Aku sedang ingin berjalan di jalan setapak ini. Ingin kunikmati keterasingan hidup. Tatkala ada yang menegurku, agar langkah ini tidak harus sesuai dengan keinginanku, aku marah. Kukatakan, ini seni dan filsapat hidup, mengapa kalian menghalangi jalanku.
Jika kalian punya pendirian yang teguh, coba cari jalan lain untuk menghalangi jalanku. Maka kita saling debat memperebutkan keakuan kita. Kau susun baris demi baris alasan pembenaran, akupun juga. Hingga tak pernah ada titik temu. Akhirnya aku mencoba jalan terus dan engkaupun juga.
Akulah si benar, tak perduli engkaupun benar juga.
Dalam otakku kebenaran ini harus bisa kutunjukkan padamu. Biarlah engkau melihat bahwa aku ini si benar. Hingga ketika kau dan aku berseteru dan aku dalam posisi kalah. Ego ini meradang. Kenapa kau tidak mau mengerti tentang aku?
Kamulah yang harus membaca pikiranku, bukan aku yang harus membaca pikiranmu. Kejadian ini terus berulang, ketika musuhku sudah menyerah, timbul musuh baru. Mati satu tumbuh seribu. Ah kalian orang bodoh, mengapa tak bisa memahami jalan pikiranku. Jalanku ini adalah jalan kebeneran. Sedang jalanmu adalah jalan terselubung.
Kamu harus membuka selubung itu untuk memahami jalan kebenaranku.
Ah kaupun tak faham, masih terus mendebat pikiranku. Jika kamu masih tidak memahami pola pikirku, pergilah dari hadapanku. Buka wawasanmu dan daya pikirmu sebelum kamu berdebat denganku. Kamu masih terdoktrin oleh guru-guru kalian yang ortodoks. Tanggalkan itu dahulu, mereka hanya pandai membahas kulitnya saja. Sedang aku si pemikir hakikat, engkau pemikir syariat.
Sepertinya kita tidak dalam level yang sama.
Hingga ketika, seorang berkata padaku
"Apakah luasnya pemikiranmu yang akan membawa kebahagiaan?'
Akupun terdiam.
"Kalian katakan bahwa pemikiranmu itu mencerahkan. Apakah yang mencerahkannya, mana bentuk pencerahannya? Pencerahan untuk siapa? Apakah untuk kalian-kalian pemikir? Atau untuk kami-kami yang ada dibalik gubuk bambu. Jangan mengakui sesuatu untuk pembenaran keakuanmu." Diapun melanjutkan perkataannya.
"Ingat, ada seorang badui yang bertanya. Jalan manakah yang harus kutempuh agar aku bahagia?"
"Lakukanlah perintah yang lima itu, maka kau akan bahagia", ujar Sang Penyampai.
"Aku percaya kepadamu. Aku tak akan mengurangi dan melebihinya", ucap si Badui.
"Ya, kamu akan bahagia. Pasti"
Adakah keakuanmu masih bermain-main ketika melihat kisah ini wahai Sang Aku. Jika kamu masih bermain-main dengan keakuanmu, berarti kau adalah Sang Aku. Jubah yang tidak patut kau sandangkan untuk hati, pikiran dan nafsumu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H