Raja Yang Tidak Mengenal Kaisar
Seorang raja di kerajaan timur penasaran dan ingin sekali mengetahui secara langsung bagaimana keadaan kerajaan yang dipimpin oleh seorang kaisar yang termasyhur ke seluruh dunia di wilayah barat. Konon katanya, kerajaan yang dipimpin oleh kaisar itu rakyatnya makmur-makmur dan kehidupan mereka sangat sejahtera. Ia ingin membuktikan sendiri cerita itu dengan mata kepala sendiri dan berharap ada pelajaran yang bisa didapat dari negeri itu. Maka, tanpa didampingi oleh pengawal kerajaan ia pergi sendiri menyamar dengan menunggangi seekor kuda.
Setelah perjalanan yang lumayan memakan waktu hingga berhari-hari lamanya, tibalah ia di ibukota kerajaan sang kaisar. Diputuskannya untuk mengunjungi istana kaisar. Sepanjang perjalanan dia terkagum-kagum demi melihat keadaan kota itu. Wajah-wajah penduduk begitu bahagia dan kehidupannya sangat makmur. Lingkungan kota tertata rapih, bersih dan sangat menyenangkan untuk ditinggali. Sehingga walau ia melakukan perjalanan seharian tak dirasakan olehnya kecapaian.
“Rakyat dan keadaan kota ini begitu sejahtera, apalagi kaisarnya, pasti istananya terbuat dari emas dan sangat besar sekali,” gumamnya di hati.
Setelah beberapa lamanya mengitari kota ia terheran-heran, tidak didapatinya istana sang kaisar yang dituju. Namun, dengan penuh kesabaran ia kembali berkeliling kota mencoba mencari istana sang kaisar sekali lagi. Sayang, hingga ia kembali ke tempat tadi datang tidak juga ditemukannya sebuah istana. Iapun memutuskan untuk bertanya kepada seorang penduduk. Didapatnya informasi bahwa letaknya istana ada di dekat masjid di pusat kota.
Bergegas ia menuju pusat kota, hingga akhirnya ia melihat sebuah masjid besar, namun tidak didapatinya juga sebuah istana. Ia pun kembali berputar-putar mencoba mencari istana tersebut. Setelah lama tidak menemukannya, akhirnya ia berhenti di bawah sebuah pohon untuk istirahat.
Selang berapa waktu dia berteduh, dilihatnya ada seorang penduduk lewat dengan memikul kayu bakar di hadapannya, tampak keringat mengucur deras membahasi baju orang itu. Walaupun baju yang dipakai begitu lusuh namun pancaran cahaya muka orang itu membuat sang raja takjub.
“Kisanak, tolong berhenti sejenak, saya mau bertanya sesuatu,” ucap sang raja kepada orang lewat itu.
“Apakah gerangan yang bisa saya bantu, Tuan?” tanya orang itu sambil menurunkan kayu bakar yang dipanggul dan meletakkannya di atas tanah sambil tersenyum ramah.
“Saya sudah dua kali mengelilingi kota ini demi mencari letaknya istana sang kaisar, namun saya tidak dapat menemukannya juga, bisakah Kisanak menunjukkan kepada saya dimanakah letak istana kaisar itu sebenarnya,” jawab sang raja.
“Ooh, Tuan sedang mencari istana kaisar rupanya, nanti saya akan tunjukkan istana tersebut. Namun sebelum itu, saya undang Tuan untuk mampir ke rumah kami yang butut untuk sekedar istirahat. Tampaknya Tuan habis melakukan perjalanan jauh, tentunya sangat capek sekali,” ucap orang itu masih dengan senyum ramahnya.
“Waah, dengan senang hati saya akan ikut denganmu Kisanak, kebetulan kuda saya kehausan,” ucap sang raja dengan penuh antusias.
Akhirnya mereka berjalan bersama menuju rumahnya orang itu. Sang raja dengan kudanya, sedang orang itu berjalan kaki sambil memanggul kayu bakar. Tiba di depan sebuah rumah yang kecil dan sederhana namun asri, orang itu berhenti dan menjatukan kayu bakar di dekat pintu dapur.
“Isteriku, kita kedatangan tamu, cepat kau siapkan minuman dan makanan yang terbaik untuk tamu kita,” teriak orang itu ditujukan kepada penghuni rumah.
“Baik kakanda, akan aku siapkan,” terdengar sahutan dari dalam rumah, sepertinya suara isteri orang tersebut.
“Mari Tuan, silahkan masuk ke gubuk saya yang butut ini. Kudanya biar nanti saya berikan minuman dan menambatkannya di belakang,” ucap orang itu sambil membuka pintu rumahnya. Sang rajapun menurut, ia memasuki rumah orang itu. Selesai mempersilahkan sang raja duduk di kursi makan, orang itu keluar dan membawa kuda sang raja ke belakang dapur. Ditambatkannya kuda pada pagar, kemudian ia membawa air di atas wadah dan memberikannya kepada kuda sang raja. Beres itu iapun kembali ke dalam rumah.
