Mataku tak berkedip. Menikmati gumpalan awan yang berubah warna, putih … kelabu … memekat dan menjatuhkan titik-titik air. Segerombolan burung bercicit di atas gedung tua. Mengepakkan sayapnya yang kedinginan. Gerimis dan sunyi.
Aku berdiri di tengah setapak, merentangkan tangan, tertawa dan mencoba memuntahkan lelucon-lelucon garing. Menengadah dan membiarkan wajahku basah oleh air dari atas atap. Aku sempurna menyembunyikan perasaan itu. Beban itu.
Di sebuah rumah makan yang berada tepat di pinggir pantai, aku membuang jauh pandangan. Memikirkan perihal kematian dan rindu terpendam. Juga kubayangkan diriku melarungkan luka di air pantai yang penuh merkuri. Langit kemerahan bersaput awan hitam, titik-titik airnya mengingatkanku pada kesedihan di mata Ibu. Pada persoalan yang tak tuntas-tuntas.
Berusaha … berusaha … dan berdoalah. Hanya itu yang kubisikkan berkali-kali di telingaku sendiri. Semoga pada perulangan berikutnya, telah ada sebingkis senyum untuk Ibu.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H