Hari itu, dengan semangat tinggi saya berangkat menuju Sangga Buana, sendirian. Gila yah, ke gunung yang angker berangkat sendirian. Tapi itulah jiwa muda, jiwa yang terkadang menampilkan ego dulu, logika belakangan.
Sampai kaki gunung hari beranjak sore, saya urungkan niat untuk naik sore itu juga. Abisnya takut sih. Saya lihat ke sekeliling, mencari tempat untuk bermalam. Celingak celinguk, hingga akhirnya mata tertumbuk sama saung di tengah-tengah sawah. Nah ini dia tempat yang saya cari, pikirku.
Keadaan saung kosong, lumayan nyaman untuk bermalam. Selain ada bale-balenya, kebetulan juga ada panci untuk memasak. Rezeki nomplok nih. Beras yang saya bawa di ransel saya keluarkan bersama ikan asin sebagai lauk.
Mencari kayu bakar dan air untuk menanak nasi tidaklah susah, banyak ranting-ranting berserakan dan air mengalir dengan deras di selokan, tinggal ciduk. Beres mencari kayu bakar dan air, saya masak nasi dan membakar ikan asin. Hebat yah gue, udah mah cowok idaman, bisa masak pula hahaha…narsis.
Malam bergerak turun, menutupi lembah tempat saya bermalam. Bersamaan dengan itu, nasi dan ikan asin sudah matang. Wuiih wanginya ikan asin itu mak… yang bikin kelojotan cacing-cacing di perut. Tanpa babibu.. saya hajar hidangan mewah itu. Selamat makan….
Abis makan, perut kenyang. Kalo abis minum, perut kembung hehe.. ngerokok dong, biar tambah sip acaranya. Dan secangkir kopi tak lupa saya hidangkan biar lebih menggigit suasana saat itu. Pokoknya mah hidupnya kayak hidup sendirian, tapi nikmatnya kayak hidup berame-rame.
Tiba-tiba… jueger… jleger… suara tubrukan benda berkali-kali memenuhi lembah, gaungnya terpantul berulang-ulang. Breeeeng….bulu kuduk merinding… alamak… apa ini. Ternyata petualang hebat seperti saya, ini masih punya rasa takut… haha cemen tapi sombong.
Biasanya ketakutan yang berulang-ulang dan tidak ada jalan keluarnya, bisa menimbulkan keberanian. Itu pula yang terjadi dengan saya. Mati…mati deh pikir saya saat itu.
Saya ambil kayu yang masih menyala, berjaga-jaga kalau ada sesuatu mendatangi saung tempat saya berlindung. Namun tidak ada satu mahlukpun yang mendatangi, tapi suara tubrukan masih terus terdengar, bahkan begitu dekat.
Lama-lama saya penasaran. Dengan memberanikan diri, saya keluar membawa kayu yang masih menyala. Di luar saya celingak-celinguk ke arah sumber suara. Dan saya lihat ada pohon pisang yang sedang bergoyang-goyang, seperti sedang ditabrak untuk dirubuhkan.
Kayu bakar semakin erat saya pegang dan bersiap-siap dari segala kemungkinan. Tak lama kemudian suara pohon tumbang terdengar. Ternyata pohon pisang itu tumbang. Sepi…..setelahnya, tak ada lagi suara tumbukan. Saat itu adalah saat yang mencekam bagi saya. Perasaan takut terhadap mahluk yang menabrak pisang itu akan datang mendatangi.
Namun sampai lama, saya bersiap-siap tak ada satupun mahluk yang saya takuti datang. Kayaknya bagong [babi hutan] nih, pikir saya. Sialan…... Bikin takut aja. Bilang kek kalo gue bagong yang lagi cari makan hehe…
Bersambung ke....
http://wisata.kompasiana.com/jalan-jalan/2011/01/28/kisah-mistis-sangga-buana-episode-terakhir/
Cerita Pertama, Perjalanan ke Gunung Sangga Buana bisa diklik disini.
http://wisata.kompasiana.com/jalan-jalan/2011/01/19/gunung-sangga-buana-yang-penuh-mistis/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H