"Abis Abang ngebetein"
"Ya udah deh, maafin abang yah. Emang kamu serius mau dianterin sama Abang?"
"Aku sih terserah Abang. Abangnya mau ngga nganterin Davina?"
"Gimana yah, abang pikir-pikir dulu deh", ucap saya pura-pura jual mahal. Padahal mah di hati, bermacam-macam gelombang saling bertubrukan. Ada gelombang bahagia, gelombang rasa tak percaya dan yang aneh kok gelombang radio ikut pula, pokoknya campur aduk.
"Mau ngga Abang nganterin aku", ucapnya sewot.
"Iyah, iyah Abang mau" jawab saya tergagap.
"Ya udah besok jemput di rumah yah"
"Iyah"
"Kalo gitu, Davina pergi dulu. Jangan sampai telat jemputnya yah, dadah Abang",
"Dadah Davina, hati-hati di jalan yah"
"Iyah", jawabnya sambil pergi meninggalkan saya yang masih terpaku di depan pagar. Tak henti-hentinya mata ini menatap kepergian dia, hingga akhirnya bayangan gadis itu menghilang di balik gang di ujung sana. Meninggalkan rasa sesal di hati, kenapa obrolan itu hanya terjadi di dalam pikiran saya saja.