Judul Buku : Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat
Pengarang : Cindy Adams
Penerjemah : Syamsu Hadi
Penerbit : Yayasan Bung Karno dan Media Pressindo
Tahun Terbit : 2007
Tebal Buku : 415 halaman
Bung Karno adalah nama besar yang menjadi ingatan kolektif Bangsa Indonesia. Namanya diperbincangkan banyak kalangan; mulai dari sisi mistisme hingga pidatonya yang meledak-ledak. Banyak orang mengunjungi tempat kramat di selatan Pulau Jawa yang disebut-sebut sebagai petilasan Bung Besar ini, juga, banyak politisi meniru gaya berpakaian dan teknik berpidato beliau untuk meraup untung suara menjelang pemilihan umum.
Otobiografi ini tidak ditulis sendiri oleh Bung Karno, namun dibantu oleh wartawati kebangsaan Amerika Serikat, Cindy Adams. Mulanya Bung Besar keberatan, “Otobiografiku hanya mungkin jika ada keseimbangan (subjektifitas dan objektifitas –pen) antara keduanya.Sekian banyak yang baik-baik supaya dapat mengurangi egoku dan sekian banyak yang jelek-jelek agar orang mau membeli buku itu…Hanya setelah mati dunia ini dapat menimbang dengan jujur, apakah Sukarno manusia yang baik ataukah manusia yang buruk? (Adams : 16)”, namun karena dibujuk duta besar Amerika saat itu, dan kesadaran bahwa beliau sudah tua akhirnya beliau bersedia menuturkan kisahnya dalam sebuah otobiografi.
Buku yang ditulis dengan gaya berbicara Bung Karno itu merupakan perjalanan panjang beliau dari mulai dilahirkan saat fajar menyingsing, perjuangannya dengan kemiskinan di masa kolonialisme Belanda, ‘pertapaannya’ dari penjara ke penjara, pidatonya yang meledak-ledak di hadapan masa, proklamasi, agresi militer belanda hingga firasat akhirnya akan kematian.
Namun, buku ini lebih seperti konfirmasi atas pertanyaan-pertanyaan besar rakyat Indonesia : Apakah Bung Karno Seorang Komunis? Apakah Bung Karno seorang kolaborator Jepang? Apakah Bung Karno Seorang penggila wanita? Untuk apa membangun gedung-gedung mewah ketika rakyat merasa lapar? Mengapa berkonfrontasi dengan Malaysia? Mengapa keluar dari Perserikatan Bangsa Bangsa? Mengapa menerima bantuan dari Kremlin? Mengapa Bung menjadi Presiden seumur hidup? Yang bagi kebanyakan orang menimbulkan rasa benci yang tidak lagi proprosional.
Ambilah salah satu contoh konfirmasi Bung Karno dari pertanyaan, Untuk apa membangun gedung-gedung mewah ketika rakyat merasa lapar?
Banyak orang memiliki wawasan picik dengan mentalitas warung kelontong menghitung-hitung pengeluaran itu dan menuduhku menghambur-hamburkan uang rakyat. Ini semua bukan untuk keagunganku, tapi agar seluruh bangsaku dihargai oleh seluruh dunia. Seluruh negeriku membeku ketika mendengar Asian Games 1962 akan diselenggarakan di ibu kotanya. Kami lalu mendirikan stadion dengan atap melingkar yang tak ada duanya di dunia… Ya, memberantas kelaparan memang penting, tetapi memberi jiwa mereka yang tertindas dengan sesuatu yang dapat membangkitkan kebangaan –ini juga penting (Adams : 354)
Dengan membaca otobiografi ini seolah kita mendengar Bung Karno bertutur sendiri kepada kita. Seperti seorang bapak bijak yang memberi tahu alasan-alasan kebijakannya kepada sang anak, karena mungkin sang anak belum mengerti dan memang tujuan beliau menulis otobiografi ini adalah “agar dapat menambah pengertian yang lebih baik tentang Sukarno dan dengan itu menambah pengertian yang lebih baik terhadap Indonesia tercinta (Adams : 19)”
Bagaimana dengan pertanyaan besar : Apa sebenarnya haluan ideologi Sukarno? Tidak ada sebuah ideologi yang pantas disematkan kepada beliau. Ia seorang demokrat, seorang sosialis, seorang humanis, seorang nasionalis, seorang internasionalis dan seorang yang menjunjung tinggi Islam sebagai agama yang haq, namun menghargai semua agama-agama yang ada. Beliau sendiri menjelasan dirinya sendiri sebagai seorang pecinta dan individualis :
Sukarno adalah seorang individualis. Manusia yang angkuh dengan ego yang membakar-bakar, yang mengaku bahwa ia mencintai dirinya sendiri, tidak mungkin menjadi pengikut pihak lain (Adams : 354)Cara yang mudah mengambarkan sosok Sukarno ialah dengan menyebutnya seorang maha pencinta. Dia mencintai negerinya, dia mencintai rakyatnya, dia mencintai perempuan, dia mencintai seni, dan di atas segala-galanya, dia mencintai dirinya sendiri. (Adams: 1)
Politik, ekonomi, cinta, perseteruan rumah tangga dan kegemaran Sang Proklamator akan ditemukan di dalam buku ini. Buku yang menjadikan sosok Bung Karno layaknya rakyat kebanyakan dengan kegemaran makan sate di pinggir jalan dan berbicara dengan bahasa daerah kepada petani miskin di wilayah priyangan. Bahkan perseteruan dengan istri-istrinya-pun beliau tulis di dalam buku ini. Pada saat kita selesai membaca mungkin kita akan tertegun sejenak dan berpikir : tidak ada pemimpin republik yang pantas mengantikan posisi Bung Karno, Sang Penyambung Lidah Rakyat.
Selamat Membaca!
Ferry Fadillah. Bintaro, 21 Maret 2015.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H