Sambil menunggu kedatangan makanan, sang raja dan orang tersebut duduk di meja makan sambil ngobrol. Tak berselang lama, terdengar suara dari dapur.
“Suamiku, makanan dan minuman sudah siap,” sepertinya isteri orang itu yang berkata.
“Saya tinggal dulu sebentar ke dapur untuk mengambil makanan dan minumannya, Tuan,” pamit orang itu kepada sang raja.
“Silahkan,” jawab sang raja dengan sedikit keheranan, kenapa isterinya orang itu tidak masuk dan membawa makanan ke dalam saja, pikirnya. Namun pikiran itu hanya sebentar terlintas di pikirannya demi melihat orang itu datang membawa makanan yang masih mengepul beserta minumannya. Sang raja begitu tergiur melihat makanan itu, sepertinya nikmat sekali pikirnya.
“Silahkan dimakan, Tuan,” ucap orang itu sambil menyodorkan piring kepada sang raja setelah semua hidangan tersimpan di meja.
“Terimakasih. Namun kenapa piringnya hanya satu Kisanak. Apakah Kisanak tidak makan atau bagaimana?” tanya sang raja keheranan sambil menerima piring yang disodorkan, kemudian dia mengambil makanan dan meletakkannya ke atas piring.
“Kebetulan saya sedang puasa. Silahkan Tuan makan sepuasnya, jangan sungkan-sungkan oleh keadaan saya ini,” jawabnya sambil menuangkan minuman kedalam gelas dan menyodorkannya kepada sang raja.
Mendengar orang itu berkata demikian sang rajapun tak sungkan untuk makan sendirian. Nampak dia menikmati setiap suapannya seakan tidak pernah merasakan makanan ini sebelumnya. Entah kenapa dia merasa begitu menikmati makanan itu begitu pula dengan minumannya.
“Makanan yang lezat, aku haturkan banyak terimakasih atas jamuanmu. Sekarang bisakah Kisanak tunjukkan kepada saya dimana letaknya istana sang kaisar, sekalian saya pamit dari sini?” tanya sang raja setelah beres makan.
“Baiklah, mari akan saya tunjukkan istana itu untuk Tuan,” ucap orang tersebut sambil melangkah keluar diikuti oleh sang raja. Tiba diluar orang itu mengambil kuda yang tadi ditambatkan dan menyerahkannya kepada sang raja.
“Tuan temui masjid di ujung sana. Persis di samping dinding masjid itulah letak istana sang kaisar,” ucap orang itu sambil menyerahkan tali kekang kuda kepada sang raja, sambil tangan kanannya menunjuk ke kejauhan.
"Masjid besar yang di ujung sana?" tanya sang Raja dengan sedikit meragu. Ia merasa tadi sudah datang ke situ, namun tidak nampak satupun istana.
"Iyah Tuan, persis di sampingnya," jawab orang itu.
“Terimakasih Kisanak atas petunjuknya. Ini ada sedikit rezeki dari saya sebagai rasa terimakasih kepada kisanak yang telah berbaik hati menjamu saya dan menunjukkan jalan ke istana kaisar,” ucap sang raja sambil menyodorkan sebuah kantung.
“Apa itu isinya Tuan?” tanya orang itu penasaran.
“Isinya beberapa keping emas, cukup untuk membeli kuda dan memperbaiki rumah Kisanak,” jawab sang raja.
“Terimakasih atas kebaikan Tuan, namun sepertinya saat ini kami tidak membutuhkannya,” sebuah jawaban yang membuat sang raja melengak. Seumur hidup baru sekarang ia menemukan orang yang seperti ini.
“Janganlah kau tolak pemberian ini, aku ikhlas memberikannya untukmu Kisanak,” ucap sang raja dengan nada memaksa.
“Maaf Tuan, janganlah kau hilangkan keikhlasanku menjamumu dengan memaksaku untuk menerima emas itu,” jawab orang itu yang membuat sang raja tak berdaya, akhirnya dimasukkannya lagi kantung emas itu kedalam jubah. Percuma memaksa orang ini, pikir sang raja.
Akhirnya setelah berpamit iapun melangkah ke masjid yang ditunjukkan oleh orang itu. Tiba di depan masjid ia melangkahkan kudanya ke samping masjid. Ia melihat bangunan yang ditunjukkan oleh orang tadi. Sebuah bangunan yang kecil dan tidak menampakkan sebuah istana layaknya.
“Sayang orang sebaik itu linglung atau sedikit gila. Menunjukkan sebuah bangunan kecil dan sederhana ini sebagai istana sang kaisar,” gumamnya di hati sambil menghela napas.
