Mendukung atau memuja, kadang memang jatuh pada logika tak masuk akal dan “menyedihkan”, bahkan ketika yang didukungnya sedikit lebih “waras”. Para pendukung dan pemuja, kadang lebih “sadis” karena dirasuki keanehan yang begitu nyata, dan itu kita bisa rasakan dan melihatnya dengan jelas pada para pendukung Ahok-Djarot, terutama mereka yang bergerilya di kampung-kampung. Apa yang mereka lakukan? Untuk menyebarkan ketakutan psikologis ketika Ahok tidak lagi menjadi gubernur.
Seperti apa misalnya? seperti ketakutan psikologis yang disebar, bahwa kalau Ahok tidak menjadi gubernur KJP dan KJS akan ditiadakan. Ini agak aneh, terutama ketika menyadari bahwa program KJP dan KJS itu dibuat tidak sendiri oleh Pemprov, tetapi ada peran DPRD. Ahok adalah gubernur limpahan karena Jokowi menjadi Presiden, dan program KJP dan KJS itu bukan produk Ahok yang selama memimpin, tidak ada kreativitasnya.
Darimana logika kalau Ahok tidak jadi gubernur lagi KJP dan KJS akan ditiadakan? Bukankah kalau pihak sebelah yang jadi, justeru akan ada KJP plus dan KJS tetap bisa dirasakan oleh warga Jakarta? Itu sudah valid, dan pernyataan resmi. Artinya, program KJP dan KJS itu bukan program Ahok pribadi, tapi program yang secara sinergis dilakukan oleh Pemprov dan DPRD. Kalau tidak percaya, baca lagi sejarahnya. Banyak data yang bisa menguatkannya. Percayalah.
Kemudian, ketakutan psikologis yang mencoba untuk disebar adalah, bahwa kalau Ahok tidak jadi Gubernur, pasukan orange, pasukan hijau, dan pasukan ungu akan kembali lagi menjadi pengangguran. Ini pandangan yang lebih gila lagi dari pandangan yang pertama, karena bahkan yang menentukan gaji dari pasukan-pasukan itu bukan kebijakan Ahok, tapi lagi-lagi ada peran DPRD disitu. Gaji yang luar biasa diterima oleh mereka, itu bukan karena kehebatan Ahok, tapi kehebatan semua pihak yang bekerja di dalik layarnya.
Pasukan orange, pasukan hijau, dan pasukan ungu, itu adalah program fenomenal dimana tidak hanya Ahok yang berperan. Itu hanyalah pelaksanaan atas tugas dan pengejawantahan dari program kerja Jokowi, ketika masih menjadi gubernur. Artinya, siapapun yang akan menjadi gubernur, program-program itu tetap akan berjalan sebagaimana mestinya.
Persoalannya menjadi semakin “gawat” karena secara berkala dan dengan cara-cara sporadis, hal itu dijual oleh para pendukung dan pemuja Ahok ke rakyat bawah melalui alasan-alasan yang tidak masuk akal, tapi mencoba dilogiskan melalui sebuah pembenaran. Ada banyak pembodohan-pembodohan yang dilakukan oleh pendukung Ahok, kalau kemudian KJP dan KIS serta kebijakan tentang para pasukan diklaim hanya akan bisa dilakukan kalau Ahok kembali menjadi gubernur.
Pada konteks ini, kita bisa melihat, bahwa ternyata banyak para pendukung dan pemuja Ahok yang melakukan pembodohan, sebuah kalimat yang sering dikaitkan dengan program-program racikan Anies-Sandi. Nyatanya, mereka juga melakukan itu. Mengatakan bodoh pada orang lain, dan memperlihatkan kebodohannya sendiri pada saat yang bersamaan.
Ada klaim tidak jelas yang dilakukan oleh para pendukung dan pemuja Ahok, yang mengesankan, bahwa seakan-akan kalau Ahok tidak menjadi gubernur lagi, program-program potensial seperti KJP dan KJS, atau satuan kerja dari para pasukan itu akan segera lenyap, padahal siapapun yang akan menjadi gubernur, program-program itu akan tetap ada, termasuk kalau saja Mukidi mau menjadi gubernur Jakarta. Jadi jangan terlalu berlebihan, apalagi membuat klaim sepihak yang sangat tidak mendasar pada kebijakan yang sudah ada. Sehebat apa, sih, Ahok?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H