Mohon tunggu...
peringatan zendrato
peringatan zendrato Mohon Tunggu... Freelancer - Seorang penulis apa yang dirasa perlu ditulis

Suka Kesasar, Asal ada Teman

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sebuah Catatan Perjalanan Malam, Di Lampu Merah

30 April 2019   18:49 Diperbarui: 30 April 2019   18:55 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Di Kota Kasih ini, galibnya warga kota menyebut Lampu Lalulintas (traffic light) sebagai lampu merah. Padahal pada lampu lalulintas itu bukan hanya lampu berwarna merah saja yang ada, lampu berwarna kuning dan lampu berwarna hijau juga ada. 

Tetapi kenapa jarang ada orang yang menyebut lampu lalulintas itu dengan sebutan lampu kuning, atau lampu hijau? Dan kenapa ketika seseorang mengatakan "... dekat lampu merah ...", di pikiran kita seolah sudah tergambarkan lampu kuning, dan lampu hijau? Mungkinkah karena lampu merah lebih menarik perhatian pengendara. Menarik perhatian karena larangan yang dilontarkan oleh warna lampu ini. Jika dilanggar, maka kecelakaan terjadilah.

Tetapi kita jangan menghabiskan waktu membahas ini. lebih baik bercerita ada apa sebenarnya di lampu lalulintas yang galibnya disebut lampu merah itu?

Penulis memperkirakan lamanya lampu merah hingga nantinya berganti lampu hijau itu membutuhkan waktu antara 1-2 menit. Dalam waktu itu, semua pengendara akan berhenti. Pada saat berhenti, semua pengendara jarang atau tidak pernah saling berkomunikasi satu sama lain. Kecuali, pada saat itu disengaja atau tidak disengaja bersama atau bertemu teman/kenalan. Selebihnya ada yang sempat memainkan telpon genggam, mendengarkan music lewat alat pendengar music (earphone).

Setelah lampu lalulintas berpindah warna ke lampu hijau, semua pengendara meneruskan perjalanan dan melaju kencang. Yang tadinya memainkan telepon genggam segera menyimpan telepon genggamnya. Yang tadinya berbincang dengan temannya terpaksa menghentikan pembicaraan dan melanjutkan perjalanan mereka, masing-masing. Namun semua meninggalkan cerita yang harusnya mereka tau ada di lampu merah itu.

Cerita yang Harus Diperhatikan

Apa cerita itu? Anak-anak remaja (usia 6-10 tahun) di situ sampai jam 11 malam menjual Koran. Sering penulis lihat para remaja ini di lampu merah dekat kantor gubernur, atau  dekat kantor bank Indonesia, atau dekat transmart.

Penulis sering membeli bubur kacang hijau di dekat lampu merah itu. Penulis tidak pernah alpa bertemu dengan salah seorang dari mereka. Kala itu bertepatan dengan pentas seni teater "tungku haram 3" di halaman kantor DPRD NTT. Seorang anak perempuan remaja memeluk erat koran jualannya agar koran tidak jatuh. Dia menghampiri saya dan memohon dengan nada lesu "kaka, beli Koran do kaka...". Waktu saat itu menunjukan jam 9 malam.

Saya membeli satu Koran darinya. Saya bertanya banyak hal tentang kehidupan sehari-harinya. Dia memiliki ayah dan ibu. Pekerjaan ayah dan ibunya sebagai pemulung sampah. 

Dia sekarang masih bersekolah kelas 3 SD. Uang hasil jualan Koran digunakan untuk keperluan sekolah. Dia juga mempunyai 4 saudara kandung yang juga sama-sama menjual Koran. Banyak teman seumurannya menjual Koran. Sehingga, perjalanan pulang dan pergi menjual Koran, tidak terasa sepi karena bermain dengan teman-teman.

Perbincangan kami pun berakhir. Dia pergi melanjutkan pekerjaannya. Saya pun pergi menyaksikan pentas teater "tungku haram 3" itu. Ternyata kegiatan ini mengangkat tema tentang stop human trafficking (hentikan perdagangan orang). 

Dan kebanyakan yang tampil di sana adalah anak-anak perempuan sekitar 16-19 tahun umur mereka. Mereka berteriak dan menangis, bersedih karena perdagangan orang masih ada di tanah NTT. Sayangnya yang turut menyaksikan pentas seni itu tidak sampai seribu orang. Padahal warga kota kupang itu kurang lebih 500-an ribu jiwa banyaknya.

Pentas seni ini pun selesai sekira jam 11 malam. Penulis segera pulang ke rumah dan melewati lampu merah dekat tiga gedung mewah itu. Saya berhenti karena mendapat lampu warna merah. 

Seperti biasa, anak-anak itu menawarkan Koran kepada pengendara yang sedang berhenti. Selama 1-2 menit itu Koran mereka tidak terjual satu pun. Saya sedih melihat anak-anak remaja ini. Dengan nada suara yang sangat lesu mereka memohon agar koran mereka dibeli. Kesedihan hati ini pun seakan menjadi-jadi ketika melihat kaca mobil tak dibuka bagi mereka. Tegur sapa serta senyum pun tak didapati dari mereka yang menunggu pergantian lampu warna merah ke warna hijau itu. Lampu merah pun berganti ke lampu hijau, pengendara meninggalkan mereka. Saya pun terpaksa ikut meninggalkan mereka.

Lampu Merah Adalah Tanda Kemunduran

Haruskah masalah seperti diatas sampai ke tingkat mengganggu kesejahteraan setiap insan supaya menjadi perhatian? Sifat penduduk perkotaan dimana sibuk dan malas tahu dengan apa yang terjadi di luar lingkungan rumah dan keluarganya, membuat dua kejadian diatas tidak menjadi perhatian dan tempat kerumunan orang. Kalau kita mencoba bertanya kepada teman kita yang tinggal di kota tentang siapa warga pendatang dan tinggal menetap di RT dimana dia tinggal, besar kemungkinan dia tidak mengetahui hal tersebut. 

Atau mencoba menanyakan setiap nama, atau pekerjaan tetangga sekitar rumahnya, kemungkinan besar tidak banyak yang tahu. Apalagi kalau kita bertanya, apa masalah yang dialami para anak-anak remaja yang menjual Koran dan apa pesan yang disampaikan oleh pentas seni itu? Pasti tidak sedikit orang yang mengkerutkan dahi mereka sebelum menjawab pertanyaan ini.

Lampu merah adalah tanda bahaya dan disamaartikan sebagai tanda kemunduran (bersimbol: [-]). Perdagangan orang adalah lampu merah atau tanda bahaya (-A). Pekerja Anak adalah lampu merah atau tanda bahaya (-B). 

Keegoisan adalah lampu merah atau tanda bahaya (-C). Maka malam itu pun penulis membuat sebuah persamaan sebagai berikut:  --A + (-B) + (-C) = -D. Bila perdagangan orang dan pekerja anak, kita hadapi dengan keegoisan, maka kita telah menjadi "serigala" bagi sesama kita. Kita telah mengalami kemunduran derajat kemanusiaan (-D).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun