Oleh: Hendris Herriyanto
Pertama-tama dengan kerendahan hati saya mengucapkan terima kasih kepada organisasi Direktorat Jenderal Perbendaharaan (Ditjen PBN/DJPb), karena telah memberikan saya pengetahuan dan pengalaman yang mungkin tidak saya dapatkan di tempat lain. Bagaimana tidak, disinilah saya ditempa, dididik, dibina, dan dibesarkan. Dahulu selepas dari Prodip Keuangan, saya adalah bocah lugu, culun, tak mengerti apa-apa dan penakut. Sekarang telah berproses menjadi lebih dewasa yang terus mengejar prestasi dan meningkatkan kualitas diri dengan segala kapasitas yang saya miliki. Tak kenal maka tak sayang. Banyak orang tak tau banyak tentang DJPb. Orang lebih tau eselon I Kementerian Keuangan lainnya. Ketika disebut perbendaharaan, mereka banyak tidak mengerti, kalaupun mengerti hanya dipandang sebelah mata. Padahal DJPb mempunyai segudang value yang menyentuh kehidupan mereka.
Bercerita tentang DJPb, menurut saya pribadi, DJPb adalah organisasi yang paling dinamis dalam bertransformasi untuk menjadi organisasi yang ideal. Dalam waktu yang singkat telah bertransformasi dari pekerjaan dominan bersifat clerical hingga pekerjaan dengan pemanfaatan teknologi informasi berbasis web. DJPb adalah organisasi yang besar dimana kantor pelayanan tersebar hampir di seluruh kabupaten/kota dan kantor wilayahnya ada di setiap provinsi. DJPb adalah organisasi yang mendunia, dimana melakukan pembayaran sampai penjuru dunia. DJPb adalah organisasi yang kompleks, dimana jenis pekerjaannya sangat banyak dan bervariasi hampir seluruh tugas-tugas treasury dikelola. Pada masa “jahiliyah” dahulu, DJPb syarat dengan “suap” dan “pungli”, sekarang menjadi garda terdepan dalam mendukung reformasi birokrasi serta secara nyata melawan korupsi dan gratifikasi.
Untuk sekedar berbagi cerita, saya pertama kali bekerja di DJPb yaitu di KPKN[1] Takengon. Saat itu adalah masa Daerah Operasi Militer (DOM) dimana rawan dengan banyaknya pertikaian dan gangguan keamanan. Di saat banyak kantor-kantor pemerintah dibakar, KPKN tetap eksis melayani pembayaran. Tidak hanya di Aceh, KPPN tetap eksis melayani stakeholder di daerah konflik lainnya seperti Poso, Ambon, Tual, Wamena, Manokwari dan lain-lain. Ketika kantor-kantor lain “rest in peace”, KPPN tetap solid melayani stakeholder sampai titik darah penghabisan. Bahkan saat terjadi tsunami di Aceh, KPKN menjadi bagian utama dalam pembangunan dan rekonstruksi Aceh paska tsunami.
Dalam hal pelayanan ke internal, DJPb memberikan kesempatan yang sebesar-besarnya kepada seluruh pegawainya untuk mengembangkan diri. Berbagai macam diklat, pelatihan, dan melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi difasilitasi. Saat ada pemanggilan merupakan saat yang ditunggu-tunggu karena merupakan kesempatan untuk menenengok keluarga, terlebih mereka yang ditempatkan jauh di daerah terpencil. Hal inilah yang menjadikan nilai lebih dari adanya pemanggilan. Mudah-mudahan selalu banyak pemanggilan untuk mengikuti sosialisasi, bimtek, diklat, dan sejenisnya.
Sekedar berbagi cerita, hidup saya terasa bermakna ketika bekerja di DJPb. Saya diberi kesempatan oleh DJPb untuk mengenal lebih banyak tempat di nusantara tercinta. Sudah enam pulau saya ditempatkan, dari ujung barat hingga ujung timur wilayah NKRI. Di setiap penempatan kerja masing-masing memiliki kesan tersendiri. Ditempatkan di Takengon saya “take n go on”, yaitu saya mendapatkan istri dan kubawa pergi ke tempat penempatan yang baru. Ditempatkan di Jakarta saya “bekerja, berkarya, dan menata”. Di sini saya bekerja sampai larut malam, berkarya memiliki buah hati dan menata hidup memiliki rumah sangat sederhana. Ditempatkan di Singkawang saya “singgah, kuliah, pulang” karena hanya sebentar bekerja, pulang ke homebase untuk kuliah mendapat beasiswa di universitas elite di Jakarta. Ditempatkan di Biak, disini bila ingat akan kembali. Ingat kembali karena indahnya pemandangan alam yang exotic. Ditempatkan di Manokwari (Man know worried), ada rasa was-was dalam diri keluarga karena sesekali ada gejolak yang melibatkan massa. Namun, kenyataannya tidak, disini banyak sekali pawai/festival yang melibatkan massa yang tentunya sangat menghibur. Kemudian ketika ditempatkan di Makassar, pada awalnya resah karena banyaknya pemberitaan kekerasan di televisi. Ternyata orang-orang Makassar “menerima dan tak kasar”. Orangnya baik hati, sopan, ramah dan tidak sombong. Semoga episode penempatan berikutnya memberikan nilai dan makna tersendiri.
Pembaca yang budiman, narasi di atas bukanlah apa-apa, masih banyak kisah inspirasi dari teman-teman kita yang heroik ketika bekerja di DJPb. Banyak tantangan dan rintangan yang dihadapi antara lain berupa penempatan di daerah terpencil, gangguan keamanan, beban kerja yang tinggi, malaria, tantangan alam, harga kebutuhan pokok yang tinggi, dan lain-lain. Namun mereka tetap eksis menjaga keutuhan NKRI dan eksis bekerja menyalurkan pembayaran dalam berbagai situasi. Sehingga bekerja di bawah naungan DJPb benar-benar memiliki value tersendiri. Apakah artinya sebuah organisasi memiliki segudang prestasi tetapi tanpa nilai. Maka itu, banggalah menjadi pegawai DJPb. Perjalanan hidup kita bisa menjadi bahan cerita yang menarik buat anak cucu kita kelak. Terlebih apabila anak-anak kita ikut merasakan juga indahnya berpindah-pindah tempat. Mudah-mudahan apa yang telah kita lakukan, semuanya dapat memberikan energi positif bagi kita dan anak cucu kita agar tetap bersemangat menjalanani hidup. “VIVA DJPb, NO SOMOS UN EQUIPO, SOMOS UN PAÍS”. Semoga Allah memberkati kita semua.[2]
[1] Sekarang KPPN
[2] Direktorat Jenderal Perbendaharaan memiliki variasi sebutan yang cukup beragam misalnya Ditjen Perbendaharaan, Ditjen PBN, DJPBN, DJPB.
Disclaimer:
Tulisan ini adalah pendapat pribadi penulis dan tidak mencerminkan pendapat organisasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H