If you think Mona Lisa is stunning,
You should look at my masterpiece.
In the mirror.
Seorang perempuan berbakat. Lulusan terbaik dengan double degree: bisnis dan antropologi. Siap dengan pakaian terbaik hadiah ibunya seorang perawat. Duduk dengan optimis, menghadapi sebuah wawancara di perusahaan keuangan terkemuka.
Sang pewawancara memulai: “Program pengembangan analis keuangan kami sangat kompetitif. Ada lebih 8000 pelamar untuk 10 posisi. Jadi bagaimana kalau kita mulai dengan kata-kata Anda sendiri, siapa Annie Braddock?”
Perempuan bernama Annie Braddock itu memulai jawabannya: “Wow, itu pastinya pertanyaan yang mudah!”
“Mm-hm…” telisik si pewawancara.
“Aa.. Annie Braddock adalah… semacam… ya… aku… mmm…” mulai bingung.
“Teruskan!”
“Begini… mm.. hm,” semakin bimbang dan blank, “Aku tidak tahu… Permisi!”
Annie keluar ruangan dengan cepat. Pewawancara tampak merobek surat yang sedari tadi dipegangnya, tanpa ekspresi, seperti mengalami kejadian yang biasa.
Sepanjang jalan Annie membatin, “Siapa aku? Bukan suatu pertanyaan mengada-ada. Bukan sebuah tricky question. Tapi kenapa aku tidak bisa menjawabnya? Tentu saja aku tahu semua faktanya: tanggal lahir, alamat tinggal, keadaan ekonomi. Tapi aku sungguh tidak tahu siapa aku. Ketika di sana tadi, aku ini siapa? Tiba-tiba saja aku tidak menemukan jawaban.”
Lalu Annie mulai membandingkan diri menjadi orang lain. Orang yang lewat. Yang berlalu lalang, yang secara sekilas tampak menarik. Sampai kemudian sang alam memilihkan secara random sebuah pekerjaan untuknya. Pengasuh anak.
Kisah tadi adalah scene kedua dari film layar lebar the Nanny Diaries, yang dibintangi aktris Scarlett Johansson. Namun bukan hanya dalam fiksi. Ketika saya menjadi rekruiter untuk posisi trainer dari sebuah lembaga internasional, saya mewawancarai seseorang dengan dua gelar magister, psikologi dan manajemen. Pertanyaan pembuka saya tidak mampu dijawabnya. Di menit kelima setelah diberi kesempatan menjangkar caranya menenangkan diri, bahkan sang calon menyatakan mengundurkan diri untuk tidak meneruskan wawancara. Tidak lebih pertanyaan saya hampir sama, “Bolehkan kami mendengar sedikit tentang Anda?”
Ya. Kalimat singkat, tidak lebih dari dua buah kata. Siapa kita? Lalu antrian panjang memenuhi barisan orang-orang yang tak mampu menjawabnya. Sebagian lagi menjawab namun dengan meragukan sendiri kebenarannya. Mengapa? Salah satunya, hemat saya, adalah karena takdir manusia itu sendiri, yakni sebagai makhluk yang senantiasa berubah. Kompleks bukan, bagaimana kita mengurung sesuatu yang namanya manusia, yang selalu goyah, selalu sedang menjadi, selalu beranjak, selalu mengikuti yang lain atau akan merasa tertinggal, menjadi sesuatu dengan atribut yang tetap dan meyakinkan?
Robert Dilts, seorang pengamat perilaku, yang berbagai pemikirannya menjadi andalan pola mengeefektifkan keunggulan pribadi neuro linguistic programming (NLP), pernah memberikan pengertian perubahan sebagai keadaan yang dikehendaki dengan rangkaian rumus berikut:
Desired States = Present States + Resources
Maka menghadapkan rumus tersebut dengan pertanyaan ‘Siapa Anda?’, hemat saya dapat menghasilkan tips demi menjawab bahwa: saya adalah siapa akan jadinya saya, yang diperkukuh dengan keadaan saya saat ini plus berbagai khasanah yang saya miliki. Klop, lengkap. Bilamana saya sekedar imajinasi siapa akan jadinya saya, maka sudah pasti takkan dipercaya, karena kandungan spekulasinya berkadar tinggi. Anda-masa-depan tentu memerlukan bibit Anda-masa-kini dan bermacam penguasaan referensi yang selaras. Bilamana jawabannya hanya keadaan saya saat ini dengan pengalaman-pengalamannya, tanpa menjelaskan sendiri akan kemana maunya, maka tidak lain hanyalah sebentuk kebosanan atau frustasi, yang nantinya menjebak kita dalam nasib yang bersifat acak. Seperti Annie kemudian harus menerima diri menjadi the Nanny.
Dalam eseinya Becoming Your Possibilities, Mario Teguh membersihkan kabut pada mata rabun kita tentang jalinan sebab akibat dari ikhtiar yang sedang kita kembangkan dengan kualitas masa depan kita, bahwa:
Seorang yang menjual, menjadi penjual. Seorang yang melukis, menjadi pelukis. Dan, seseorang yang mengupayakan agar orang lain mencapai kualitas hidup yang lebih baik, akan… menjadi pemimpin. Pilihlah dengan cermat apa yang Anda lakukan, karena itulah jadinya Anda nanti. Lakukanlah sesuatu yang bernilai, hanya karena itulah Anda akan menjadi seorang yang bernilai.
Maka menghubungkan kembali dengan persoalan peliknya menjawab pertanyaan ‘Siapa aku?’, karena memang tidak jelas ‘Sedang melakukan apa sih aku?”. Yang tengah berjalan saja remang-remang maknanya, apalagi mendefinisi tentang jadinya kita di masa datang. Kalau tidak tahu ke mana hendak menuju, Anda akan sampai di entah, bukan? Dengan silogisme Pak Mario Teguh, maka: seorang yang sedang melakukan entah apa, pasti menjadi entah siapa...
Maka perintahnya kemudian untuk selalu siap mengetahui jarak jelajah dan ketetapan pada sejatinya tujuan kehidupan, bertuluslah dengan langkah dan pengertian-pengertian yang didapatnya. Ada penghiburan di penghujungnya sebagaimana kisah berakhir bahagia ini:
Bila engkau tulus dalam pencarian mu, dan tidak menghalangi sinar-sinar yang menerangi pengertian mu, engkau akan segera menyadari bahwa sebenarnya engkau sedang dalam perjalanan untuk menemukan dirimu sendiri. Ada pribadi mulia di dalam dirimu itu. (Mario Teguh, Year End Note 2008)
Dan kita pun menjadi selalu tahu kapan saja di mana saja, ‘Siapa kita?”. Banyak-banyaklah becermin. Sebagaimana di kutipan awal, masing-masing kita adalah karya besar Tuhan. Yang menunggu diwujudkan. [PUF001208]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H