"Allah Maha Tahu tentang Kehidupan ini, makanya diturunkan aturan-aturan agar menjadi pegangan untuk kedamaian"
Dalam surat Al Baqarah ayat 280; hanya ada 2 kemungkinan bagi
penghutang, diringankan/ ditangguhkan, dan dibebaskan. Namun pada
prakteknya kenapa Debt Colletor menggunakan berbagai cara, termasuk yang
tidak manusiawi penghakimi debitur (nasabah yang berhutang). Sebenarnya
Al Qur’an juga sudah mengantisipasi masalah ini dengan memberikan
solusi turunnya ayat ke 60 surat At Taubah, dimana gharimin berhak
mendapat santunan. Namun kriteria gharimin tersebut juga sangat tegas (agar terhindar dari penyalahgunaan dan sampai pada yang berhak),
sehingga jarang sekali lembaga zakat yang menyalurkan dananya untuk
menyelesaikan masalah ini. (Baca terjemahan tafsir Said Qutub jilid 1
halaman 388, tafsir surat Al Baqarah ayat 280).
Krisis Subprime Mortgage Seharusnya Jadi Bahan Pelajaran Bagi Manusia
http://gatosoideas.blogspot.com/2007/08/faq-krisis-subprime-mortgage.html
Apa itu subprime mortgage?
Subprime
mortgage adalah paket kredit kepemilikan rumah yang ditujukan untuk
orang-orang ‘miskin’ Amerika. Orang ‘miskin’ yang dimaksud adalah
orang-orang yang memiliki rating kredit buruk – antara lain para
penunggak tagihan kartu kredit dan tagihan kredit kendaraan bermotor.
Bisa dikatakan subprime mortgage adalah KPR bagi wong cilik di Amerika.
Mengapa ada subprime mortgage?
Kita
bicara hukum permintaan dan penawaran di sini. Orang-orang ‘miskin’ di
Amerika sama halnya dengan orang kebanyakan, punya impian untuk memiliki
rumah sendiri, sementara bank-bank konvensional yang ada, banyak yang
takut melihat rekam jejak kredit mereka. Di lain sisi, perusahaan kredit
perumahan (mortgage company), melihat mereka sebagai peluang bisnis
yang perlu digarap. Akhirnya, perusahaan kredit perumahan tadi datang
dengan segepok uang tunai, lalu lantas mengucurkan kredit rumah kepada
mereka.
Bagaimana Perusahaan Kredit Perumahan beroperasi?
Perusahaan
kredit perumahan ini sebagian dananya didapat dari pinjaman dari pihak
ketiga dalam jangka waktu pengembalian yang pendek (1-5 tahun).
Sementara, subprime mortgage sendiri merupakan kredit jangka panjang
yang bisa berkisar 10-20 tahun. Pendeknya, ada financing mismatch di
sini.
Selanjutnya, perusahaan kredit perumahan juga berbisnis via
margin penjualan mortgage backed securities atau efek beragun aset
(EBA). EBA merupakan kumpulan kredit-kredit yang kemudian dijual
kepemilikannya kepada investor. Dalam kaitannya dengan EBA yang berasal
dari subprime mortgage, investor mendapatkan bukti kepemilikannya dalam
bentuk saham yang diback-up oleh properti yang diagunkan dalam proses
subprime mortgage tadi. Karena EBA yang berasal dari subprime mortgage
ini cukup berisiko, maka return EBA ini juga tinggi. Return EBA
didapatkan dari cicilan pembayaran kreditor-kreditor subprime mortgage –
yang mana seperti disebutkan sebelumnya adalah orang-orang ‘miskin’ di
AS. Oya, EBA ini di AS dan Australia ada pasarnya tersendiri. Jadi ada
pembeli, penjual dan mekanisme harganya tersendiri. Selanjutnya, karena
EBA tipe subprime mortgage ini berkarakteristik high risk high return,
maka cukup banyak investor hedge fund dan investment bank yang
meminatinya. Hedge Fund sendiri terdiri kumpulan dana investor raksasa
yang investasinya lintas negara dan cenderung beraksi spekulatif.
Bagaimana subprime mortgage terjerembab krisis?
Gampang
saja. Karena kreditor subprime mortgage adalah orang-orang
pendapatannya pas-pasan maka kemampuan pembayaran cicilannya juga sangat
lemah Sehingga saat para kreditor tersebut tidak mampu membayar cicilan
kreditnya, maka EBA yang berasal dari subprime mortgage pun ambruk.
Nilai jualnya jadi terkoreksi. Otomatis, para investor yang menanamkan
modalnya di EBA subprime mortgage juga ikutan merugi. Parahnya lagi,
banyak perusahaan kredit perumahan yang juga bangkrut, karena tidak ada
putaran uang yang terjadi dan diperparah adanya financing mismatch tadi.
