Di Desa Silawan, Kecamatan Tasifeto Timur, Kabupaten Belu, Provinsi Nusa Tenggara Timur, masalah pemenuhan kebutuhan air bersih dan sehat selalu menjadi bahan pembicaraan para ibu rumah tangga dan juga suami mereka. Di halaman rumah salah seorang warga Dusun Nanaeklot saya berjumpa lima orang perempuan duduk di atas kursi kayu rancangan seorang suami dari mereka.
Kursi itu dipaku kuat dengan pohon mangga setinggi 8 meter. Pohon itu belum berbuah dan daun-daunnya sangat lebat. Sesekali kami dikagetkan dengan gigitan semut yang jatuh dari atas pohon mangga itu. Namun itu tidak mengganggu keseriusan mereka mendengarkan setiap pertanyaan saya tentang bagaimana mendapatkan air bersih dan sehat.
Air akan keruh di saat musim hujan, dan bahkan beberapa titik sumber air akan kering ketika musim kemarau. Setidaknya itu perkataan yang sering diucapkan warga, terutama mereka yang tinggal di 4 dusun (Webanahi, Nanaeklot, Adubitin, Maninu). Usaha mencari air terus dilakukan. Puluhan titik telah kering.
"Hampir lebih 10 titik yang pernah digali dari tahun 2016 tapi air lama kelamaan hilang," kata Krisantus Wadan, yang menjabat sebagai kaur pembangunan di Desa Silawan.
Sambil dia menunjuk dengan jari telunjuknya dari kursi dia duduk mengarahkan dimana titik-titik air itu berada. Sesekali dia mengerutkan dahinya pada saat berusaha mengingat letak sumur-sumur itu.
"Yang paling dalam itu 82 meter, Pak! Memang, awalnya air banyak, tapi setelah satu minggu, air hilang, kering," kata Krisantus Wadan. Titik-titik sumur bor yang telah kering itu ada di lima dusun seperti Webenahi, Nanaeklot, Adubitin, Maninu, dan Halimuti.
Sisa dua sumur bor yang masih ada airnya. Satu di Dusun Adubitin dan satu lagi di Dusun Halimuti. Tahun 2014, sebelum ada program pemboran atau penggalian air, beberapa warga di lima dusun ini sempat tidak minum air selama satu hari karena air nya keruh.
Perlu Ritual
Berkurangnya debit air atau bahkan hilangnya air di beberapa sumur sebenarnya bisa dihindari. Bahkan upaya mencari air pun bisa dilakukan oleh para tokoh adat dengan melihat tanda-tanda alam, tanpa menggunakan teknologi yang canggih.
"Seharusnya itu, sebelum kita mencari air, kita buat dulu ritual," kata Yosep Untung, yang adalah pemimpin atas 36 suku di Silawan, dan juga mantan kepala desa. "Begitu juga sesudah kita mendapat air, sudah seharusnya dibuat ritual setiap bulan memohon kepada (Allah) Sang Pemberi agar mata air itu tetap ada." Kata laki-laki berusia 71 tahun itu.
Untuk melaksanakan ritual dibutuhkan seekor kambing atau babi, daun sirih, pinang, dan uang secukupnya untuk diberikan kepada para tokoh adat yang hadir di situ.