Ketika dilihatnya ada seorang tua yang sedang duduk di atas kursi sambil bersender ke tembok, iapun bergegas menghampiri orang itu.
“Orang tua, bisakah kau tunjukkan kepadaku dimana istana sang kaisar. Sudah dua orang yang kutanya, namun tak ada satupun jawaban yang memuaskan. Bahkan menurutku mereka memberi jawaban yang sedikit gila,” ucap sang raja kepada orang tua itu.
“Maafkan saudara kami yang tidak memberikan jawaban yang memuaskan kepada Tuan. Bisakah Tuan ceritakan kepadaku apa yang Tuan cari dan siapa orang yang telah membuat Tuan tidak senang. Nanti aku akan menegur mereka,” ucap orang tua itu.
“Yang sedang saya cari adalah istana kaisar. Sedangkan yang telah memberi petunjuk yang sedikit gila yaitu seseorang di pintu kota dan orang yang tinggal di rumah sebelah sana,” jawab sang raja sambil menunjuk ke rumah orang yang telah menjamunya tadi dikejauhan.
“Hm… dan mereka menunjukkan kemana?” tanya orang tua itu.
“Yang mereka tunjukkan adalah bangunan ini,” jawab sang raja sambil menunjuk ke bangunan di samping masjid dengan jarinya.
“Mereka tidak gila atau sedang linglung, Tuan. Memang istana kaisar kami adalah bangunan yang sedang anda tunjuk saat ini,” ucap orang itu.
“Apakah engkau juga gila seperti mereka, orang tua. Mana mungkin istana sang kaisar yang menguasai beberapa kerajaan besar dan ditakuti oleh kawan maupun lawan, seperti ini bentuknya?” teriak sang raja sedikit kesal merasa dipermainkan.
“Tuan boleh berkata gila kepada kami, namun aku akan bertanya sesuatu kepada Tuan, maukah engkau menjawabnya?” ucap orang tua itu dengan tenang.
“Apa itu orang tua, katakan saja,” jawab sang raja sedikit ketus.
“Manakah yang gila, seorang raja yang memakai istana untuk perkawinan anaknya tanpa sepeserpun ia membayar sewa istana, padahal istana itu milik rakyatnya. Dibandingkan dengan seorang kaisar yang memadamkan pelita ketika anaknya datang ke meja kerjanya. Sebelum memadamkan pelita itu sang kaisar bertanya kepada anaknya “urusan negara atau urusan pribadi” yang pertanyaan itu dijawab oleh anaknya “urusan pribadi”. Secepat kilat sang kaisar mematikan pelita sambil berkata “urusan pribadi tidak boleh menggunakan fasilitas negara”. Coba engkau jawab Tuan, yang manakah yang lebih gila?” tanya orang itu sambil memandang kepada sang raja yang terhenyak mendapat pertanyaan seperti itu.
“Ada lagi pertanyaan yang lainnya, orang tua ?” sang raja balik bertanya mencoba menyembunyikan kekagumannya.
“Adakah yang lebih gila ketika rajanya bernegah-megahan. Sedangkan rakyatnya miskin, kelaparan dan tidak tahu apa yang harus dimakan. Ataukah seorang kaisar yang kekayaannya hanyalah rumah seperti kebanyakan penduduk di sini. Yang mencari kayu bakar sendiri, dan bekerja di istana yang sedang kita lihat saat ini?”
“Masih adakah pertanyaan yang lain orang tua?” tambah takjub sang raja mendapat pertanyaan tersebut.
“Ada, Tuan. Tahukah engkau siapa penghuni rumah itu yang telah menunjukkan engkau ke sini?”
“Aku tidak tahu. Siapakah dia orang tua?” jawab sang raja penasaran.
“Dialah sang kaisar yang sedang anda cari istananya dan yang bekerja di istana itu.”
Terkejutlah sang raja mendengar kenyataan ini, jadi orang yang telah memberikan makanan dan minuman kepadanya tadi adalah seorang kaisar. Orang yang telah ditawarkan beberapa keping emas yang mana jika sang kaisar mau, mungkin dialah yang menawarkan emas tersebut kepada dirinya. Ada perasaan malu, kagum dan takjub dengan kenyataan ini di hatinya.
“Kalau begitu, akulah yang gila orang tua. Maafkan kesalahanku, aku mohon pamit,” ucap sang raja sambil tertunduk meninggalkan orang tua itu. Kemudian ia memutuskan untuk pulang dari negeri itu, negeri yang telah membuat dirinya merasa begitu kerdil dan malu.
“Negeri hebat dan berisi orang-orang yang hebat. Aku sang raja yang tidak mengenal kaisar” gumamnya di hati.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H