[4] http://ifinance.bahtiarhs.net/2009/11/akad-murabahah-yang-jatuh-kepada-riba/
Bank Syariah Idaman Saya: Agar Akad Syariah Tidak Jatuh Pada Riba
Bagian 2
Oleh Agus Rijal (Abu Yusuf)*
*Perencana Keuangan Syariah Independen
Ketika permasalahan ini (akad syariah yang masih bisa jatuh pada riba) Penulis (Syariah Financial Planner) wacanakan baik pada praktisi keuangan maupun nasabah, banyak yang komplain karena bukan pada tempatnya. Maksudnya, kebijakan seperti ini seharusnya masuk wilayah kajian Dewan Syariah Nasional (DSN), dan saat ini kita dituntut untuk menghormati fatwa-fatwa yang sudah dikeluarkan. Untuk itulah Penulis berusaha mengedepankan solusi ini agar bisa menjadi wacana, dan syukur-syukur bisa diterapkan di lembaga keuangan saat ini. Lebih jauh lagi dapat mensinergikan peran lembaga keuangan komersial dengan lembaga zakat.
Perencanaan keuangan (financial planning) pribadi/ keluarga tak lepas dari sistem pengelolaan keuangan secara makro (umum), yaitu terkait sistem ekonomi dan lembaga keuangan. Ada bebrapa praktek lembaga keuangan saat ini yang tidak syariah, ilustrasinya seperti ini (diambil dari kasus nyata); contoh; akad murabahah leasing (jual beli dan sewa), misalnya kendaraan bermotor dibeli dari dealer harga 15 juta kemudian dijual ke konsumen oleh lembaga pembiayaan 22 Juta dengan dicicil 600 ribu untuk 35 kali dengan DP 1 juta, status sewa beli.
Intinya akad ini menghindari akad kredit yang mengandung riba. Namun, jelas dilihat dari skenario ini kurang memenuhi unsur pemberdayaan dan lebih memperdaya. Ujung-ujungnya ya konsumen harus membayar lebih mahal kan untuk suatu produk konsumsi. Padahal kendaraan itu kalau dijual lagi paling laku 9 jutaan setelah 35 bulan kemudian. Konsumen 2 kali dirugikan, pertama dari 15 ke 22 juta saja margin yang tidak wajar dalam jual beli (untuk menghindari riba maka akad jual di mark up oleh leasing). Kedua, dari penyusutan nilai jual menjadi 9 juta (15-9 juta =6 juta). Total nilai "kerugian secara uang" bagi konsumen sekira 13 juta atau setara 60%, yang jadi pertanyaan adalah benefit yang didapat dari cicilan tersebut apakah menjadi lebih dari 60%, artinya jika penghasilan 1 juta saat mencicil dengan kendaraan tersebut 35 bulan kemudian setara/ naik menjadi 1,6 juta tidak? Hal ini untuk mengukur bahwa utang itu bersifat produktif atau konsumtif.
Belum lagi ada yang mensyaratkan denda (pada kasus ini nasabah masih harus nombok 2 juta agar BPKB bisa diambil). Kerancuan status sewa beli ini adalah utang piutang. Dalam surat Al Baqarah ayat 280; "Dan jika (orang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedakahkan (sebagian atau semua hutang) itu lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui." Hanya ada 2 kemungkinan bagi penghutang (debitur); diringankan/ ditangguhkan, dan dibebaskan. Nah praktek ini tidak mungkin dilakukan katanya, bagaimana pun perusahaan (kreditur) tidak mau rugi dengan membebaskan. Maka Al Qur'an sudah memberikan solusi dengan menurunkan ayat ke 60 surat At Taubah, dimana gharimin berhak mendapat santunan (senada dengan tafsir surat Al Baqarah ayat 275-281, kitab Fi Zilalil Qur'an karya Sayid Qutubh). Namun kriteria gharimin tersebut juga sangat tegas, sehingga jarang sekali lembaga zakat yang menyalurkan dananya untuk menyelesaikan masalah ini, sehubungan dengan kriteria gharimin yang seperti apa yang berhak disantuni untuk membebaskan hutangnya (konsumtif, produktif, atau benar-benar bangkrut/ pailit sama sekali).