[caption caption="DIPA"][/caption]
Oleh:Â Agus Nursetyanto
Pada suatu kesempatan mengikuti rapat koordinasi pengelolaan Dana Dekonsentrasi (DK) dan Tugas Pembantuan (TP) setingkat provinsi, penyelenggara cukup siap untuk menghadirkan beberapa pihak terkait. Peserta yang hadir antara lain seluruh Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) pengelola dana DK/TP, Perwakilan Gubernur selaku wakil Pemerintah Pusat di daerah serta Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) dan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan. Gubernur melalui perwakilannya dalam kesempatan tersebut menyampaikan pernyataan sekaligus pertanyaan yang secara tidak langsung mengarah pada KPPN. Disampaikan bahwa realisasi penyerapan anggaran DK/TP masih sangat jauh di bawah penyerapan anggaran APBD.
Semestinya realisasi dana DK/TP yang dibayar melalui KPPN lebih cepat daripada mekanisme pada Kas Daerah (APBD). Pengakuan sekaligus kritikan, bahwa mekanisme pembayaran KPPN lebih cepat, tepat, sistematis, transparan bahkan tanpa biaya. Belum lagi beragam dukungan segala aspek, mulai dari tersedianya aplikasi penunjang, sumber daya manusia kompeten serta petunjuk teknis dan aturan pelaksanaan. Namun itu semua ternyata belum menjamin tingginya tingkat realisasi atau paling tidak berbanding lurus dengan penyerapan anggaran. Meskipun mekanisme pembayaran tidak sebaik di KPPN, pada kesempatan tersebut dinyatakan bahwa realisasi penyerapan APBD pada periode yang sama lebih tinggi dan bahkan mendekati target capaian.
Mungkinkah hal tersebut mencerminkan indikasi bahwa pengelolaan dana DK/TP seharusnya benar-benar murni menjadi urusan daerah ? Atau sekedar membenarkan bahwa dana DK/TP semestinya harus segera menjadi bagian APBD, baik melalui Dana Alokasi Khusus (DAK), Dana Alokasi Umum (DAU) atau dana otonomi lainnya. Sehingga tidak terjadi tumpang tindih perencanaan, pelaksanaan maupun pengawasan dan pertanggungjawabannya. Juga upaya mengeliminir ego sektoral kementerian/Lembaga yang bisa dikatakan sekedar mencapai target tanpa melihat kepentingan nyata setiap daerah.
Merupakan pandangan sederhana dan pragmatis apabila capaian realisasi menjadi salah satu indikator dalam peralihan pengelolaan dana. Masih banyak faktor yang harus diperhatikan untuk terealisasinya peralihan. Bukan sekedar kepercayaan Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah dalam mendukung tercapainya pembangunan nasional. Kesiapan perangkat daerah baik ketertiban administrasi, sumber daya manusia berkualitas serta aturan main dan perangkat hukum saat ini masih perlu dibenahi dan disempurnakan. Belum lagi dari kacamata politis haruslah ada jaminan bahwa tujuan pembangunan nasional dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia terwujud dan terlaksana dengan baik. Bernjak dari hal itulah maka pengelolaan dana DK/TP menjadi urusan daerah sepertinya masih harus melewati jalan panjang berliku.
Namun perlu juga digarisbawahi bahwa Otonomi Daerah/Desentralisasi adalah pilihan yang sudah diputuskan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kecil kemungkinan untuk mundur. Secara bertahap dan periodik seluruh urusan daerah harus dikembalikan ke Pemerintah Daerah. Pada masa periode transisi inilah peran Pemerintah Pusat harus lebih proaktif melakukan pendampingan dan supervisi dalam hal pengelolaan keuangan daerah. Sehingga pada masanya nanti daerah dapat mengelola urusan yang benar-benar menjadi urusan daerah.
Kembali pada kasus di atas, inilah kenyataan masalah yang dihadapai saat ini bertepatan pada fase periode transisi. KPPN sebagai Kuasa bendahara Umum Negara di Daerah dengan segala keterbatasan kewenangannya tidak dapat “memaksa“ atau memberikan punishment bagi SKPD yang terlambat dalam realisasi. Hanya tindakan administratife teguran atau surat peringatan dalam bingkai ketertiban pengelolaan keuangan negara. Demikian halnya Kementerian/Lembaga bersangkutan. Justru pembinaan secara aktif Gubernur/Bupati/Walikota adalah kuncinya. Kewenangan dan alat kelengkapan yang dimiliki dapat mendorong SKPD pengelola DK/TP agar tertib administrasi dan mempercepat realisasi. Punishment melalui pengalihan atau tidak diusulkannya kembali dana pada tahun anggaran mendatang serta sanksi kepegawaian adalah beberapa pilihan yang dapat digunakan.
Memperhatikan persoalan tersebut semestinya tidak direduksi pada pengelolaan dana DK/TP dikembalikan menjadi murni urusan daerah atau secara sentralisasi diambil oleh Pemerintah Pusat. Celah atas kurangnya koordinasi dan penguatan peran masing-masing menjadi issu lebih penting dan mendesak untuk diatasi. Hal tersebut muncul karena kesan selama ini bahwa Kementerian/Lembaga bersangkutan dalam perencanaan dan target capaian hanya mengejar target capaian berbasis ego sektoral. Pemerintah Daerah tidak merasakan dampak langsung capaian yang diraih karena kurang sejalan dengan programnya. Bahkan output capaian seakan menjadi beban, karena harus mengalokasikan biaya pemeliharan kedepannya. Meskipun di sisi lain tidak bisa dipungkiri, menjadi stimulus roda penggerak perekonomian daerah. Pun demikian halnya KPPN selaku Kuasa bendahara Umum Negara di Daerah seolah berdiri pada sudut berbeda, sekedar bertanggungjawab atas pembinaan administrasi keuangan.
Payung hukum komprehensif, revitalisi peran serta penataan ulang fungsi koordinasi mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan maupun pertanggungjawaban antar pihak terkait adalah jawaban tepat saat ini untuk pengelolaan dana DK/TP lebih baik. Sementara biarlah waktu menentukan saat yang tepat menjadi urusan daerah.
Palu, 11 Agustus 2015