kemudian, kisah itu berlanjut. Entah apa dan bagaimana perasaan saya saat itu... Entah’lah.
Pertemuan ini di mulai lagi ketika tak sengaja saya sedang menyebrangi sungai Kamundan, saat itu cuaca mulai sore. Saya baru saja pulang dari pos kesehatan, harus menyebrangi jembatan rotan yang tingginya kurang lebih sembilan meter dari permukaan sungai Kamundan. Jembatan itu tebuat dari tali rotan hutan. Beberapa tali rotan hutan dililit kuat membentuk sambungan panjang lalu dijadikan alat penyebrangan.
Saya yang sedang berjalan diatas jembatan rotan itu, sepertinya tidak memiliki posisi tubuh yang seimbang ; satu, dua langkah telah saya hentakkan. Kini saya telah berada di tengah jembatan rotan tersebut, karena gugup bercampur lelah, akhirnya jembatan rotan itu bergerak tak tentu, alhasil saya terjatuh.
Saya terjatuh bebas ke dasar sungai Kamundan, pikiranpun kacau balau. Lalu, saya mencoba untuk memunculkan kepala pada permukaan sungai itu. Arus sungainya deras semakin menghanyutkan, tetapi dengan tekad selamat, saya berteriak nyaring meminta pertolongan “Tolong, tolong... toloong”, sekali lagi saya berteriak “Tolong !”, namun belum ada sahutan yang membalas teriak itu. Lama kemudiaan, sepertinya ada seseorang yang menjawab teriak’ku. Nampak gadis itu. Shinta yang sedang bermain di tepi sungai Kamundan rupanya sedang mencari asal suaraku, setelah mengetahui bahwa ada tenggelam, tanpa pikir panjang, ia langsung saja bergegas melompat ke sungai hendak membantu saya berenang ke tepi.