Di awal tahun 2019 dua desa penulis kunjungi. Desa yang satu berada di Kabupaten Timor Tengah Selatan, dan satunya lagi di Kabupaten Belu. Meski di-sibuk-i oleh banyak pekerjaan, namun tak sedikitpun perhatian luput dari berbagai hal baru yang terdapat di desa.
Selain tempat-tempat yang penulis kunjungi adalah tempat yang indah, seperti pantai, taman dan rumah-rumah adat, warga di pedesaan menjadi penarik perhatian. Apa yang menarik perhatian dari warga di desa?
Penulis melihat warga di desa itu seperti "air yang jernih". Warga di desa, sebelumnya jernih dari segala warna-warni pertarungan perebutan kekuasaan baik pilpres maupun pileg. Setelah diwarnai, akhirnya mereka pun ikut terwarnai.
 Terkadang ketika warna merah mengungguli warna yang lain, maka yang terlihat itu adalah warna merah. Ketika warna kuning mengungguli warna lain, maka yang terlihat itu adalah warna kuning. Atau ketika warna biru mengungguli warna lain, maka yang terlihat itu adalah warna biru.
Warna-warni yang kasat mata itu sering kita temui di pinggir-pinggir jalan, di pohon-pohon, di tiang-tiang listrik, di kaca mobil-mobil, dan bahkan di dinding rumah-rumah warga. Di sana warna-warni gambar parpol dan foto para calon wakil rakyat kita terpampang. Warga di desa yang tahu persis di RT, atau Dusun mana yang bulan lalu foto si A itu banyak tetapi bulan ini kalah banyak dibanding foto si B, atau si C, dan seterusnya.
Tetapi, warna-warni yang niskala itu warga tidak menyadarinya. Penulis melihat warna-warni ini di tempat seperti lapangan sepak bola, di sumur, di kios-kios, dan di pasar. Di tempat seperti ini tidak lagi ditemukan foto siapa yang cantik dan gagah, foto siapa yang beredar banyak, dan semuanya itu tidak menjadi bahan pembicaraan.Â
Melainkan yang ditemukan itu adalah pembicaraan seperti: bagaimana seseorang kandidat itu datang, menyapa dengan cara bagaimana, gaya bicaranya seperti apa, serta dia berbicara tentang apa. Hari ini calon si A yang sedang hangat-hangatnya dibicarakan, besok berbeda lagi, dan begitu seterusnya. Inilah warna-warni pertarungan perebutan kekuasaan yang terlihat pada warga di dua desa yang penulis kunjungi dan tentunya juga di desa-desa lainnya.
Lalu manakah yang seharusnya, ruang pertemuan para (calon) wakil rakyat mencerminkan warna-warni masalah yang terjadi di masyarakat atau pembicaraan masyarakat di tempat-tempat seperti disebut di atas yang mencerminkan warna-warni masalah wakil rakyat? Sah-sah saja bila setiap harinya masyarakat berhak menimbang-nimbang siapa calon wakil rakyat yang cocok. Tetapi apakah seserius rakyat menyeleksi calon pemimpin sama dengan seserius wakil rakyat dalam membahas masalah rakyat?
Rakyat Lebih Serius Bicara Pilihan Politik
Intensitas pembicaraan antar warga tentang program apa yang akan dipilih sebenarnya tidak terdapat di ruang-ruang formal. Tapi lebih terlihat di perkumpulan-perkumpulan informal (baca: politik warga). Dalam perkumpulan-perkumpulan ini sebenarnya aspirasi warga itu terbuka lebar dan terlihat secara jelas. Sebab, di pertemuan formal seperti sesi dialog yang dilakukan oleh kandidat tertentu, misalnya, kadang mereka tidak menyampaikan aspirasi mereka. Bisa disebabkan karena takut, malu, atau karena tokoh-tokoh tertentu yang lebih mendominasi pembicaraan.
Begitu juga dalam hal pemilihan calon wakilnya di lini pemerintahan. Di pertemuan-pertemuan formal, warga tidak secara frontal menyampaikan apa yang mereka sukai dan tidak sukai dari seorang kandidat. Namun keseriusan di ruang-ruang informal tetap ada, sebab itu menyangkut kepentingan bersama. Bila salah pilih, maka selama lima tahun dipimpin oleh orang yang hanya mementingkan diri sendiri.
Pembicaraan warga -- di perkumpulan informal -- terkait kandidat yang telah mengunjungi mereka sebenarnya hanya di seputaran dua hal, yakni: mendukung atau tidak mendukung. Warga pemilih mendukung seseorang menjadi wakilnya di lini pemerintahan karena banyak hal. Mungkin karena visi misi menjawab kebutuhannya, factor kedekatan, bisa juga karena melihat jejak karir, dan kepribadian calon pemimpin tersebut.
Sebaliknya, warga pemilih tidak mendukung seseorang menjadi wakilnya di lini pemerintahan karena banyak hal juga. Bisa disebabkan karena pandangan negatif terhadap janji-janji saat kampanye masih ada. Bisa juga karena visi misi tidak menjawab kebutuhannya, tidak ada factor kedekatan, atau bahkan karena melihat jejak karir yang tidak baik.
Ketika penulis bertemu lima orang ibu rumah tangga yang sedang antri mengambil air di salah satu sumur di salah satu desa yang penulis kunjungi, penulis melihat perdebatan yang sangat serius.
Mereka sedang membicarakan satu calon wakil rakyat. Sebagian dari mereka berada di posisi mendukung calon itu, sedangkan yang lainnya tidak mendukung. Pokok pembicaraan mereka sebatas apa yang penulis sebut di atas yakni visi misinya, faktor kedekatannya, jejak karir, dan kepribadian calon.
Kalau melihat tanggapan mereka, bermacam tanggapan seperti: senang atau tidak senang pada program yang akan dibuat, yakin atau tidak yakin terhadap janji-janji yang diucapkan calon wakil rakyat, suka atau tidak suka terhadap sosok calon tersebut. Dari sinilah penulis melihat bahwa keseriusan warga pemilih itu dalam menentukan pilihannya lebih besar dibanding (calon) wakil rakyat itu sendiri.
Semoga Ruang Parlemen Terwarnai
Perbandingan penilaian ini bukan tanpa melihat kenyataan yang selama ini terjadi. Penulis sebagai warga negera mengaku salut bila ruang parlemen itu, di kala rapat, penuh dengan "adu mulut". Mempertahankan kepentingan rakyat itu pantas dipuji. Namun bila di ruang itu, kala rapat dilakukan hampir 50% tidak hadir, bahkan tertidur pulas, maka rasa kecewa rakyat pun menjadi suatu yang tidak bisa dihindari.
Sudah seharusnya seorang calon wakil rakyat telah dari dulu memperhatikan warga di pedesaan dan bukan hanya pada saat kampanye. Calon wakil rakyat yang melakukan gaya kampanye seperti itu (baca: kampanye politik) mampu menjelaskan sebab-sebab masalah yang selama ini melilit warga itu apa serta dengan mudah mencari jalan keluarnya. Calon wakil rakyat tersebut tidak akan berkampanye sebagai "penjual kecap" yang menggunakan bahasa-bahasa jargon.
Calon pemimpin seperti ini mampu "mewarnai" ruang parlemen dengan warna-warni masalah warga. Bukan malah memikirkan (masalahnya) dapat/ tidak dapat "bonus" dari proyek yang adalah uang rakyat sendiri. Singkatnya, pemimpin yang mempunyai banyak pengetahuan dan pengalaman bersama rakyat itu lebih mampu mempertahankan usulan atau programnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H