7. EKA MURTI
Aku tak ingat bagaimana awalnya hanya saja setiap menjelang Sabtu Kliwon ibu selalu mempersiapkan bahan-bahan untuk membuat bubur sumsum berwarna hijau. Bubur sumsum istimewa itu dibuat ibu khusus untuk dibawa mengunjungi tante May. Ibu selalu menumbuk sendiri beras yang akan digunakan dengan alu batu hingga menjadi tepung dan diayak hingga halus. Lalu esok harinya sebelum membuat bubur, ibu memeras daun suji yang sudah hancur hingga mengeluarkan air berwarna hijau. Tepung beras dimasukkan ke dalam air daun suji panas yang dicampur daun pandan agar harum, lalu diaduk perlahan agar menghasilkan bubur yang lembut, tidak menggumpal.
Bubur sumsum hijau itu disajikan dengan santan dan gula jawa cair. Perpaduan rasa gurih dan manis sungguh sangat nikmat. Tanpa kusadari makanan itu pun akhirnya menjadi favoritku.
Hari ini adalah Sabtu Kliwon yang entah keberapa puluh kali kami mengunjungi tante May. Meski dalam masa itu kadang aku enggan pergi tapi ibu selalu memaksaku, bahkan dengan berbagai ancaman hingga aku menurutinya. Meski bagiku sungguh tidak masuk akal jika aku sampai dipaksa hanya sekadar untuk mengunjungi seorang kerabat saja. Namun selama puluhan tahun ini aku tak pernah bertanya apa pun pada ibu. Bukan karena takut, tapi aku menunggu ibu untuk menceritakan sendiri semua kisah lama ini tanpa perlu kupaksa.
Pertanyaanku akhirnya terjawab saat kami telah berada di tempat parkir sebuah rumah sakit jiwa, tempat di mana tante May menghabiskan hari-harinya selama ini.
“Ven, Ibu rasa sudah saatnya kau tahu apa yang terjadi pada May. Kau tahu kan hanya dia saudara yang Ibu miliki.”
“Kalau Ibu merasa berat menceritakannya lebih baik tidak usah saja.”
“Kau sudah dewasa, sudah saatnya kau tahu tentang semua ini.”
“Bu…”
“May mengalami depresi berat sejak kecelakaan mobil yang mengakibatkan suami dan seorang anaknya meninggal dunia.”
“Ah, jadi karena itu tante May dirawat di sini. Dan aku rasa dia menganggapku sebagai anaknya yang telah meninggal itu kan, Bu?”