Oleh Ranu Fatah Wijoyo
Salah satu tipe pertanyaan “melelahkan” yang ditanyakan orang ke saya adalah “kerja dimana?” Biasanya begitu saya jawab akan ada pertanyaan lanjutan: “kantor apaan tuh?”, “oh, kantor pajak ya?”, “ kerjanya ngapain sih?” Berulangkali ditanyakan sekian kali pula saya terpaksa melakukan klarifikasi. Respon paling aman sang penanya mengangguk pelan kendati tetap menyisakan kernyit di dahinya isyarat gagal paham.
Jujur ini mengherankan saya: kok bisa institusi pemerintah yang punya peran demikian vital dalam kelangsungan denyut nadi pemerintahan serta memiliki kantor unit vertikalnya tersebar ke seluruh pelosok negeri kehadirannya tidak diketahui masyarakat. Nama Ditjen Perbendaharaan atau Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) tiba-tiba mengemuka ke publik manakala didapat pengaduan keterlambatan pencairan dana, masalah klasik penyerapan anggaran atau ikut tercatut dalam kasus korupsi pengadaan barang which mean that sounds not good. Sebagai pegawai Ditjen Perbendaharaan yang telah bekerja puluhan tahun batin saya bergolak dan merasa seakan jadi “pecundang birokrasi” (yeah istilah apa lagi nih).
Harusnya kita sama dikenalnya oleh masyarakat layaknya mereka mengenal Kantor BPS, Kantor BPN, atau paling tidak sama dengan “saudara kandung” kita. Bandingkan saat KPPN masih bernama Kantor Kas Negara, tiap kondektur bis pun lantang teriakkan namanya diikuti tatapan kagum para penumpang bis (perasaan saya aja kali ya). Atau ketika Ditjen Perbendaharaan masih bernomenklatur Ditjen Anggaran, wow orang pun langsung berasosiasi sebuah instansi penguasa APBN. Dengan eksistensi dan reputasinya, kalau dianalogikan Ditjen Perbendaharaan itu bak pahlawan bertopeng, dirasakan kehadiran dan kontribusinya namun tak dikenal siapa sesungguhnya orang dibaliknya.
Pertanyaan sederhananya : sebegitu pentingkah Ditjen Perbendaharaan dan jajarannya harus dikenal oleh masyarakat luas? Tulisan ini bukan seruan agar Ditjen Perbendaharaan mengganti nomenklatur tetapi pentingnya brand awareness pada organisasi pemerintah.
Dalam artikelnya tentang Public Sector Marketing: Importance and Characteristic (2011), Andreea M. Barbu menulis bahwa masyarakat modern (civil society) semakin menuntut hadirnya transparansi dan akuntabilitas pada seluruh lembaga pemerintah sebagai pilar New Public Management. Hal tersebut sebagai kontrol publik yang telah menunaikan kewajibannya membayar pajak dan semacamnya kepada pemerintah. Wajib hukumnya organisasi pemerintah memiliki persepsi yang baik di benak publik selaku stakeholder tentunya ditunjang dengan pembuktian dalam impelementasi performa layanan kepada masyarakat. Amat disayangkan bila lembaga pemerintah tidak memiliki pondasi public trust di masyarakat yang terlanjur mempunyai persepsi kurang baik terhadap kinerja instansi pemerintah.
Masyarakat butuh kepercayaan dan harapan akan hadirnya lembaga pemerintah yang bersih dari KKN dan punya endeavor untuk melakukan perbaikan dari waktu ke waktu. Dua hal itu sejatinya telah berjalan secara struktural dan kultural dalam Ditjen Perbendaharaan sampai ke level di daerah. Menurut saya itu adalah prestasi yang amat mengesankan. Sayang bila keunggulan yang seyogyanya dikapitalisasi oleh Ditjen Perbendaharaan hanya diketahui dalam lingkup satker saja. Tak heran bila beberapa waktu lalu seorang pengamat kondang dalam surat pembaca masih menyiman memori tak baik terhadap Ditjen Perbendaharaan.
Saya mengusulkan Ditjen Perbendaharaan melakukan strategi komunikasi memanfaatkan media televisi yang dapat diakses masyarakat secara luas. Misalkan menyelipkan program treasury heroes di ajang Eagle Awards atau Acara Kick Andy yang memiliki rating cukup bagus. Saya memiliki keyakinan perjuangan insan-insan perbendaharaan di berbagai daerah punya banyak kisah inspiratif yang layak di-share ke masyarakat.
Informasi tentang proses bisnis dan peran Ditjen Perbendaharaan seperti : pembayaran gaji aparatur negara, penyaluran bantuan masyarakat, serta pendanaan pembangunan infrastruktur publik sepatutnya mendapat atensi dari masyarakat. Termasuk introduksi deretan prestasi Ditjen Perbendaharaan antara lain pionir dalam pemberantasan korupsi, teladan dalam efisiensi, unggulan dalam pelayanan serta terdepan dalam kinerja. Ini bukan merupakan bentuk narsisme tapi edukasi kepada masyarakat.
- Partisipasi Publik
Sebelum menaiki tangga menuju visi sebagai pengelola perbendaharaan tingkat dunia, pastikan Ditjen Perbendaharaan mengukuhkan eksistensinya terlebih dulu di tingkat nasional. Untuk mencapai visi tersebut mutlak hadirnya partisipasi dari komponen stakeholder terkait dan terciptanya lingkungan tata kelola yang baik (environment of good governance). Kedua hal tersebut mustahil terwujud tanpa perubahan mindset dan behavior dari para pemangku kepentingan.
Adalah konsep social marketing yang merupakan strategi pemasaran agar ide, dan implementasi program pemerintah dapat diterima stakeholder dan berfungsi pula mengubah kebiasaan dan perilaku stakeholder ke arah yang lebih baik. Pengenalan dan komunikasi yang baik kepada stakeholder inilah yang diharapkan mengundang partisipasi masyarakat dalam mendukung reformasi birokrasi dan proses transformasi kelembagaan tengah dijalankan Ditjen Perbendaharaan.
Dari dua poin di atas, kebutuhan menjalankan program branding and social marketing pada Ditjen Perbendaharaan menemukan relevansinya. Semoga good governance terwujud di Indonesia melalui tangan-tangan insan Perbendaharaan.
Disclaimer:
Tulisan ini merupakan opini pribadi dan tidak mewakili pandangan organisasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H