Mohon tunggu...
PERDI HERMAWAN
PERDI HERMAWAN Mohon Tunggu... Mahasiswa - Saya sebagai mahasiswa, disalah satu kampus yang ada di Indonesia

SAYA PERDI HERMAWAN HOBI SAYA OLAHRAGA SELAIN ITU JUGA BACA BUKU

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Stoikisme dan Penderitaan yang Nyata Bagi Kaum Proletar

13 Agustus 2024   02:50 Diperbarui: 13 Agustus 2024   19:50 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Stosisme adalah aliran filsafat yang sejak dahulu kala sudah ada, salah satu pendirinya ialah zeno dan beberapa lainnya ialah chricippus, cicero, dan efictetus. Stoic sangat begitu populer di kalangan generasi Z, dimana paham-paham yang disalurkan sangat begitu membantu untuk masalah di kehidupan. 

Bisa diakui bahwa memang ajaran yang dibawakan oleh paham stoic sangat begitu relevan untuk mengatasi kehidupan sehari-hari. Stoic dalam pahamnya mengajak kita fokus terhadap kendali diri kita, didalam kehidupan yang naik turun dan bergelombang atas dinamika yang ada. 

Dalam paham stoic sebenarnya menunjukan atas kesadaran penuh terhadap apa saja yang kita rasakan, mulai dari penderitaan dan apa saja yang membuat kita menderita. Tentunya stoic bukan berarti suatu cara untuk menuju kebahagian, akan tetapi bisa menyadarkan kita perihal apa saja yang dapat merugikan diri kita sendiri. 

Dalam hal ini, merugikan diri kita sendiri bisa dihasilkan dari sebuah pikiran yang sering tidak kita sadari. Stoic berupaya menyadarkan kita bahwa apa yang membuat kita cemas terkadang berpusat dari apa yang kita pikirkan dan bukanlah sebuah kenyataan. 

Stoik berpendapat bahwa sehendaknya kita menyadari bahwa ada dua hal yang bisa kita pahami, yaitu sesuatu yang bisa kita kendalikan dan sesuatu yang tidak bisa kita kendalikan. Sesuatu yang bisa kita kendalikan tentu saja diri kita sendiri beserta instrument didalamnya seperti pikiran dan tindakan, sedangkan hal yang tidak bisa kita kendalikan ialah hal-hal yang diluar diri kita, hal yang diluar diri kita maksudnya ialah suatu gerak dan kejadian apapun yang tidak dibawah kendali kita. 

Maka dari itu stoic menyuguhkan pahamnya agar kita bisa mempunyai sikap yang bijak terhadap apa yang terjadi di dunia luar yang memicu berjalanya pikiran negatif yang sering kali tidak kita sadari dan berujung kepada sebuah penderitaan dan tindakan yang tidak sesuai. Namun apakah stoic ini berlaku untuk kaum proletar?

Kita sendiri harus menyadari bahwa adanya beberapa golongan kaum proletar yang sangat begitu antusias untuk persoalan hidup dan isi perut, dan tentunya bertahan hidup adalah suatu naluri alami yang diwarisi sejak dahulu. Maka dari itu, dalam hal ini mereka tidak bisa berdiam secara pikiran dan tindakan. Apa yang mereka alami adalah penderitaan yang nyata dan apa yang mereka pikirkan ialah persoalan yang nyata juga. 

Memang pada dasarnya stoic bukanlah paham yang begitu relevan untuk semua orang, dan bukan berarti akhirnya paham tersebut tidak berguna juga, akan tetapi kita harus bisa menggaris bawahi bahwa penderitaan bisa begitu nyata bagi beberapa orang. Maka dalam hal ini perlu kita kritisi bahwa penderitaan dan upaya paham stoic sangat begitu mengganjal dalam artian paham tersebut tidak masuk akan penderitaan yang nyata bagi kaum yang lainya. 

Kaum proletar bisa kita katakan misalnya pemulung atau pegawai yang penghasilanya sangat miris dan hanya cukup untuk keberlangsungan hidupnya sehari-hari  tetapi memiliki keinginan dan harapan yang begitu besar namun terhalang oleh realitas yang ada, maka bisa dilihat penderitaan sangat begitu nyata baginya. 

Pikiran adalah representasi dari kenyataan, maka hal nyata apa yang dialami oleh orang itu akan berdampak pada apa yang mereka pikirkan, karena naluriah bertahan hidup mereka meransang pikiran untuk mengantisipasi permasalahan yang nyata yang mereka alami. Sehingga tidak bisa dihindari bahwa pada akhirnya tindakan dan pikiran mereka menderita, bahkan bisa saja terpaksa negatif untuk hal-hal yang lebih penting ialah persoalan perut untuk bertahan hidup.

Stoic memang begitu berguna untuk mengarahkan kita kepada kesadaran diri penuh akan semuanya. Mengajak kita pula untuk bisa berlaku positif akan sesuatu yang ada di dalam diri maupun menyikapi yang berlangsung di luar diri. Namun sering kali kita abaikan bahwa sesungguhnya penderitaaan bisa jadi kenyataan yang nyata bagi beberapa orang, dan bukan lagi perihal pikiran negatif belaka. 

Maka sudah selayaknya kita menyadari bahwa stoic tidak bisa mengajak kita untuk fokus ke penderitaan diri saja, akan tetapi justru bisa membuat kita kritis atas kekurangan paham stoic dan relevansinya untuk semua orang, hal ini berguna untuk kita menyadari penuh bentuk penderitaan orang lain dan tidak memikul ego untuk hanya memikirkan diri kita sendiri. 

Bisa kita renungi bagaimanapun manusia diciptakan untuk keberlangsungan manusia juga, dan bukan untuk kepentingan pribadi. Kita sudah terikat takdir yang tidak bisa dipungkiri bahwa hidup ini selalu berdampingan. Maka dengan adanya paham stoic bukan semata-mata kita menyadari dengan keliru bahwa penderitaan itu hanya intraksi pikiran dari luar dan menganggap hal yang diluar kendali kita tidak sepenuhnya penting kita pikirkan. 

Hal-hal yang berada dari luar bukan berarti pada akhirnya kita anti terhadap intraksi yang diluar kendali kita, justru hal yang diluar kendali kita seperti penderitaan orang lain dan segala bentuk gerak serta gaya pikirnya menjadi salah satu tanggung jawab kita yang tidak bisa dilepaskan. 

Karenanya sebagai seseorang yang bijak sejak dalam pikiran maupun perbuatan harus paham betul akan situasi yang terjadi dan menyadari bahwa penderitaan orang yang dianggap diluar kontrol kita ialah penderitaan yang nyata, dan harus kita pikirkan walaupun menderita. 

Adanya penderitaan inilah justru kita bisa merasakan dan menjalankan pikiran kita untuk mengantisipasi permasalahan diluar dengan penuh. Sebab jika kita bijak dan paham stoic seharusnya kita sudah bisa mengantisipasi pikiran yang menderitakan kita sendiri, dan bukan berarti kita tidak peduli atas penderitaan orang lain yang diluar dari diri kita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun