Sebagai seorang Editor yang sibuk Sekar terkenal sangat teliti, saklek dan galak. Segala seuatu harus sesempurna EYD yang sekarang sudah berubah menjadi EBI (kok jadi seperti udang kering ya…). Penempatan titik dan koma diperhatikan dengan teliti apalagi sekadar penempatan vas bunga di kubikelnya. Ruang kecil itu dipenuhi aneka buku dan naskah yang diatur secara sistematis meski pun berjubel tetap terlihat rapi. Segala hal terkait Sekar adalah kerapihan dan keteraturan. Dia meletakkan pensil, pulpen dan kertas berdasarkan warna dan ukuran. Semua dikerjakan sesuai jadwal yang sudah dibuatnya.
Bahkan makan sehari-hari pun telah terjadwal dengan ketat. Senin adalah hari ikan air tawar, Selasa aneka daging merah, Rabu giliran daging putih, Kamis harinya makanan laut, Jumat waktunya aneka sayur, Sabtu dan Minggu bebas (karena sering banyak undangan dan Sekar tetap tidak mau rugi). Demikian juga untuk aneka cemilan pun mendapat jadwal tersendiri. Jika ada yang tidak sesuai dengan aturannya pasti langsung membuat Sekar uring-uringan.
Kali ini sekar sedang mengerjakan karya seorang penulis baru yang berasal dari luar kota. Sebenarnya dia tidak perlu bertatap muka secara langsung dengan sang penulis, cukup via email atau sarana media sosial lainnya. Namun sang penulis yang berasal dari kota Malang itu bersikeras ingin bertemu dengan Sekar karena tidak terima karya besarnya dipangkas hingga nyaris bersisa seperempat bagian saja. Perseteruan itu berlangsung alot hingga akhirnya si penulis memutuskan untuk menemuinya secara langsung.
Hal ini menyebabkan Sekar uring-uringan sepanjang hari karena kredibilitasnya sebagai editor dipertanyakan.
“Nyuk, kemana sih, Rudie? Gue mau minta tolong dia fotokopi malah ngilang,” tanya Sekar pada Arista yang sedang khusyuk membaca sebuah naskah puisi.
“Nggak tahu juga,” jawabnya cuek.
“Nyuk, itu buku-buku dirapihin kenapa sih?”
“Ya ampun Moy, kenapa sih ngurusin buku gue. Udah deh, kalau senewen sama si penulis itu jangan dilampiasin ke orang lain dong.” Arista merasa terganggu saat Sekar mulai mengkritik kerapihan meja kerjanya.
Sekar menyerah lalu meninggakan Arista yang tetap asyik dengan bacaannya. Dia memutuskan untuk keluar kantor mencari udara segar. Saat melawati meja resepsionis Ita berseru memanggilnya, “Mbak Sekar, ada tamu tuh.”
“Siapa?”
“Namanya Pairun.”