Bagaimana subprime mortgage menghantam Bursa New York?
Pasar
sangat sensitif pada kabar buruk (bad news). Dan kabar buruk yang
memicu krisis di Wall Street ini diduga datang pada tanggal 2 Agustus
lalu, saat BNP Paribas- salah satu bank terbesar di Eropa yang berasal
dari Prancis dan sebuah bank Jerman (IKB Deutsche Industriebank)
mengalami masalah terhadap investasi EBA subprime mortgage di Amerika.
Selanjutnya, berita terpuruknya subprime mortgage ini mulai terkuak di
mana kerugiannya sendiri ditaksir ada sekitar $35 trilyun. Akibatnya,
kepanikan pun mulai melanda para investor di lantai bursa New York.
Investor lalu mulai menjual saham-saham yang bergerak dalam industri
properti. Karena perusahaan yang berkaitan dengan properti di Bursa New
York ada sekitar 1/3 dari total kapitalisasi pasar, tak heran, jika
bursa saham secara total juga ikut terkoreksi. Investor yang panik,
kemudian mulai berpikir untuk mencari alternatif alat investasi yang
aman – antara lain via deposito di bank dan investasi di obligasi
pemerintah.
Bagaimana krisis subprime mortgage menjadi krisis global?
Gerak
arus modal yang semakin borderless, membuat pasar keuangan dunia
menjadi saling terkait dan saling berketergantungan satu sama lain.
Sentimen negatif dan kepanikan dari Wall Street yang notabene merupakan
pasar saham terbesar di dunia dengan cepatnya menjalar ke mana-mana.
Investor-investor global raksasa yang tergabung dalam hedge fund ataupun
investment bank baik yang secara kebetulan memiliki investasi di
subprime mortgage atau tidak, mulai menarik dananya dari pasar modal dan
mulai memasukkannya ke dalam investasi yang berisiko lebih rendah.
Motifnya kurang lebih sama,, mencoba menghindari risiko kerugian yang
lebih besar (cut loss). Maka, tak heran bursa-bursa saham regional dan
dunia juga ikut bertumbangan.
Apakah krisis subprime mortgage mengancam bank-bank juga?
Untuk
bank-bank yang memiliki investasi di subprime mortgage secara langsung
(seperti BNP Paribas di atas), imbasnya tentu ada yaitu kerugian
investasi. Kerugian investasi berakibat pada seretnya dana cadangan
bank-bank tersebut. Karena lalu lintas keuangan yang begitu cepat di
bank, seretnya dana cadangan tersebut bisa berimbas kepada kesulitan
likuaditas. Lalu bagaimana dengan bank-bank lainnya? Karena para
investor mulai memindahkan investasinya ke tempat yang lebih aman
(antara lain ke deposito bank) maka bank pun menerima ‘uang panas’ dari
investor. Oleh karena itu, bank pun harus siap-siap menambah cadangannya
untuk berjaga-jaga apabila ada penarikan mendadak dari para investor
tersebut. Hal tersebut membuat bank cenderung untuk menaikkan bunga
pinjaman antarbank. Otomatis lalu lintas pinjam meminjam sesama bank
menjadi semakin mahal. Ini lagi-lagi berimbas pada kesulitan likuiditas
di dunia perbankan. Tak heran dalam beberapa hari terakhir Bank Sentral
di Eropa, AS dan Australia sibuk mengucurkan kredit likuiditas untuk
menopang lancarnya arus lalu lintas keuangan di kawasan mereka.
Bagaimana di Indonesia?
Setelah
sempat menembus ‘rekor’ tertinggi di angka 2300an, Indeks Harga Saham
Gabungan (IHSG), belakangan juga ikut ‘terkapar’ dihempas sentimen
negatif pasar global. Saat ini (16/8) angka IHSG berada di bawah 2000.
Hal ini menegaskan pendapat beberapa pengamat yang menyatakan bahwa
‘rekor’ IHGS disebabkan masuknya ‘uang panas’ dari luar negeri yang
memiliki kecenderungan mengambil keuntungan jangka pendek belaka. Ini
tak mengherankan karena para investor global tersebut mulai menyesuaikan
komposisi investasinya demi menghindarkan kerugian yang lebih besar.
Semoga saja faktor-faktor dalam negeri tetap stabil, sehingga gejolak
pasar global tidak berimbas ke dalam negeri.
Sumber informasi:
DWTV via SBS (17/8/2007)
Detikfinance
Subprime crisis di http://www.voxeu.org/index.php?q=node/466
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H