Mohon tunggu...
Perdhana Ari Sudewo
Perdhana Ari Sudewo Mohon Tunggu... Human Resources - Pemulung Ilmu

Seorang pemulung ilmu yang punya hobi menulis dan berharap dapat terus belajar dan berbagi melalui ide, gagasan, dan tulisan

Selanjutnya

Tutup

Money

Dampak Ekonomi dan Bisnis akibat Pengawasan Obat dan Makanan yang Tidak Optimal

9 September 2021   15:09 Diperbarui: 9 September 2021   15:20 279
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Sesuai dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) 2020-2045, pada tahun 2045, Indonesia menargetkan menjadi negara maju dengan Pendapatan Domestik Bruto (PDB) sekitar USD 7,4 triliun dan PDB per Kapita USD 23.199. Untuk mewujudkan target tersebut, Indonesia menargetkan keluar dari Middle Income Trap tahun 2036. Berbagai program dalam reformasi struktural melalui transisi dari perekonomian berbasis komoditas ke manufaktur bernilai tinggi berupaya terus dilakukan Pemerintah untuk mewujudkan target tersebut. 

Upaya tersebut mendorong untuk dilakukan revitalisasi Industri di Indonesia, termasuk revitalisasi Industri Obat dan makanan agar mampu berkontribusi lebih besar terhadap PDB. Sesuai dengan Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional (RIPIN) tahun 2015-2035, sektor Industri Pangan, Farmasi, Kosmetik dan Alat Kesehatan ditetapkan sebagai Industri prioritas sekaligus andalan dalam mendukung peningkatan ekonomi Indonesia dimana sektor Industri diharapkan mampu memberikan kontribusi sebesar 30% terhadap PDB Indonesia tahun 2035.

Target tersebut mengharuskan kebijakan pengawasan obat dan makanan yang menjadi kewenangan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) tidak hanya berorientasi pada kesehatan masyarakat, tetapi juga dituntut untuk mempertimbangkan dampak terhadap peningkatan daya saing, dunia bisnis dan pertumbuhan ekonomi Indonesia. 

Hasil kajian Bappenas terkait Diagnosis Pertumbuhan Indonesia yang dilakukan tahun 2018 menyimpulkan perizinan di BPOM dinilai menjadi penghambat pertumbuhan ekonomi Indonesia, khususnya bidang Industri Obat dan Kesehatan menjadi tantangan tersendiri bagi BPOM dalam menyusun kebijakan dan melaksanakan pengawasan obat dan makanan. 

Restrukturisasi kebijakan dan regulasi Pengawasan Obat dan Makanan menuntut untuk segera dilakukan agar mampu mendukung pengembangan ekonomi dan bisnis di Indonesia. Kebijakan harus disusun dengan analisa kebutuhan yang tepat agar menghasilkan kebijakan yang tidak lagi menjadi penghambat dan beban ekonomi Indonesia di masa depan.

Dampak Ekonomi dan Bisnis Pengawasan Obat dan Makanan

Dari berbagai studi literatur, setidaknya diketahui bahwa pengawasan obat dan makanan secara langsung maupun tidak langsung berdampak terhadap daya saing, perekonomian dan bisnis di Indonesia. Sesuai data yang dikeluarkan Badan Pusat Statistisk (BPS), Industri Obat dan Makanan mampu memberikan kontribusi sebesar 13,35% terhadap PDB tahun 2019, terbesar dibanding sektor Industri pengolahan lainnya dimana ekonomi Indonesia mampu tumbuh 5,02. 

UMKM Obat dan Makanan pada tahun 2015 juga mampu memberikan kontribusi sebesar 44,29% terhadap output sektor industri obat dan makanan, tertinggi sejak 2010. Industri Obat dan Makanan juga mampu menyerap 5.287.491 orang tenaga kerja, 89,73% diantaranya dikontribusikan oleh sub sektor Industri Makanan diluar tenaga kerja yang diserap kelompok UMKM Obat dan Makanan.

Dari tahun 2016 sampai dengan 2019, setidaknya sebanyak 54 ribu UMKM Pangan telah mendapatkan pembinaan oleh BPOM melalui pendampingan terkait Cara Pembuatan Pangan Olahan yang Baik (CPPOB) dan cara mendapatkan Nomor Izin Edar (NIE). Selain itu, komitmen dukungan terhadap UMKM melalui pemberian diskon biaya registrasi Obat dan Makanan sebesar 50% untuk pemohon dari kelompok Usaha Mikro, Kecil, dan Industri Rumah Tangga Pangan (IRTP) juga diharapkan memberikan dampak terhadap dorongan untuk pengembangan dan peningkatan daya saing UMKM Obat dan Makanan.

Kebijakan BPOM tentang informasi nilai gizi pada label pangan olahan berpotensi menghemat triliunan rupiah yang harus dikeluarkan untuk menangani penyakit diabetes di Indonesia. 

