Roti coklat mahal dan lembut menyebarkan aroma wangi mentega yang gurih ke hingga ke hidung Herry saat dikeluarkan dari bungkusnya secara serampangan oleh Pebrianov.
“Benar-benar membosankan! Roti lagi…roti lagi!” gerutu Pebrianov seraya menyobek roti menjadi dua bagian menyebabkan isi coklatnya lumer.
Herry hanya bisa memandang roti milik teman sekelasnya itu dengan air liur berkumpul di mulutnya, yang terpaksa ditelannya dengan susah payah. Dilihatnya bekal yang dibawakan oleh ibu Marla pagi ini, pisang goreng. Herry sangat ingin mencoba roti lembut dengan coklat meleleh tersebut. Sebagai anak yang tinggal di panti asuhan, memakan roti adalah suatu kemewahan. Sekadar mencukupi makan sederhana sehari-hari saja, dia tahu ibu Marla telah berusaha dengan sangat keras untuk mendapatkan dana dari para donatur.
Tak ada makanan mewah kecuali ada anak orang kaya yang merayakan ulang tahunnya di panti dan membagikan nasi dengan ayam goreng tepung garing ala Amerika. Tapi kemewahan itu tak terlalu sering mereka rasakan, biasanya mereka hanya makan sayur, tahu, tempe atau telur. Ayam dan daging hanya sesekali saja.
Roti di tangan Pebrianov membuatnya iri, yang pernah dimakannya hanya roti murah yang isi coklatnya menggumpal, tidak meleleh begitu.
“Sudah, ah!” Tiba-tiba saja Pebrianov memasukkan sisa roti yang tidak dimakannya dan… plung! Dia melemparnya ke tempat sampah di depan kelas.
Melihat kejadian itu Herry tersentak dan ingin menangis, andaikan tak malu diledek oleh teman-teman sekelasnya. Dia hanya bisa menahan perasaannya hingga jam pulang sekolah berdentang.
“Her, ayo pulang,” ajak Abra sambil mencolek pundak Herry yang tetap duduk di kursinya.
“Duluan saja, aku akan menyusul nanti.”
“Ya sudah, kita duluan saja,” sahut Nanang yang telah berada di sebelah Abra.
Sampai sekolah telah sepi barulah Herry bangkit dari kursinya. Dilihatnya tak seorang pun berada di koridor atau lapangan. Dia mendekati tempat sampah dan mencari sisa roti yang dibuang Pebrianov tadi.