Dengan prevalensi penderita diabetes mencapai 8,2% pada tahun 2018 berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan dan rata-rata biaya penanganan penderita diabetes mencapai 100 juta rupiah per orang sesuai dengan penelitian yang dilakukan Fitri dkk tahun 2015, perkiraan beban ekonomi akibat penyakit diabetes mencapai 2.000 triliun rupiah diluar biaya akibat penyakit degeneratif lainnya jika pencegahan penyakit diabetes tidak dilakukan dengan baik di Indonesia. Yang tarbaru adalah kebijakan BPOM mengeluarkan Emergency Use Authorization (EUA) vaksin untuk COVID-19 tahun 2021 berdampak pada perekodomian Indonesia, termasuk dampak terhadap harga saham industri farmasi di Indonesia.

Beban Ekonomi dari Pengawasan Obat dan Makanan yang tidak optimal

Meskipun mampu memberikan dampak positif terhadap ekonomi dan bisnis, pengawasan obat dan makanan ternyata juga memiliki potensi dampak negatif dan beban ekonomi bangsa. Potensi dampak negatif tersebut terjadi apabila Pengawasan Obat dan Makanan dilakukan dengan tidak optimal di Indonesia. Dari kajian dan literatur, setidaknya terdapat beberapa potensi dampak negatif Pengawasan Obat dan Makanan, seperti kenaikan biaya ekonomi yang disebabkan keracunan obat atau makanan di masyarakat, meliputi biaya yang diperlukan untuk penyembuhan penyakit akibat keracunan, juga biaya tidak langsung terkait kehilangan kesempatan kerja atau sekolah bagi masyarakat yang sakit. 

Dampak negatif lainnya adalah kerugian ekonomi yang disebabkan peredaran obat illegal yang berpotensi mengurangi market share produk Obat dan Makanan. Khusus untuk produk farmasi, dari kajian yang dilakukan BPOM menyatakan bahwa peredaran obat ilegal berpotensi menggerus pendapatan perusahaan farmasi yang menjual produknya secara legal, serta potensi kerugian industri farmasi akibat peredaran obat ilegal mencapai 2,36 triliun rupiah, penurunan output perekonomian Indonesia sekitar 5,5 triliun rupiah, potensi penurunan PDB Indonesia sekitar 2,39 triliun rupiah, potensi pengurangan pajak sebesar 22 miliar rupiah, dan potensi menghilangkan kesempatan kerja bagi 11.000 orang masyarakat Indonesia.

Selain itu, Pengawasan Obat dan Makanan yang tidak optimal berpotensi memberikan beban ekonomi bagi Negara. Beberapa beban ekonomi antara lain disebabkan makanan yang terkontaminasi tetapi tetap beredar di masyarakat. Beban ekonomi meliputi biaya pengendalian dan pemantauan bahaya keamanan pangan oleh Pemerintah, biaya penarikan produk oleh produsen, dan biaya penanganan penyakit yang disebabkan kontaminasi makanan di masyarakat. Beban ekonomi lainnya terkait dengan dampak Antimicrobial Resistance (AMR) yang disebabkan penggunakan obat, khususnya antibiotik yang tidak rasional. 

Kajian bidang Kesehatan yang dilakukan Bappenas tahun 2019 menunjukkan bahwa hanya 23,93% Kabupaten/Kota di Indonesia yang menggunakan obat secara rasional. Dari jumlah Kabupaten/Kota tersebut, hanya 70% fasilitas kesehatan milik Pemerintah yang benar -- benar menggunakan obat secara rasional. Kegagalan dalam melakukan pengawasan peredaran dan penggunaan obat untuk mengatasi masalah ini berpotensi menjadi beban ekonomi di masa depan. 

Dari kajian yang dilakukan oleh Ahmed dkk tahun 2018, diperkirakan pada tahun 2050 kegagalan mengatasi AMR akan berpengaruh terhadap penurunan PDB Global sebesar 1,1% s.d 3,8%. Negara-negara berpenghasilan rendah diperkirakan akan berdampak lebih parah, dengan penurunan lebih dari 5% dari potensi PDB Negaranya.

Dari uraian tersebut, disimpulkan bahwa kebijakan Pengawasan Obat dan Makanan berpotensi memberikan dampak terhadap dunia bisnis dan pertumbuhan ekonomi yang lebih baik. 

Disisi lain, pengawasan obat dan makanan yang tidak optimal berpotensi memberikan dampak negatif terhadap dunia bisnis dan menjadi beban ekonomi bagi Indonesia di masa depan, antara lain terkait biaya penanganan penyakit akibat keracunan makanan, biaya pengawasan yang lebih besar akibat kontaminasi pada produk obat dan makanan, potensi penurunan PDB akibat kejadian Antimicrobial Resistance (AMR), serta potensi kerugian industri farmasi akibat peredaran obat ilegal di Indonesia. Peran nyata melalui kebijakan dan program pengawasan oleh BPOM dalam hal ini dibutuhkan untuk mencegah berbagai potensi negatif terhadap dunia kesehatan, bisnis dan ekonomi di Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun